Minggu, 24 Juni 2012

KEWASPADAAN NASIONALA TERHADAP ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DAPAT MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL


Oleh : Adirozal
I.        PENDAHULUAN
Rasa nasionalisme seluruh warga negara Indonesia  tetap menjadi penting untuk dibangun sehingga mereka memiliki tanggung jawab atas kelansungan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepedulian terhadap hidup berbangsa itu agar seluruh warga negara mampu memahami berbagai bentuk ancaman yang dapat mengganggu pencapaian mewujudkan tujuan dan cita-cita negara seperti dalam Pembukaan UUD NRI 1945, yakni “...memajukan kesejahteraan umum...”.
Dari pengalaman sejarah kebangsaan Indonesia telah berkali-kali terjadinya ujian terhadap kelansungan hidup berbangsa dan bernegara dan hampir saja integrasi bangsa menjadi terpecah belah. Hal itu terkait dengan belum terwujudnya cita-cita dan tujuan kemerdekaan. Menurut Modul 07 B.S Padnas, Lemhannas 2012, bahwa salah satu prasyarat terwujudnya integrasi bangsa adalah terwujudnya kesejahteraan dan keamanan yang berkeadilan di seluruh wilayah Indonesia.
Gubernur Sumbar (Marlis Rahman) dan 
Wakil Walikota Padangpanjang (Adirozal) Pantau Sembako

Membicarakan kesejahteraan warga negara tidak lepas dari ketersediaan pangan yang merupakan kebutuhan dasar manusia. Jika suatu negara tidak mampu menyediakan pangan bagi seluruh masyarakatnya akan berdampak ke pada integrasi satu bangsa. Dengan demikian ketahan pangan menjadi perhatian dan prioritas bagi setiap pemerintahan. 
Ketahanan pangan sebagai terjemahan dari food securty menjadi perhatian internasional semenjak terjadinya kasus kelaparan pada dekade tahun 1970-an. Beberapa negara terutama di Afrika mengalami goncangan hebat karena krisis pangan. Semenjak itu berbagai pertemuan-pertemuan internasional terutama FAO dibahas tentang ketahanan pangan satu negara. Berbagai indikator di kemukakan termasuk diantaranya kemampuan sebuah negara berswasembada beras.
Indonesia pada dekade 1980-an mampu berswasembada beras sehingga dengan prestasi itu mengantarkan Presiden Soeharto menerima piagam penghargaan dari FAO. Namun ternyata negara yang telah swasembada beras bisa mengalami krisis pangan oleh karena gagal panen yang disebabkan bencana alam, iklim yang buruk, berkurangnya lahan, dan serangan hama. Atau bisa juga distribusi pangan tidak merata dan menjangkau seluruh masyarakat satu negara.
Walaupun Indonesia pernah mampu berswasembada beras ternyata bangsa Indonesia saat ini mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand. Pada hal jika dilihat dari kekayaan alam terutama luas lahan maka tidak ada alasan bagi bangsa Indonesia kekuarangan pangan atau tidak ada rakyat Indonesia yang tidak sejahtera. Ada pendapat yang menytakanan bahwa jika kekayaan alam itu dikelola dengan baik tentu akan menjadikan seluruh rakyat Indonesia sejahtera. Salah satu pangan yang dominan dikonsumsi rakyat Indonesia adalah padi atau beras di samping jagung, dan sagu. Padi secara umum ditanam dan tumbuh di sawah-sawah yang tersebar dibanyak wilayah Indonesia.

II.      PEMBAHASAN
A.   Kewaspadaan Nasional
Kewaspadaan Nasional atau Padnas adalah suatu sikap dalam hubungannya dengan nasionalisme yang dibangun dari rasa peduli dan rasa tanggungjawab serta perhatian sesorang warga negara terhadap kelangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegaranya dari suatu potensi ancaman, (Modul 01 Padnas, 2012:4). Artinya bahwa setiap warga negara harus memiliki sikap kesiapan dan kesiagaan atas negaranya dari berbagai ancaman. Sikap itu dilandasi atas rasa kebangsaan yang bertanggungjawab sebagai warga masyarakat dan bagian dari warga negara, sikapnya untuk menjaga keutuhan negaranya.
Saat ini ancaman bagi bangsa Indonesia lebih banyak pada ancaman non militer. Jika menyimak dengan berbagai kemungkinan ancaman terhadap kedaulatan dan keutuhan negara Indonesia maka ancaman dari luar yang berbentuk militer kecil kemungkinannya. Ancaman itu sendiri dapat dikelompok pada ancaman militer dan ancaman non militer (Undang-undang RI no 02 tahun 2003).
Ancaman militer adalah ancaman yang menggunakan kekuatan senjata yang terorganisir yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa.  Ancaman aksi militer dari luar baik berupa agresi atau invasi terhap keutuhan wilayah Indonesia sampai saat ini kecil kemungkinannya. Potensi ancaman kemungkiannya adalah yang non militer baik dari luar maupun dari dalam yang mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah, serta keselamatan bangsa dan negara NKRI.
Berkaitan dengan keutuhan dan kedaulatan wilayah menjadi hal yang amat penting bagi suatu negara oleh karena wilayah merupakan ruang hidup bagi rakyatnya. Konsep nation adalah suatu hal yang diperlukan agar rasa kebangsaan  dan kewaspadaan dalam menghadapi berbagi bentuk ancaman menjadi kokoh. Konsep nation merupakan adanya rasa kebangaan dan memiliki akan tanah air, keutuhan wilayah dan kedaulatan negara. Bagi bangsa Indonesia jika dihadapkan antara cinta dmai dan merdeka (kedaulatan), maka mempertahankan kemerdekaan atau kedaulatan bangsa jauh lebih penting dari sekedar cinta damai.
Memperhatikan hal tersebut maka ancaman yang kemungkinan terjadi adalah terjadinya konflik di tengah masyarakat dengan berbagai motif. “Konflik ekonomi merupakan salah satu motif konflik yang disebabkan suatu hubungan interagsi konflik antar individu dan atau kelompok yang berlansung karena motif ekonomi, misalnya persaingan bisnis”, (Modul 09 Sub. Manajemen Konflik, 2012:12). Dari konflik ekonomi dapat berimbas pada konflik sosial dan konlik politik artinya terjadi konflik multi sektoral. Konflik-konflik tersebut memerlukan kewaspadaan dan manjemen yang tepat sehingga tidak menjadi sebuah ancaman yang akan berimbas pada keutuhan wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.
Bila dilihat berbagai sejarah jatuhnya kepemimpinan nasional Indonesia disebabkan terjadinya konflik sosial yang berawal dari ketidak stabilan ekonomi. Misalnya pada pemerintahan Orde Baru yang berupaya memperkuat Integrasi Nasional, namun dalam tataran prkasisnya tidak dijumpai. Penguasa nasional Orde Baru menjadikan “kekuasaan” untuk memperkuat, memonopoli, feodalisme kroni-kroni dalam berbagai bidang termasuk dominasi dalam bidang ekonomi.  Kondisi tersebut menumbuhkan kecemburuan, ketidakpuasan, ketidakadilan sampai saparatisme masyarakat dan daerah-daerah, (Modul 08  Sub. Integrasi Nasional, 2012:19). Kondisi itu menjadikan pemerintahan Orde Baru jatuh dan untung saja bangsa Indonesia masih untuh serta tidak terjadi desintegrasi.
Beberapa tantangan integrasi nasional masa sekarang tetap saja menjadi ancaman bagi keutuhan dan kedautan wilayah Indonesia, misalnya masih ditemuai ketidakadilan, kesenjangan sosial, dan kemiskinan. Beberapa kelompok masyarakat masih memonopoli sumber ekonomi sehingga terjadi kesenjangan sosial dan kemiskinan. Kasus kerusuhan yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia seperti di Riau, Lampung, Nusa Tenggara Barat diduga akibat adanya kelompok tertentu yang memonopoli sumber ekonomi.
Nasionalisme Pancasila dalam tataran praksis bernegara diperlukan untuk dilaksanakan agar integrasi nasional tetap kukuh. Dalam hal ini harus dipahami bahwa semangat nasionalisme milik masyarakat Indonesia, sedangkan pemerintah sebagai pemegang amanah dapat melakukan good governance dan clean goverment.
Masyarakat Indonesia dan pemerintah hendaknya menyadari bahwa integritas nasional jauh lebih penting dari sekedar kepentingan kelompok dan kedaerahan. Pancasila yang menuntun semangat nasionalisme mengandung nasionalisme patriotisme yang positif, monotismeme-relegius, humanis, demokrasi kerakyatan, berkeadilan bagi semua etnik bangsa tidak picik dan fanatik dan berwawasan global. Adanya semangat nasionalisme yang berlandaskan Pancasila diharapkan terjadi keadilan dalam penguasaan sumber ekonomi dan penggunaan sumber kekayaan alam berserta potensi yang dimilikinya dapat dikelola dengan baik.
Pengelolaan sumber kekayaan alam seperti lahan sawah yang berlandaskan nasionalisme Pancasila dapat memperkuat integrasi nasional. Lahan sawah yang dikelola dengan baik dapat meningkat produksi padi dan pada akhirnya menjadikan ketahan pangan keluarga yang secara kumulatif meningkatkan ketahanan pangan nasional. Pengelolaan lahan sawah yang baik yakni tidak mengalihkannya pada bentuk nonpertanian.

B.   Alih Fungsi Lahan Sawah
Jumlah lahan pertanian Indonesia berdasarkan data yang dirilis Badan Litbang Kementrian Pertanian RI tahun 2010, lahan pertanian yang tersedia untuk dikembangkan seluas 475.766 ha. Sekitar 310.611 ha (65,3%) diarahkan untuk komoditas tanaman tahunan, 110.047 ha (18,9%) diperuntuk padi sawah, dan sisanya 11,6% untuk komoditas tanaman semusim. Memperhatikan data ini hanya sedikit lahan persawahan dibandingkan dengan lahan komoditas tanaman tahunan.
Lahan persawahan yang sedikit itu tidak senantiasa pula dapat dimaksimalkan oleh karena sebahagian sawah di Indonesia bersifat tadah hujan, artinya sangat tergantung dengan kondisi curah hujan. Sementara lahan sawah yang ada sebahagian telah pula beralih fungsi ke lahan nonpertanian. Menurut Sekretaris Ketahan Pangan Indonesia (28 Maret 2012) bahwa salah satu dari enam permasalahan pangan nasional yakni terjadinya konversi lahan pertanian yang tinggi dan tidak terkendali.
Untuk mengatasi agar tidak terjadi alih fungsi lahan sawah maka perumusan kebijakan berada pimpinan masing-masing daerah. Pimpinan daerah memiliki rasa tanggungjawab yang tinggi terhadap keberlangsungan pangan masyarakatnya yang secara akumulatif ketahan pangan nasional. Kewaspadan terhadap keutuhan dan kedaulan wilayahnya terutama yang diperuntukkan bagi lahan persawahan menjadi tanggungjawab pimpinan daerah dalam merumuskan kebijakan penggunaan lahan dan menyusunnya dalam tata ruang wilayah masing-masing. Sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Pertanian bahwa “jika alih funsi lahan pertanian jenis sawah terus dipindahkan ke lahan sawit, maka akan semakin menutup peluang dikembangkannya lahan pertanian tersebut. Karena itu diperlukan kebijakan pemerintah daerah setempat. Hal ini mesti dicegah bupatinya. Jangan sampai lahan pertanian terus berkurang”.
Alih fungsi lahan sawah ke nonpertanian berupa lahan perumahan, lahan perindustrian, dan lahan fasilitas umum lainnya. Pengalihan lahan sawah juga banyak ke lahan perkebunan terutama ke perkebunan sawit. Pengalihan lahan sawah ke kebun sawit dilakukan oleh masyarakat yang membandingkan keuntungan sawit lebih baik dari hasil produksi sawah. Selain itu pengalihan juga dilakukan oleh beberapa perusahan dan termasuk perusahaan asing.
Dalam era golobal ini tidak mungkin bangsa Indonesia mengisolasi diri dan memproteksi diri dari intenasionalisme perekonomian. Indonesia masih memerlukan investor baik dari alam negeri maupun dari luar negeri untuk membangun bidang ekonomi. Kewaspadaan yang diperlukan adalah jika lahan sawah banyak dialihkan ke lahan lainnya terutama oleh perusahan asing yang dikhawtirkan tingkat ketergantungan bangsa Indonesia ke pada asing sulit diatasi. Pada akhirnya kedaulatan bangsa dan negara tergadaikan sehingga integrasi bangsa terganggu.
Dengan banyaknya lahan sawah beralih fungsi ke lahan lain, otomatis produksi padi nasional menurun, akibatnya akan berimbas pada ketahan pangan nasional. Produksi padi Indonesia saat ini tidak mengalami peningkatan, di antara penyebabnya karena berkurangnya lahan sawah. Pencetahan persawahan lahan baru tidak sebanding dengan jumlah lahan yang telah beralih fungsi atau konversi.
Saat ini Indonesia menempuh kebijakan mengimpor beras dari Thailand dan Vietnam untuk menjaga stabilitas cadangan pangan. Melihat kondisi harga dan perdagangan beras dunia saat ini maka kebijakan mengimpor beras tidak menjadi problem serius. Namun pasar dunia yang cepat berubah dikhawatirkan bila kebutuhan beras Indonesia bergantung dengan impor. Padahal menurut Bustanul Arifin (2005:63) bahwa Indonesia secara teoritis sangat memungkinkan untuk swasembada beras karena sumberdaya alam dan kesuburan lahan, keanekaragaman genitika dan dukungan iklim tropis.
Sebagaimana diketahui lebih dari 90 % gabah/ padi tumbuh dan hidup di sawah, kemudian sisanya yang hidup di tanah kering atau ladang. Dari padi diolah menjadi beras dan kemudian menjadi bahan pangan sebagian besar penduduk Indonesia. Tumbuhan padi yang hidup di sawah memerlukan pengolahan yang mulai dari penyemaian sampai pada proses panen. Setelah panen prosesnya dilanjutkan di penggilingan padi (huler) sampai menjadi beras.
Lahan sawah yang sempit dan sedikit itu pada akhir-akhir ini semakin dipersempit oleh perumusan kebijakan lahan yang tidak jelas. Kebijakan alih fungsi lahan sawah ke dalam bentuk perkebunan sawit telah terjadi seperti di Kabupaten Rokan Riua, Kabupaten Tebo dan Batang Hari Propinsi Jambi, dan Kabupaten Muba Sumatera Selatan. Jika di beberapa kabupaten terjadi alih fungsi lahan sawah ke lahan perkebunan, di perkotaan alih fungsi lahan sawah untuk jalan,  perkantoran, dan perumahan. Di samping itu juga lahan sawah terjadi alih fungsi untuk lapangan olah raga dan objek rekreasi.
Memang ada beberapa daerah yang mewaspadai dan merumus kebijakan untuk tidak melakukan konversi lahan sawah untuk perkebunan, perumahan, dan objek rekreasi. Namun kebijakan yang dibuat tidak berlaku efektif oleh karena sikap masyarakat dan oknum pemerintah. Pengalihan lahan sawah itu disebabkan sikap pragmatis dan materlialis masyarakat karena hasil tanaman tahunan seperti karet dan sawit lebih menjajikan/mahal dibandingkan dengan harga padi yang murah. Keengganan petani menanam padi juga disebabkan biaya produksi padi (pupuk dan obat-obat) mahal dan sering pula langka. Artinya tidak sebanding harga jual gabah dengan biaya produksi.
 Akibat berkurangnya lahan persawahan dengan sendirinya produksi beras berkurang. Sementara pencetakan lahan persawahan baru hampir tidak ada, proyek sejuta lahan gambut yang dijadikan sawah di Kalimantan tidak berhasil sepenuhnya. Kondisi ini menjadi salah satu kemunduran produksi gabah/ padi nasional. Sebagaimana dinyatakan oleh Wakil Presiden Boediono yang dikutip web resmi Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Propinsi Riau dan Situs Riau online 18 Agustus 2010 menyatakan “Kemunduran sektor pertanian jenis tanaman sawah padi ini bukan hanya terjadi di Riau. Secara nasional, sejak tahun 2000-an sektor pertanian cenderung stagnan. Padahal dalam era tahun 70-an sektor pertanian inilah yang menjadi kekuatan pembangunan”.
Pernyataan Wakil Presiden Boediono perlu dicermati, bahwa terjadi kemunduran tanaman padi sawah secara nasional. Pada hal pada era 1980-an Indonesia pernah berswasembada beras dan menjadi contoh sukses (role model) bagi Dunia Ketiga. Memang dengan perubahan yang begitu cepat baik internal maupun eksternal menjadi sebuah pertanyaan tentang perlu atau tidaknya swasembada beras. Akan tetapi demi untuk ketahanan pangan bangsa Indonesia secara umum maka perlu diperhatikan kebijakan menghindarkan diri dari ketergantungan dengan beras impor. Bahkan diharapkan bangsa Indonesia tidak hanya sekedar mampu mewujudkan ketahan pangan melainkan bisa menuju kemandirian pangan oleh karena Indonesia memiliki lahan agribisnis dan maritim yang luas. Kemandirian pangan itu sendiri adalah kemampuan negara memproduksi pangan dalam negeri untuk mewujudkan ketahanan pangan dengan memanfaatkan sebesar-besarnya potensi sumberdaya alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal secara bermartabat (DR. Hermanto, M.S, 2012).
Oleh karena pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang diperlukan manusia sebagaimana teori Maslow yang dikenal dengan teori kebutuhan dasar, yakni; Sandang, pangan, dan papan. Maka tidak berlebihan dunia dan khususnya bangsa Indonesia memperhatikan pentingnya memperhatikan ketahan pangan. Banyak pemimpin bangsa jatuh karena terkait dengan ketidak mampuan mencukupi kebutuhan pangan masyarakatnya. Khusus bagi bangsa Indonesia beras menjadi bahan pokok utama pangan.

C.   Ketahanan Pangan Nasional
Saat ini konsumsi beras Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara lain seperti Malasyia, Thailand, India dan Jepang. Setiap orang Indonesia mengkonsumsi 139,15 kg/ tahun, bandingkan dengan Malasyia yang 70 kg/ tahun, Thailand yang 75 kg/ tahun, India yang 80 kg/ tahun, dan paling kecil Jepang yang hanya mengkonsumsi 60 kg dalam satu tahun. Selain tingginya konsumsi beras jumlah pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 240 juta tahun 2011 dan diperkirakan akan terus bertambah. Kondisi ini pasti menjadikan kebutuhan beras dalam negeri semakin meningkat. Sementara produksi beras yang dihasilkan petani Indonesia tidak lebih dari 37 juta ton pertahun.
Berdasarkan kondisi itu FAO pada tahun 1991 merumuskan bahwa “ketahan pangan adalah suatu kondisi ketersediaan pangan yang cukup bagi setiap orang pada setiap saat, dan setiap individu memiliki akses untuk memperolehnya baik secara fisik maupun secara ekonomik”, (Bambang Irawan, 2005:5). Ketahan pangan tidak sekedar turcukupinya pangan secara kuantitas setiap saat bagi seluruh masyarakat tetapi juga dapatnya masyarakat mengakses terhadap bahan pangan tersebut.
Berkaitan dengan itu negara Indonesia menjadikan ketahanan pangan menjadi sektor yang penting. Pembangunan ketahanan pangan Indonesia merupakan amanat dari Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 yang bertujuan untuk mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata serta terjangkau oleh setiap individu. Dalam PP Nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan dijelaskan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Menurut Dr. Ir. Hermanto, MS (2012)  ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan individu, dengan tersedianya pangan yang cukup jumlah dan mutunya, aman, bergizi, merata, terjangkau, sesuai dengan keyakinan dan untuk hidup sehat, aktif, produktif, berkelanjutan.
Sehubungan dengan pengertian ketahanan pangan di atas dapat diartikan lebih lanjut bahwa ketahanan pangan bukan hanya beras melainkan juga daging ternak, ikan dan sayuran guna memenuhi gizi, protein, lemak dan karbohidrat manusia Indonesia. Juga berarti terjaminnya pangan dari cemaran biologis, kimia yang membahayakan kesehatan serta aman dari kaidah agama. Ketahan pangan berarti pula tersedia pangan secara merata setiap saat di seluruh Indonesia dengan harga yang terjangkau oleh setiap rumah tangga Indonesia.
Pangan itu sendiri adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan dan minuman (No. 7/1996 tentang Pangan). Jadi pangan merupakan sumber energi, protein, dan vitamin bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sehat dan cerdas.
Menurut Ahmad Suryana (2003:109) bahwa pembangunan ketahanan pangan adalah ketahanan pangan rumah tangga, yang tentu secara kumulatif akan mendorong ketahan pangan daerah dan nasional. Lebih lanjut dijelaskan beberapa starategi yang dikembangkan dalam pemantapan ketahan pangan di antaranya; pengembangan kapasitas produksi pangan nasional melalui rehabilitasi kemampuan dan optimalisasi pemantapan sumberdaya alam (lahan dan air), peningkatan partisipasi masyarakat dalam keseluruhan sistem ketahan pangan.
Berkaitan dengan itu maka tujuan pembangunan pangan menurut Dr. Ir. Hermanto, MS (2012) dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, Ketahanan Pangan, dan Keamanan Pangan, serta tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat.
 Adanya kewaspadaan nasional terhadap alih fungsi lahan sawah diharapkan produksi beras Indonesia akan tetap sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia. Produksi beras yang stabil akan menghindarkan Indonesia dari ketergantungan dari pihak asing (impor). Beras yang cukup dan terus tersedia serta merata di seluruh wilayah Indonesia berarti indikator ketahanan pangan sudah terpenuhi. Artinya kewaspadaan nasional terhadap alih fungsi lahan sawah mampu meningkatkan ketahanan pangan.

III.   PENUTUP
Setiap warga negara harus mempunyai rasa tanggungjawab dengan sikap selalu siaga terhadap ancaman yang bisa mengganggu keutuhan dan kedaulatan wilayah negara Indonesia. Sikap itu dilandasi oleh rasa nasionalisme yang tinggi untuk integritas bangsa. Ancaman bisa berbentuk militer dan nonmiliter dan terhadap Indonesia kecil kemungkinannya terjadi ancaman dalam bentuk militer dan diperkirakan ancaman yang terjadi dalam berbentuk nonmiliter baik dari luar maupun dari dalam. 
Ancaman nonmiliter dari dalam dengan terjadinya konflik di tengah masyarakat di beberapa daerah sehingga menimbulkan disintergasi bangsa. Motif konflik bisa bermacam-macam diantaranya penguasaan atau monopoli sumber ekonomi oleh kelompok tertentu sehingga kelompok lain merasa terjadi ketidakalilan.
Ketahan pangan merupakan salah satu dari pembangunan bidang ekonomi. Bahan pangan yang paling banyak di konsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah beras berasal dari gabah/ padi yang tumbuh di lahan persawahan. Produksi gabah Indonesia akhir-akhir ini tidak mengalami peningkatan karena salah satu penyebabnya lahan sawah tempat tumbuhnya padi telah dialih fungsikan ke lahan lain, diantaranya untuk perkebunan sawit dan lahan nonpertanian.
Adanya kewaspadaan nasional terhadap alih fungsi lahan sawah, maka produksi padi akan meningkat. Dengan meningkatnya produksi gabah/ padi maka kebutuhan pangan masyarakat Indonesia tercukupi, artinya terjadi peningkatan ketahan pangan bila lahan sawah tidak ddialih fungsikan.


DAFTAR PUSTAKA
Achmad Suryana. 2003. Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM.
Ahmad Thoriq. tt. “Kumpulan Jurnal Ilmiah Tahun 2001-2009: Ketahanan Pangan Dalam Rangka Kemandirian Bangsa”.
Bambang Hendro sunarminto. 2010. Pertanian Terpadu Untuk Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Bambang Irawan. 2005. “Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak Pola Pemanfaatannya dan Faktor Determinan” Bogor: Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 23.
Bustanul Arifin. 2005. Pembangunan Pertanian, Paradigma Kebijakan dan Strategi Revitalisasi. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Hermanto. 2012. “Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional” (power point) disajikan pada Pembekalan PPRA XLVIII Lemhannas. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian.
Hilman Manan. 2006. “Tantangan Terbesar Revitalisasi Pertanian”. (makalah). Makasar: Universitas Hasanuddin.
Hudaini Hasbi. 2011. “Pengelolaan dan Manajemen Sumber Daya Alam” (makalah)
-------. 2011. “Pengelolaan Sumber Daya Alam Sebagai Payung Kesejahteraan” (makalah).
Irawan, A. 1998. Analisis Respon Penawaran Padi Sawah dan Ladang di Jawa dan Luar Jawa. Studi Respon Penawaran. Tesis Magister pada Program Studi Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
-------, 2006. “Multifungsi Lahan dan Revitalisasi Pertanian”. Dimuat pada surat kabar Suara Pembaruan, 23 Juni 2006.
-------. 2012. “Memilih Jalan Pintas, Impor Beras”.  Medan: dalam Jurnal Wacana Senin, 05 Mar 2012.
Lemhannas. 2012. Modul 1,2,3,4,5,6,7,8,9 dan 10 Bidang Studi Kewaspadaan Nasional. Jakarta : PPRA XLVIII, Lemhannas.
Muhammad Hambali. “Revitalisasi Lahan Pertanian Menuju Ketahanan Pangan Nsional”. Diunduh Rabu, 09 Mei 2012.
Situs Riau. Com. 2010. “Kebun Sawit Ancam Lahan Pertanian Sawah di Riau”. Diunduh, Rabu, 09 Mei 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar