Jumat, 29 Juni 2012

PPRA 48 Lemhannas


(atas) peserta Lemhannas 48 lagi hilangi stres tampak Adirozal duduk 
(bawah)Adirozal bersama peserta Lemhannas;
 Brigjend Jaswandi dan Plifina serta Thailand

foto

Adirozal bersama Kol. Toto Rinantoko S. saat ke FRJ

Kamis, 28 Juni 2012

MENINGKATKAN PERAN KEPEMIMPINAN NASIONAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER KEKAYAAN ALAM DAPAT MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL


Oleh : Adirozal
 

I.        PENDAHULUAN

Pada era global dibutuhkan seorang pemimpin yang cepat merespon dan beradaptasi dengan segala bentuk perubahan. Kondisi sekarang jauh berbeda dengan keadaan masa lalu, perubahan begitu cepat terjadi baik karena faktor dorongan dari luar maupun tumbuh dari dalam diri sendiri. Pemimpin yang tidak tanggap dengan kondisi perubahan, maka ada kemungkinan ia dan rakyatnya terlindas cepat karena perubahan.
Bangsa Indonesia siap atau tidak siap, suka atau tidak suka sudah berada dalam situasi era global. Isue-isue internasional seperti HAM, lingkunagn hidup, dan demokratisasi menjadi bahagian yang menyelinap dalam kehidupan bangsa Indonesia untuk direspon oleh pimpinan. Begitu juga dengan perdagangan bebas, teknologi dan informasi, dan mobilitas manusia mempercepat terjadinya perubahan.
Bersamaan dengan isue-isue tersebut, mensejahterakan rakyat menjadi tanggungjawab pimpinan mewujudkannya, hal ini sesuai dengan cita-cita kemerdekaan yang termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Salah satu indikator kesejahteraan itu adalah tersedianya pangan bagi masyarakat kapan saja dan di mana saja. Pangan menjadi bahagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehiduapan manusia, karena pangan merupakan kebutuhan dasar. Pada umumnya pangan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah beras, jagung, dan sagu. Bahan pangan tersebut dapat tumbuh dengan baik di bumi  Indonesia. Artinya wilayah atau alam Indonesia sangat potensial untuk tumbuhnya bahan pangan.
Kekayaan alam itu bila dikelola dengan baik tentu dapat menjadikan seluruh rakyat Indonesia sejahtera, dalam artian tidak akan dijumpai rakyat yang berkekurangan pangan. Seluruh kebutuhan pangan rakyat mestinya bisa dipenuhi oleh bangsa Indonesia sendiri mengingat hampir seluruh tanaman bisa tumbuh dengan baik dan subur di wilayah Indonesia. Akan tetapi apa yang diinginkan sebuah negera merdeka sampai saat ini belum terwujud dengan sempurna, sebahagian bahan pangan Indonesia seperti beras, kacang hijau masih diimpor dari luar negeri. Begitu juga pada saat tertentu masih dijumpai rakyat Indonesia yang tidak makan karena harga beras mahal.
Selain potensi tumbuh-tumbuhan yang dapat hidup didaratan, masih ada potensi laut dan danau yang kaya dengan berbagai jenis ikan. Kemudian ada hewan ternak yang dapat diambil susu dan daganing untuk memenuhi kebutuhan pangan. Peran pimpinan sangat diperlukan dalam mengelola kekayaan alam sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

II.      PEMBAHASAN
A.   Kepemimpinan Nasional
Dalam kehidupan manusia senantiasa ada yang dipimpin dan ada yang memimipin, masing-masing pemimpin memiliki karater, gaya, tanggungjawab, tantangan, dan wilayah kerja. Ada pemimpian yang bertanggungjawab pada kelompok kecil, ada yang luas dan besar, dan minimal memimpin diri sendiri. Kepemimpinan nasional itu sendiri diartikan kelompok pemimpin bangsa pada segenap strata kehidupan nasional didalam setiap gatra (Asta Gatra) pada bidang/sektor profesi baik di supra struktur, infra struktur dan sub struktur, formal dan informal yang memilki kemampuan dan kewenangan untuk mengarahkan/ mengerahkan kehidupan nasional (bangsa dan negara) dalam rangka pencapaian tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta memperhatikan dan memahami perkembangan lingkungan strategis guna mengantisipasi berbagai kendala dalam memanfaatkan peluang.
Menyimak pengertian ini maka pimpinan nasional bisa diartikan seseorang atau sekelompok orang yang memiliki wewenang mengarahkan kehidupan bangsa dan negara menujutu tujuan. Pimpinan nasional berada pada setiap strata atau jenjang yang kewenangannya menuju terwujudnya tujuan bangsa dan negara. Pimpinan nasional bisa bersifat formal yang dipilih, diamanatkan dan diambil sumpah/janji atau di SK-kan secara resmi dan digaji oleh negara, dan juga bisa kepemimpinan yang bersifat informal karena kharismatik, keilmuannya dipercayai oleh anggotanya/jemaahnya. Pimpinan nasional memahami perkembangan lingkungan strategis, mampu mengatasi kendala dan memanfaatkannya.
Melihat begitu banyak tantangan bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan negara, maka diperlukan kepemimpinan nasional memiliki moralitas, integritas dan intelektual yang baik, profesional,   manajerial, demokrasi, visoner dan misioner.  Kepemimpinan nasional bukan satu orang individu saja. Kepemimpinan nasional menurut Prof. John Pieris S.H. M.S merupakan kepemimpinan yang kolektif, pemimpin yang dipilih oleh rakyat yang memahami keseluruhan naskah empat pilar yaitu Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, oleh karena itu Bangsa Indonesia butuh kepemimpinan yang kuat dalam semua sektor.
Kebutuhan bangsa Indonesia akan kepepimpinan nasional yang kuat oleh karena tantangan sekarang bukan dari satu sisi saja. Ada tantangan dari luar sebagai konsekwensi Indonesia dalam globalisasi dan ada tantangan dari dalam. Menurut ketua BAPPENAS RI yang dimuat Harian Media Indonesia tanggal 3 Februari 2009 terdapat 5 masalah besar yang menghadang NKRI disamping Terror untuk sukses-nya Pembangunan Nasional adalah pertama, kemiskinan. kedua, lingkungan hidup. ketiga, utang. keempat, penegakan hukum. dan kelima, demokratisasi dan otonomi daerah.
Hal sama dinyatakan oleh Akbar Tanjung bahwa di era demokrasi politik yang, peran kepemimpinan nasional sangat penting. Pemimpin bangsa merupakan nakhoda yang hendak membawa bangsa ini menuju pelabuhan cita-cita bangsa. Kita membutuhkan pemimpin-pemimpin yang negarawan, yang memiliki komitmen yang tinggi untuk mensejahterakan rakyat, memajukan bangsa dan negara. (Website Sekretariat Negara Republik Indonesia, 30 April 2012)
Dalam mengarahkan kehidupan masyarakat atau anggotanya untuk mencapai tujuan, maka pimpinan nasional senantiasa berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD NRI 1945 menjadi acuan bagi setiap pimpinan nasional bertindak. Tujuan nasional yang diingankan secara garis besar adalah “aman” dan “sejahtera”, maka pimpinan nasional mengarahkan segala potensi sumber daya manusia dan sumber kekayaan alam untuk mencapainya.
B.   Peran Kepemimpinan Formal dan Informal
Pemimpin formal pada umumnya berstatus resmi dan didukung oleh peraturan-peraturan yang tertulis serta keberadaannya melalui proses pemilihan dan pengangkatan secara resmi. Pemimpin formal adalah orang yang menjadi pemimpin karena ”legalitas”-nya. Walgito (2003 : 93) mengungkapkan bahwa, ... di samping kelompok formal dan kelompok informal. Kelompok formal akan dipimpin oleh pemimpin formal yang mempunyai interaksi, yaitu lebih bersifat formal, lebih didasarkan atas pertimbangan rasio daripada pertimbangan perasaan, karenanya lebih bersifat objektif.
Sejalan dengan itu Mardikanto (1991 : 205) menyatakan bahwa pemimpin formal adalah pemimpin yang di samping memperoleh pengakuan berdasarkan kedudukannya, juga memang memiliki kemampuan pribadi untuk memimpin (kepemimpinan) yang andal. Dari segi organisasi seorang pimpin formal mengarah kepada kepemimpinan organisasi pamrih, yaitu organisasi yang bentuk keterlibatan anggotanya lebih didasarkan pada pertimbangan kalkulatif (untung-rugi/manfaat-korbanan yang harus dikeluarkan dan yang akan dapat-diterimanya).
Berdasarkan macam kegiatannya pemimpin formal memimpin pada kegiatan ekspresif dan kegiatan instrumental. Kegiatan ekspresif, yaitu kegiatan yang bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan normatif dan sosial, seperti; kebutuhan kerohanian/keagamaan, kesetiakawanan sosial, dan kebersamaan. Sedangkan kegiatan instrumental adalah kegiatan yang bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan dan alokasi sumberdaya, seperti : pertanian, industri, dan perdagangan.
Artinya bahwa pemimpin formal adalah pemimpin yang secara resmi diberi wewenang/ kekuasaan untuk mengambil keputusan-keputusan tertentu, dan dia mempertanggungjawabkan kekuasaan/wewenangnya tersebut baik pada atasannya maupun lembaga yang memberikan wewenang. Pemimpin formal pada umumnya berada pada lembaga formal juga, dan keputusan pengangkatannya sebagai pemimpin berdasarkan surat keputusan yang formal. Seorang pemimpin formal bisa saja hanyalah seorang kepala yang memiliki wewenang sah berdasarkan ketentuan formal untuk mengelola anggotanya, atau jika dalam organisasi memiliki wewenang untuk membawahi dan memberi perintah pada bawahan-bawahannya. Sejalan dengan dengan tanggungjawab dan kewengannya pemimpin formal mendapat imbalan finasial.
Sedangkan pemimpin informal adalah orang yang mempin karena ikatan emosional antara yang memimpin dengan yang dipimpin. Pemimpin informal dipercaya atas peran, kewibawaan dan kemampuannya dalam mengarahkan masyarakat. Pemimpin informal adalah pemimpin yang tidak diangkat secara resmi berdasarkan surat keputusan tertentu. Dia memperoleh kekuasaan/ wewenang karena pengaruhnya terhadap kelompok. Apabila pemimpin formal dapat memperoleh pengaruhnya melalui prestasi, maka pemimpin informal memperoleh pengaruh berdasarkan ikatan-ikatan psikologis. Tidak ada ukuran obyektif tentang bagaimana seorang pemimpin informal dijadikan pemimpin.
Walgito (2003 : 93) menyatakan bahwa pemimpin informal mempunyai batas-batas tertentu dalam kepemimpinanya. Ia memimpin kelompok informal yang statusnya tidak resmi, dalam hal organisasi umumnya tidak didukung oleh peraturan-pertaturan yang tertulis seperti pada kelompok formal. Sementara Sarwono (2005 : 44 - 46) menyatakan bahwa pemimpin informal dapat dikatakan sebagai ciri kepribadian yang menyebabkan timbulnya kewibawaan pribadi dari pemimpin dan merupakan bakat/sifat/karismatik yang khas terdapat dalam diri pemimpin yang dapat diwujudkan dalam perilaku kepemimpinan.
Menghadapi kondisi Indonesia yang penuh tantangan dan banyak persoalan apalagi untuk mencapai tujuan kepentingan bersama, maka tidak mungkin kepemimpinan dilakukan secara individual atau oleh seorang saja. Diperlukan kolektifitas, kerjasama dari pimpinan terkecil sampai terbesar baik pada posisi pimpinan formal maupun informal.
Dalam keorganisasian bangsa yang besar dan luas, pemimpin nasional memiliki peran strategis untuk menggerak dan mengarahkan anggotanya mencapai tujuan. Sumber daya alam Indonesia yang luas dengan potensi yang terkandung didalamnya menjadi modal untuk mensejahterakan rakyat. Potensi kekayaan alam itu diperlukan peran kepemimpinan nasional yang berkomitmen tinggi dalam mengelolanya. Dengan pengelolaan sumber kekayaan alam yang baik dan benar mampu mengantarkan kemakmuran sepenuhnya bagi rakyat, bangsa dan negara Indonesia sebagaimana tujuan dan cita-cita negara. Tujuan pengelolaan kekayaan alam adalah untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari segenap petensi sumber alam yang tersedia untuk meningkatkan kesejahteraan dan keamanan bangsa dan rakyat Indonesia secara berlanjut berlandaskan Wawasan Nusantara.
Menurut Syaidiman Suryohadiprojo  (2010) Kepemimpinan Nasional harus mempunyai keberanian untuk melakukan program prioritasnya sehingga sungguh-sungguh terwujud. Ini berarti sanggup mengutamakan hal-hal yang perlu dilakukan lebih dahulu agar dana yang tersedia benar-benar terpakai secara efektif untuk mendukung terwujudnya prioritas itu secara nyata. Kalau ditetapkan bahwa perwujudan Kesejahteraan Rakyat dilandasi Pembangunan Pertanian, maka Kepemimpinan Nasional sanggup dan berani untuk menetapkan penggunaan dana yang tersedia untuk secepatnya terwujud Sektor Pertanian yang produktif dan kuat daya saingnya, sehingga menjadikan Rakyat Petani golongan masyarakat yang sejahtera. Selama Kepemimpinan Nasional kurang keberanian untuk bertindak demikian maka tidak akan pernah terjadi fokus dalam pembangunan sehingga tidak pernah ada yang berkembang menjadi kekuatan nyata.
Kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat adalah sesuatu yang relatif sulit untuk mencari patokan dan indikator yang tepat untuk menyatakan telah tercapai kemakmuran dan kesejahteraan. Akan tetapi mempedomani kebutuhan dasar manusia berdasarkan teori Maslow adalah terpenuhinya sandang, papan, dan pangan. Di sinilah peran pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya yakni terpenuhi kebutuhan dasar (sandang, papan, dan pangan).
Peran kepemimpinan nasional dalam mengelola sumber kekayaan alam termasuk dalam membuat pemerataan dan berkeadilan mengingat tidak samanya potensi yang dikandung alam Indonesia. Lokasi dan konsentrasi sumber kekayaan alam tidak merata diseluruh wilayah Indonesia tidak sesuai dengan persebaran dan kemampuan penduduk Indonesia. Jika pemimpinan nasional tidak melakukan perannya dengan baik dalam pegelolaan akan dapat menimbulkan kesenjangan sosial.
Peran strategis pimpinan dalam mengelola sumber kekayaan alam sangat diperlukan, mengingat alam Indonesia memiliki potensi. Peran pimpinan formal dan informal dalam mengarahkan dan mengerahkan masyarakat untuk mengelola dan menjaga alam sangat diperlukan.  Kesalahan dalam mengelola akan berakibat fatal bagi anak cucu. Peranan kepemimpinan formal maupun informal, dalam menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila menduduki tempat yang sangat strategis dan menentukan dalam masyarakat Indonesia kedepan. Penonjolan sikap dan tingkah laku seorang pemimpin dan kerabat keluarganya yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila akan memberi pengaruh yang sangat besar kepada masyarakat lingkungannya.
Seiring dengan meningkatnya intensitas pembangunan nasional maka akan meningkatkan pula eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Khusus untuk kekayaan alam yang tidak terbarukan, maka eksploitasi yang terus menerus akan mengakibatkan kekayaan alam tersebut menjadi komoditi langka, sehingga nilainya menjadi strategis dan dapat mengandung kekuatan dari luar untuk menguasainya.
Eksploitasi kekayaan alam dan pengalihan lahan pertanian ke nonpertanian khususnya lahan sawah akan mengakibatkan kurangnya produksi padi. Bebarapa tempat telah terjadi konversi lahan sawah ke lahan industri, lahan rekreasi, dan kebun sawit yang mengakibatkan berkurangnya lahan sawah, sedangkan pembukaan lahan baru tidak sebanding yang telah dikonversi. Hal ini mencerminkan menipisnya pengamalan nilai-nilai Pancasila.
Pimpinan nasional harus cepat tanggap menyiasatinya berkurangnya lahan sawah sebab bisa mengakibatkan Indonesia senantiasa mengimpor beras dari negara lain. Ketergantungan pangan dari negara lain berarti Indonesia tidak mandiri dalam ketahan pangan. Artinya kemandirian pangan dapat dicapai dengan baiknya pengelolaan sumber kekayaan alam.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan pimpinan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberkeyaan alam diantaranya adalah;
1). Pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam Indonesia pada dasarnya dilakukan oleh dan untuk bangsa Indonesia, dengan cara-cara yang tidak merusak tata lingkungan hidup manusia dan dengan memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan datang. Dalam keadaan kemampuan nasional masih terbatas, maka dapat dilakukan kerjasama dengan perusahaan asing, dengan syarat yang paling menguntungkan bagi kepentingan nasional.
2) Dalam hal pemanfaatan kekayaan alam komoditi yang mempunyai nilai ekonomis harus didasarkan pada prinsip peningkatan kesempatan kerja bagi penduduk setempat dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional sehingga mengurangi kesenjangan sosial, peningkatan pembangunan daerah.
3) Melindungi serta mengelola kekayaan alam dengan cara tepat, terarah dan bijaksana serta lebih mementingkan manfaat untuk rakyat banyak dengan meningkatkan kemampuan teknologi tepat guna dan meningkatkan kualitas SDM yang mampu mengelola.
4) Melakukan inventarisasi tentang jumlah, mutu jenis dan persebaran kekayaan alam untuk mengetahui potensi riil yang dapat dimanfaatkan.
5) Membina kesadaran nasional untuk pemanfaatan dan pelestarian kekayaan alam serta penggarapan secara tersinkronisasi dan terintegrasi oleh berbagai pihak guna pencapaian hasil yang optimal serta pengamanan yang maksimal, sehingga tetap terjaga kondisi kelestarian dan keharmonisan lingkungan.
C.   Peran Kepemimpinan Daerah
Kepemimpinan nasional bukan hanya elit-elit tertentu yang berada di pusat pemerintahan saja. Kepemimpinan nasional berdasarkan modul 14 (2012:27) adalah yang berorientasi dari konsepsi paradigma nasional, utama pengimplementasian Ketahanan Nasional. Artinya kepemimpinan nasional adalah setiap pemimpin yang konsepsi paradigmanya untuk kepentingan dan mencapai tujuan nasional.   
Kepemimpinan di daerah yang memiliki orientasi berdasarkan konsepsi paradigma nasional dapat pula disebut sebagai kepemimpinan nasional. Pimpinan daerah juga didalamnya pimpinan informal yang dengan tugas dan tanggungjawabnya mengarah pada pencapaian tujuan dan cita-cita nasional disebut dengan kepemimpinan nasional. Dalam era otonomi daerah tidak berarti pimpinan daerah mengedepankan orientasi kedaerahan, pimpinan daerah tetap mengemukakan semangat kebersamaan dan kegotongroyongan dalam wadah negara kesatuan.
Dalam peran mewujudkan tujuan nasional yakni kemakmuran dan kesejahteraan rakyat menjadi tanggungjawab pimpinan daerah di masing-masing wilayahnya. Jika masing-masing pimpinan daerah telah mampu mensejahterakan rakyatnya maka secara kumulatif kesejahteraan nasional tercapai.
Pimpinan daerah memiliki sumber kekayaan alam yang berada pada wilayahnya masing-masing. Kekayaan alam itu menjadi tugas dan kewenangan pimpinan daerah mengelolanya. Pimpinan daerahlah yang melihat dan mengetahui persis bagaimana sumber kekayaan alam di daerahnya diolah dan dimanfaatkan. Pimpinan daerah yang berorientasi dengan konsepsi paradigma nasional akan  melaksanakan amanah dan tugasnya berdasarkan kepentingan nasional.
UUD NRI 1945 pasal 33 ayat 3 menyatakan bahwa ‘bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’. Menurut jenisnya kekayaan alam itu dibedakan dalam 8 golongan sebagai berikut : a) Hewan (fauna); b) Nabati (flora); c) Mineral (minyak bumi, uranium, biji besi, batu bara dan lain-lain); d) Tanah (tempat tinggal, tempat berpijak, tempat bercocok tanam); e) Udara (sinar matahari, oksigen, karbondioksida); f) Potensi ruang angkasa; g) Energi alami (gas alam, panas alam, air artetis, geotermis); h) Air dan Lautan. Selain itu alam Indonesia yang tropis dengan kelokannya dan berbagai budaya menjadi kekayaan tersendiri untuk dikunjungi wisatawan.
Konsep penguasaan oleh negara tersebut berarti, bahwa warga negara Republik Indonesia boleh mengusahakan serta memanfaatkan kekayaan alam yang ada. Sumber-sumber kekayaan alam sebagai karunia Tuhan adalah untuk memberi kehidupan kepada makhluknya, dan kekayaan wilayah Indonesia baik potensial maupun efektif adalah modal dan milik bersama bangsa untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari.
Berdasarkan UUD tersebut maka kekayaan alam yang ada di daerah menjadi tanggungjawab pimpinan daerah mendayagunakan untuk mencapai kemakmuran rakyatnya dalam wadah NKRI.  Kekayaan alam berupa fauna dan tanah untuk bercocok tanam bersentuhan lansung dengan pemenuhan kebutuhan pangan. Pimpinan daerah bertugas mengerahkan dan mengarahkan rakyatnya memanfaat sumber keyaan alam guna memenuhi kebutuhan pangannya.

D.   Kemandirian Pangan
Kemandirian pangan menurut Dr. Ir. Hermanto, MS (2012) adalah kemampuan negara memproduksi pangan dalam negeri untuk mewujudkan ketahanan pangan dengan memanfaatkan sebesar-besarnya potensi sumberdaya alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal secara bermartabat. Sementara menurut Ir. Siswono Yodo Husodo (dalam Ahmad Suryana, 2003:175) kemandirian pangan adalah kebutuhan pangan nasional harus dipenuhi secara mandiri dengan memberdayakan modal manusia, modal sosial dan ekonomi yang dimiliki petani Indonesia, yang pada gilirannya harus berdampak kepada peningkatan kehidupan sosial dan ekonomi petani dan masyarakat lainnya.
Dari pengertian di atas tampak bahwa kemandirian pangan berangkat dari kemampuan bangsa Indonesia untuk menyediakan sendiri kebutuhan pangannya. Pembicaraan kemandirian pangan akan membangkitkan semangat nasionalisme, dalam artian bahwa alam Indonesia yang luas dan subur sangat dimungkinkan memproduksi sendiri bahan pangan dengan tidak tergantung pada impor. Ada beberapa bahan pangan pokok yang dikonsumsi rakyat Indonesia, seperti beras/nasi, jagung dan sagu.
Berdasarkan Undang-undang No. 7/1996 pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan dan minuman. Jadi pangan merupakan sumber energi, protein, dan vitamin bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sehat dan cerdas. Walau berbagai macam variasi bentuk dan sumber pangan Indonesia, namun bahan pangan utama rakyat Indonesia adalah beras yang dihasilkan dari lahan sawah.
Indonesia pada dekade 1980-an mampu berswasembada beras sehingga dengan prestasi itu mengantarkan Presiden Soeharto menerima piagam penghargaan dari FAO. Namun ternyata negara yang telah swasembada beras ini bisa mengalami krisis pangan seperti yang pernah terjadi pada akhir 1990-an di NTB dan Papua. Penyebabnya berbagai faktor karena gagal panen yang disebabkan bencana alam, iklim yang buruk, berkurangnya lahan, dan serangan hama. Atau bisa juga distribusi pangan tidak merata dan menjangkau seluruh masyarakat satu negara. Bahkan ironisnya saat ini ternyata bangsa Indonesia mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand.
Salah satu penyebab Indonesia tidak mampu lagi berswasembada beras adalah berkurangnya lahan sawah. Telah terjadi alih fungsi lahan sawah yang menyebabkan turunnya hasil produksi beras Indonesia. Sebahagian petani di Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan telah mengalihkan hapir 30 % lahan sawah ke tanaman karet dan sawit yang lebih menguntungkan hasilnya. Sementara di perkotaan lahan sawah beralih fungsi ke lahan industri, perumahan dan lahan rekreasi. Artinya pengelolaan kekayaan alam (lahan pertanian) sebagai sumber pangan telah berubah dan bergeser. Maka peran pemimpin yang berorientasi konsepsi paradigma nasional sangat dibutuhkan, agar kekayaan alam dapat dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya bagi kepentingan rakyat.
Akibat berkurangnya lahan persawahan dengan sendirinya produksi beras berkurang. Sementara pencetakan lahan persawahan baru hampir tidak ada, proyek sejuta lahan gambut untuk dijadikan sawah di Kalimantan tidak berhasil sepenuhnya. Kondisi ini menjadi salah satu kemunduran produksi gabah/ padi nasional. Sebagaimana dinyatakan oleh Wakil Presiden Boediono yang dikutip web resmi Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Propinsi Riau dan Situs Riau online 18 Agustus 2010 menyatakan “Kemunduran sektor pertanian jenis tanaman sawah padi ini bukan hanya terjadi di Riau. Secara nasional, sejak tahun 2000-an sektor pertanian cenderung stagnan. Padahal dalam era tahun 70-an sektor pertanian inilah yang menjadi kekuatan pembangunan”. Berkurangnya perhatian pada pembangunan bidang pertanian khususnya pangan menjadikan negara Indonesia tidak mampu berswasembada beras dan malah sekarang menjadi pengimpor beras. Dikhawatirkan kebutuhan pangan Indonesia menjadi tergantung dengan bangsa lain yang berarti tidak memiliki kadaulatan pangan dan kemandirian pangan.
Menurut Ahmad Suryana (2003:109) bahwa pembangunan ketahanan pangan adalah ketahanan pangan rumah tangga, yang tentu secara kumulatif akan mendorong ketahan pangan daerah dan nasional. Lebih lanjut dijelaskan beberapa starategi yang dikembangkan dalam pemantapan ketahan pangan di antaranya; pengembangan kapasitas produksi pangan nasional melalui rehabilitasi kemampuan dan optimalisasi pemantapan sumberdaya alam (lahan dan air), peningkatan partisipasi masyarakat dalam keseluruhan sistem ketahan pangan.
Berkaitan dengan itu maka tujuan pembangunan pangan menurut Dr. Ir. Hermanto, MS (2012) dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, Ketahanan Pangan, dan Keamanan Pangan, serta tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Untuk mewujudkan kemandirian pangan maka peran kepemimpinan nasional baik di pusat maupun daerah, formal maupun informal menjadi sangat penting.

III.   PENUTUP
Kepemimpinan nasional merupakan kelompok pemimpin bangsa pada segenap strata kehidupan nasional formal dan informal yang memilki kemampuan dan kewenangan untuk mengarahkan/ mengerahkan kehidupan nasional (bangsa dan negara) dalam rangka pencapaian tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kepemimpinan nasional menjadi salah satu penentu tercapainya tujuan dan cita-cita nasional  yang termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945 yakni “...untuk memajukan kesejahteraan umum”.
Indonesia memiliki berbagai sumber kekayaan alam yang semua potensinya digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Tanggungjawab mengendalikan sumber kekayaan alam itu berada pada negara yang pelaksanaan pengelolaannya ditangan kepemimpinan nasional. Pimpinan formal dan informal baik ditingkat pusat maupun daerah adalah bahagian dari kelompok pimpinan bangsa yang mengerahkan dan mengarahkan segala potensi sumber kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat.
Di antara indikator kesejahteraan rakyat adalah terpenuhi kebutuhan pokoknya terutama bahan pangannya. Beras merupakan bahan pangan yang dominan dikonsumsi rakyat Indonesia di samping bahan makanan lainnya. Beras atau padi tumbuh dan berkembang pada lahan sawah sebagai salah satu sumber kekayaan alam, namun akhir-akhir ini lahan sawah telah banyak beralih fungsi sehingga berakibat kurangnya produksi beras.
Bangsa Indonesia pernah berada pada posisi berswasembada beras, kemampuan memproduksi beras (pangan) dan mencukupi bagi seluruh rakyat merupakan syarat untuk kemandirian pangan. Peran pimpinan dalam setiap strata menjadi sangat penting untuk mengelola sumber kekayaan alam agar segala potensi yang dimiliki bangsa Indonesia dapat diarahkan guna memproduksi sendiri kebutuhan pangan.

 Sebahagian lahan pangan yang perlu dipelihara, 
jangan sampai terjadi alih fungsi ke lahan nonpangan

DAFTAR PUSTAKA
Achmad Suryana. 2003. Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM.
Ahmad Thoriq. tt. “Kumpulan Jurnal Ilmiah Tahun 2001-2009: Ketahanan Pangan Dalam Rangka Kemandirian Bangsa”.
Bambang Hendro sunarminto. 2010. Pertanian Terpadu Untuk Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Bambang Irawan. 2005. “Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak Pola Pemanfaatannya dan Faktor Determinan” Bogor: Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 23.
Bustanul Arifin. 2005. Pembangunan Pertanian, Paradigma Kebijakan dan Strategi Revitalisasi. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Hermanto. 2012. “Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional” (power point) disajikan pada Pembekalan PPRA XLVIII Lemhannas. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian.
Hilman Manan. 2006. “Tantangan Terbesar Revitalisasi Pertanian”. (makalah). Makasar: Universitas Hasanuddin.
Hudaini Hasbi. 2011. “Pengelolaan dan Manajemen Sumber Daya Alam” (makalah)
-------. 2011. “Pengelolaan Sumber Daya Alam Sebagai Payung Kesejahteraan” (makalah).
Irawan, A. 1998. Analisis Respon Penawaran Padi Sawah dan Ladang di Jawa dan Luar Jawa. Studi Respon Penawaran. Tesis Magister pada Program Studi Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
-------, 2006. “Multifungsi Lahan dan Revitalisasi Pertanian”. Dimuat pada surat kabar Suara Pembaruan, 23 Juni 2006.
-------. 2012. “Memilih Jalan Pintas, Impor Beras”.  Medan: dalam Jurnal Wacana Senin, 05 Mar 2012.
Lemhannas. 2012. Modul 1,2,3, dan 4 Bidang Studi Kepemimpinan Nasional. Jakarta : PPRA XLVIII, Lemhannas.
Muhammad Hambali. “Revitalisasi Lahan Pertanian Menuju Ketahanan Pangan Nsional”. Diunduh Rabu, 09 Mei 2012.
Situs Riau. Com. 2010. “Kebun Sawit Ancam Lahan Pertanian Sawah di Riau”. Diunduh, Rabu, 09 Mei 2012. 

Selasa, 26 Juni 2012

SEJARAH SENI RUPA TIMUR


Oleh : Adirozal
BAB II
SENI RUPA INDIA

A. Sekilas Sejarah India
India berasal dari nama salah satu sungai yang ada di jazirah ini yaitu sungai Sindu. Untuk mengetahui penduduk pertama yang mendiami jazirah India sampai saat ini belum dapat diketahui secara pasti. Akan tetapi bila dirujuk lebih awal ke sejarah turunnya manusia ke bumi, maka manusia pertama sebagai nenek moyang manusia, Siti Hawa diturunkan Allah disekitar jazirah India. Begitu juga bila melihat secara geografi maka India dahulunya diyakini bertautan dengan Indonesia dan benua Australia. Hanya saja setelah itu dipisahkan karena pergeseran-pergeseran lempeng bumi dan naiknya air pada masa glacial.
Negeri ini telah memiliki taraf kemajuan kebudayaan semenjak 2.300 SM. Bukti kemajuan itu diketahui dari penyelidikan terhadap dua buah kota kuno yaitu Harappa dan Mohenjo-Daro. Dari hasil penyelidikan atas kemajuan kebudayaan India ini ditemukan seni bangunan, kemampuan menulis, gudang-gudang tempat menyimpan makanan, dan tepian tempat mandi. Kemajuan India dalam soal beragamapun juga telah lama sebelum nabi Isa a.s lahir. Dari jazirah ini pula lahir agama Brahmana dan Budha Gautama.
Perkembangan sejarah India yang begitu panjang tentu meliputi sejarah kesenian mereka. Khusus tentang sejarah seni rupa India yang diketahui sekarang dan dikaji dimulai pada masa bangsa Arya menyerbu daerah ini sekitar 2.000 – 1.200 SM. Bangsa  Arya ini mendesak penduduk yang telah mendiami India yakni bangsa Drawida.
Sejarah perkembangan India selanjutnya dipengaruhi dan diwarnai dengan munculnya kerajaan-kerajaan besar di jazirah ini. Hubungannya dengan luar negeri dan agama juga
memberi andil dalam mempengaruhi perkembangan budaya negeri ini. Agama yang dominan mempengaruhi sejarah India adalah Hindu, Budha dan Islam. India yang dimaksud dalam sejarah ini meliputi negara India, Pakistan, Banglades, dan Sri Langka. Tiga negara terahir (Pakistan, Banglades, dan Sri Langka) yang merupakan bahagian dari India sebelumnya kemudian berpisah menjadi negara merdeka.


Peta 1
India dengan beberapa negara tetangga

Kerajaan-kerajaan besar masa Hindu dan Budha yang terkenal adalah dinasti Maurya (322-185 SM). Kerajaan ini terletak bagian utara India sebagai pusat pemerintahannya Pataliputra dengan rajanya Candragupta Maurya. Kerajaan-kerajaan lain yang terdapat bagian Selatan India seperti; Dinasti Andhra (225 SM – 225 M) dengan rajanya yang dikenal luas dan banyak dijumpai dalam cerita-cerita termasuk di Indonesia yaitu Catawahana. Kebudayaan Wengi (Vengi) yang berpusat di kota Amarawati terdapat dalam dinasti ini. Dinasti Pallawa pada tahun 350 M – 897 M  dengan ibu kota Kancipuram. Raja yang terkenal pada masa ini Narasimha Warman I memerintah sekitar tahun 630 M. Raja ini memajukan kesenian dan membangun pelabuhan. Raja terahir dinasti Pallawa dikalahkan Aditya dari Chola pada tahun 897 M. Dinasti Chola menguasai sebagian besar India selatan yang meliputi Madras, Srilangka dan Mysore. Puncak kejayaan dinasti ini pada masa raja Rayaraya I (985- 1014 M) dengan pusat pemerintahan di Tanyore. Selain itu ada dinasti Calukya (600 M – 753 M). Raja yang terkenal pada masa dinasti Calukya adalah Palakecin II memerintah pada tahun 609 – 642, pusat pemerintahan di Badami (Bombay). Semua kerajaan dan dinasti di atas merupakan kerajaan Hindu dan Budha. Setelah itu perkembangan kerajaan dan budaya India dipengaruhi oleh agama Islam
Islam masuk ke India melalui Iraq ketika negeri Iraq dibawah pemerintahan amir Al Hajjaj. Panglima perang Iraq yang ditunjuk untuk memasuki India sangat muda berusia 17 tahun bernama Muhammad bin Al-Qasim. Pada abad ke 8 penguasa Islam sudah mulai tampil di India. Adalah Mahmud Ghazna yang menggabungkan India utara dan barat ke pusat kerajaannya di Afganistan. Pusat kerajaan di pindahkan ke Delhi adalah semasa pemerintahan Kutb al-din Aibak.
Pemerintahan Islam selanjutnya yakni dinasti Mughal (Mogul) pada tahun 1526 sampai 1739 yang didirikan oleh Sultan Zahiruddin yang digelari Babur. Pada masa ini ia mampu menciptakan pemerintahan yang kuat karena kesatuan dan keteraturanya dalam sistem pemerintahan. Pemerintahan ini hanya bertahan sekitar 200 tahun dan setalah itu kerajaan kecil dan orang-orang Hindu mulai menyusun kekuatan dan menggerogoti dinasti ini serta melepaskan dominasi orang Islam.
Pada masa akhir dinasti Mugul ini sebenarnya telah tumbuh kekuatan imperealis/ kolonial barat di jazirah ini. Orang-orang Portugis telah bermukim di jazirah ini pada sekitar tahun 1500 M. Kemudian disusul oleh bangsa barat lainnya yang ambisiusnya lebih dari bangsa Portugis yakni Perancis dan Inggeris. Ambisinya itu telihat dalam keterlibatan mereka dalam politik. Pada tahun 1877 Ratu Inggeris yang bernama Victoria memproklamirkan bahwa jazirah India dibawah kekuasaannya.
Semenjak itu perkembangan India terurama dari budayanya mendapat pengaruh dari bangsa imperialis Inggeris sampai pada abad ke 20. Pada masa ini rasa nasionalis bangsa India tumbuh namun seiring dengan itu sentimen keagamaan  juga berkembang yakni antara Hindu dengan Islam. Dari rasa sentimen agama ini melahirkan negara baru Pakistan dan Banglades yang moyoritas Islam sedangkan India dan Sri Langka lebih didominasi Hindu.
Sebagaimana dikemukakan bahwa perkembangan seni rupa di India dipengaruhi oleh Hindu, maka ada baiknya diketehaui sekilas tentang Hindu, Jaina, dan Budha.
1. Hindu
Bangsa Arya yang hidup di kampung-kampung kecil sekitar tahun 1800 sampai 800 SM pada umumnya menyembah dewa. Mereka menggunakan bahasa sangsekarta dan lebih dekat dengan bangsa Indo-Eropa di Yunani dan Romawi. Dalam kitab Veda sebagai kitab suci kuno dari agama Hindu menurut Syofyan Salam (1999) merupakan risalat agama Indo-Eropa yang tertua berisi lagu-lagu pemujaan untuk penghormatan kepada dewa langit, dewa matahari, dewa badai, dewa bumi dan sebaginya.
Tahun 800 – 500 SM dihasilkan karya keagamaan Brahmana dan Upanisad. Dalam Brahmana diuraikan tentang kitab Veda yang menyangkut cara penyembanhan kepada dewa-dewa. Kaum Brahmana menjadi sangat penting dalam prosesi penyembahan pada dewa-dewa terutama dalam tata cara pemberian sesaji.
Kitab Upanisad lebih banyak membicarakan tentang hakekat rokh (Brahma), dunia rokh sebelum sampai pada tujuan akhir dia akan hidup beberapa kurun waktu dalam tubuh yang kasat mata. Kehidupan yang berkali-kali dalam tubuh itu dikenal dengan reinkarnasi. Kitab ini berisi ajaran mengenai landasan berfikir atau filosofis.
Pada masa ini juga masyarakat Hindu dibagi atas empat kasta. Pertama kasta Brahman yang dianggap kelompok tertinggi atau terhormat, yang termasuk dalam kasta ini adalah para pendeta. Kedua kasta Ksatria yang terdiri dari kaum bagsawan dan prajurit. Kelompok seniman, pedagang, dan petani termasuk pada kasta Waisya. Kemudian kasta Sudra yang terdiri dari para budak atau rakyat jelata. Pembagian kasta ini tentu tidak terlepas dari hegemoni para tokoh agama dan bangsawan atas bangsa drawida yang termasuk dalam kelompok sudra.



2. Jaina
Awalnya agama ini merupakan sebuah reformasi berpikir dari agama Hindu, salah seorang keluarga bangsawan bernama  Mahawira mendirikan sekte sekitar tahun 500 SM, ia lebih muda dari Sidharta Gautama (pendiri agama Budha). Ia menentang kehidupan bangsawan yang diliputi oleh kekuasaan dan kemewahan, Mahawira pergi mengembara selama 12 tahun untuk mencari arti kehidupan. Pengembaraannya diformulasikan dalam sebuah ajaran ahimsa yang melihat setiap kehidupan bernyawa adalah suci dan tidak boleh diganggu. Segala sesuatu yang ada di dunia ini hakekatnya berjiwa seperti batu-batuan, binatang, dan tumbuh-tumbuhan, maka manusia harus memperlakukan dengan selayaknya.
Di samping itu ajarannya ini adalah bahwa tidak boleh membunuh makhluk bernyawa, harus bersikap jujur, tidak mencuri, tidak memiliki harta. Untuk melepaskan diri dari kehidupan dunia yang materialis adalah dengan bertapa dan mensucikan diri. Mahawira terus menyebarkan pemikirannya ini sebagai sebuah ajaran agama.

3. Budha
Pada tahun 563 SM di Kapilawastu lahirlah Sidharta Gautama yang mendirikan ajaran Budha. Kehadiran ajaran Budha tidak lepas dari hasil perenungan Sidharta yang didapat dari pengembaraannya dalam kehidupan yang keras. Ia yang lahir dari keturunan bangsawaan melepaskan atributnya dalam pengembaraannyanya, hal ini sama dengan Mahawira.
Hal pokok dalam ajaran Budha dalam mencapai kehidupan surgawi adalah dengan cara melepas kehidupan duniawi. Maka dalam hal ini penderitaan merupakan susuatu yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan, keinginan diri harus harus dirusak, dikekang, dan dibunuh. Pengembaraan diperlukan dengan meminta-minta sambil melakukan disiplin tertentu.
Ajaran Budha yang lahir di India ini sebelumnya kecil (hinanaya) selanjutnya berkembang menjadi besar (mahayana). Perkembangannya yang pesat terjadi semasa raja Asoka pada dinasti Maurya. Awal abad ke 6 ajaran ini terdesak oleh Hindu dan selanjutnya bergerak ke arah timur India kemudian lenyap. Ajaran Budha kemudian menyebar ke negeri tengganga India seperti Sri Langka, Tibet, Cina, Jepang, Burma, Thailand, dan Indonesia.

B. Seni Rupa India

Ada berbagai karya seni rupa India yang menonjol dan memberi pengaruh terhadap perkembangan seni rupa Indonesia. Karya seni rupa India yang memberi pengaruh besar itu adalah arsitektur seperti candi dan bangunan lainnya, lukisan dan ukiran/ relief yang bersumber cerita mahabrata. Sejarah India kuno memiliki berbagai macam hasil kebudayaan, antara lain  seni lukis, seni patung, seni bangunan (arsitektur), seni kerajinan, seni busana dan lain sebagainya. Disetiap kebudayaan memiliki perbedaan masing-masing dan juga memiliki pengaruh ke Indonesia.
Karya-karya seni rupa India terutama lukisan sudah ditemui semenjak zaman prasejarah sekitar 5.500 SM. Perkembangan seni rupa India seiring dengan perkembangan budaya dan masuknya pengaruh agama. Sebagaimana diketahui karya seni di India tidak semata-mata bertujuan keindahan melainkan ditujukan untuk pemujuan dan  memperdalam kehidupan kerohanian. Pengaruh agama seperti Budha, Hindu, dan Islam banyak menjadi insipiarsi seniman dalam berkarya.
Dalam mengapresiasi seni rupa India harus dipahami latar belakang agama yang mendasarinya. Karya-karya seni rupa India bersifat simbolis tidak dibuat berdasarkan ekspresi tok. Ada aturan-aturan tertentu dalam membuat karya, aturan-aturan itu sangat baku seperti proporsinya, bentuk-bentuk, dan warna yang digunakan. Jika terjadi penyimpangan dari aturan maka karya itu dianggap tidak bermanfaat walau karya tersebut indah dan halus (eksperisif). Hal ini tidak lepas dari maksud seni dibuat tidak untuk memuaskan rasa estetis seniman melainkan untuk mempertinggi martabat dewa dan memperdalam rasa keagamaan.
Terjadinya berbagai variari dalam karya disebabkan pengaru lokal dan perkembangan zaman. Pengaruh agama juga menimbulkan style karya seperti awalnya Budha tidak dibuat dalam bentuk patung figuarif melainkan motif pohon bodhi, telapak kaki, ataupun motif hias roda. Bagian atas candi atau atap pada abad 9 sampai abad 13 dibuat dalam bentuk ujung peluru.

1. Seni Lukis India
Sejarah dan perkembangan seni lukis India tidak sedahsat perkembangan seni patung dan arsitekturnya. Data tentang seni lukis India amat terbatas terutama data-data seni lukis masa-masa dinasti yang berkuasa di India. Namun seni lukis India tentulah tetap ada sebagaimana ditemukannya lukisan yang terdapat di gua Ayanta.
Seni lukis zaman Ayanta ini merupakan seni lukis yang dianggap menemukan tingkat kemajuan yang tinggi waktu itu. Ada dua tahap perkembangan seni lukis masa ini yakni pertama abad 2 AD dan tahap kedua pada abad ke 5 AD di bawah naungan Vakatakas yang memerintah di Deccan.
Karya-karya lukis dibuat dari filosofi yang dalam, yang anggun dan agung. Bila dilihat dari teknik seni lukis moderen maka lukisan sudah sangat maju. Hal ini dapat dilihat sudah adanya pemahaman perspektif yang dapat dilihat pada bagian tiang-tiang.

.
 Gambar 1
Lukisan Visvantara Jataka, gua 17 abad 5, Ayanta
Objek gambaran adalah adegan dari kehidupan Budha dan Jatakas, cerita orang melahiran. Lukisan ini membawa kita ke keindahan besar dengan sangat halus terhadap makna hidup dan berbagai tahapan realita. Pencari kebenaran yang dilukis pada dinding goa Ayanta, merupakan penggambaran kehidupan roh yang meliputi seluruh dunia. Lukisan-lukisan di goa Ayanta menjadi sumber inspirasi lukisan-lukisan Budha di seluruh Asia.
Disamping itu ditemukan lukisan abad 6 pada hindu Badami dari gua-gua di Karnataka. Lukisan-lukisan terdapat pada semua dinding dan langit-langit goa yang ditutup dengan mural. Lukisan pada abad ke 7 juga dijumpai di Yang Pallava Raja sekarang Tamil Nadu. Tema-tema lukisan memberi ekspresi bergairah dan kemuliaan yang berkaitan dengan Siva. Dalam lukisan di candi Panamalai dan Kailashanatar di Kancheepuram abad ke 10 lukisan-lukisan dengan tema yang sama menjadi simbol kemegahan kaum bangsawan raja-raja Chola.


Gambar 2
Raja Rajaraja Chola dan Guru Karuvurar Brihadeeswara
di candi Tamil Nadu
 Ada juga lukisan dari akhir abad ke 9 (Jaina) di gua-gua di Ellora. Para pelukis di sini melanjutkan tradisi lama, tetapi dengan kontribusi dari mereka sendiri. Selain naturalisme dan ide-ide dari warisan Ayanta, angka dan huruf dilukis dengan penggayaaan atau distilirisasi. Corak ini adalah perubahan signifikan yang kemudian tercermin dalam lukisan dan kaligrafi di Indonesia.
Di Kasmir masih kawasan India terdapat corak baru perkembangan lukisan waktu itu. Selain temanya yang tidak saja pengambaran para dewa melainkan juga dewi. Lukisan-lukisan itu sama di berbagai tempat lain yakni terdapat didinding goa. Berbagai tema lukisan jumpai pada masa ini, seperti tentang manusia, kesunyian, dan kebesaran.
Gambar 3; Dewi sebagai penyelamat.
Lukisan-lukisan yang terdapat didinding-dinding goa, dan bagian atasnya menjadi insipirasi bagi perkembanganan seni lukis mural di India sampai berabad-abad kemudian. Lukisan-lukisan itu dibuat di dinding dan atap atau bagian atas candi, kuil, dan stupa. Umumnya tema-tema lukisan mengenai pemujuaan terhadap dewa dan tentang kehidupan, sedang tujuan lukisan untuk peningkatan rasa keagamaan dan kemanusian.
Bagian utara India seni lukis pernah mengalami kejaan pada abad ke-16, yang waktu itu daerah ini di bawah masa pemerintahan maharaja Mughal Akbar. Pada masa ini pernah lahir sebuah miniatur yang tinggi mutunya yakni miniatur yang terdapat di pengadilan.

Gambar 4
Parvati dengan sahabat-sahabatnya, Lepakshi, Andhra Pradesh,
abad ke 16, lukisan ini mencerminkan budaya kosmopolitan
Orang kaya dengan beragam tekstil

Kualitas lukisan dinding yang baik dari Rajasthan ditemukan di Amer Bhojanshala dekat Istana Jaipur. Ini adalah lukisan yang sangat indah abad 17 di India. Pada lukisan ini (gambar 5) pelukis memperlihatkan gambaran kedekatan dan persahabatan yang kuat. Lukisan diekspresikan di atas tembok dan dibuat dalam skala kecil untuk mural. Namun, pelukis mampu mengungkapkan dengan kepekaan dan kecermatannya menciptakan sebuah gambaran keintiman antara pengamat dan lukisan.

Gambar 5
Krishna dengan Gajah, Bhojanshala,
Amer Palace, Rajasthan, Abad ke-17
Gambar 6; Lukisan Siva abad 18 Chamba

Lukisan Siva seperti gambar di atas terdapat pada candi Shivdwala, Chamba, Himachal Pradesh. Lukisan Siva ini mengungkapkan dunia keindahan dan kemurnian. Siva digambarkan dengan lemah lembut dan penuh kasih pada dataran sebelah timur India, yang merupakan negara kaya. Ini adalah sebuah contoh yang langka dari tradisi kuno mural India berbeda dengan miniatur yang dibuat pada dinding dengan tema-tema lukisan kisah Ramayana.
Seni lukis India terutama lukisan didinding yang terdapat di goa, candi, dan kuil juga dapat ditemui di daerah Punjab. Mural dari Punjab mungkin menjadi tahap akhir lukisan dinding di India. Pada lukisan-lukisan terdapat wajah khas dari Punjab. Tema-tema dan caranya yang sangat berakar pada budaya lokal. Ada rasa sepi yang bermartabat, yang terbaik yang muncul dalam lukisan ini.. Lukisan mural ditemukan tersembunyi jauh di candi di tengah-tengah pasar yang sibuk di Amritsar, di kuil di desa seperti Kishankot, Qila Mubarak, dan Qila Androon dalam benteng Patiala.  
Lukisan-lukisan India terutama yang bertemakan kisah Ramayana banyak mempengaruhi seni lukis Bali corak tradisi. Selain tema lukisan beberapa teknik dan pewarnaan juga banyak dipengaruhi lukisan India. Seni lukis dinding, seni relief Indonesia juga mendapat pengaruh dari mural India. Sebagaimana diketahui sampai saat ini di Bali masih banyak penganut agama Hindu dan juga beberapa tempat di Jawa. Dari fakta ini maka pantas kesenian India mempengaruhi berbagai kesenian di Indonesia terutama di daerah tersebut.

Gambar 7
Lakshmana di candi Viranchinarayan Orissa Abad 18.

2. Arsitektur India

Karya arsitektur India sama halnya dengan seni lainnya, ia pun dipengaruhi oleh unsur keagamaan. Beberapa arsitektur India seperti stupa, candi, dan kuil berkaitan dengan agama Budha, Hindu, dan Jaina. Artinya bangunan-bangunan itu selain berfungsi untuk tempat pemujaan juga tempat tinggal bikhsu. Misalnya komplek stupa selain sebagai monumen juga berfungsi tempat pemujaan, di situ ada chaitya dan wihara sebagai tempat pertemuan, tempat pemujaan dan sekaligus tempat tinggal bikhsu.
Bangunan-bagunan ini sebagai bukti sejarah kemajuan budaya India. Selain berarsitektur bagus bagunan-bagunan itu terbuat dari bahan batu. Bagunan yang terbuat dari bahan batu ini sangat tahan. Beberapa karya arsitektur India senantiasa menjadi bahan kajian dan bahasan karena di antara karya-karya seni India maka seni bagunan ini lah yang masih tersisa sebagai bukti  peninggalan sejarah.
Stupa merupakan salah satu bagunan suci berfungsi sebagai monumen peringatan Budha. Bangunan ini mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan budaya masyarakatnya. Pada awalnya bentuk stupa sangat sederhana, bagai onggokan tanah setengah lingkaran, kemudian berkembang dengan penambahan bentuk kiri, kanan, depan belakang, dan bagian atas. Bahannya pun berubah dari tanah menjadi batu. Walaupun bahan stupa dari tanah atau batu namun bila melihat arsitekturnya sangatlah bagus karena selain ada patung ada ornamen-ornamen.
Stupa yang merupakan tempat suci bagi penganut Budha sekaligus sebagai tempat pemujaan. Di dalam stupa tersimpat benda-benda suci. Perkembangan arsitektur stupa lebih banyak di luar India sebagaimana perkembangan agama Budha itu sendiri. Di daerah Thailand tempat berkembangnya agama Budha maka stupa dapat dijumpai dalam berbagai bentuk dengan arsitektur yang indah, megah dan berkesan mewah.
Arsitektur India lainnya adalah chaitya dan wihara, dua  bangunan ini tidak begitu sering dibahas. Bagunan ini berupa gua atau bukit yang dikerok. Umumnya bangunan ini sebagai tempat pertemuan, tempat tinggal bikhsu (bertapa atau menyendiri) dalam upaya menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi.
Chaitya dapat berupa stupa, altar, dan bahkan pohon karena maksudnya adalah tempat pemujaan. Chaitya yang dibuat di bukit bentuknya empat persegi panjang dengan ujung bagian dalam berupa setengah lingkaran tempat meletakkan patung budha. Kiri kanan menuju ceruk (setengah lingkaran) disangga oleh tiang, bagian atas melengkung, bagian depan atau pintu masuk dihiasi dengan berbagai relief.
Chaitya yang paling tua dibuat sekitar 150 SM yaitu chaitya Bahaja. Perkembangan arsitektur chaitya selanjutnya dalam bentuk penambahan interior dan eksteriornya, ukuran, dan bahan-bahan yang digunakan. Chaitya yang terkenal terdapat di Karli dan dibuat pada masa dinasti Andhra abad ke 1 dan ke 2 M.
Kemampuan dalam menggali bukit, menyangga, dan membuat ornamen menunjukkan telah majunya budaya India pada abad ke 1 M. Pada pintu masuk chaitya tampak kesan keanggunan dan sekaligus juga kesan ritual. Pemilihan lokasi juga sangat menentukan perpaduan antara ritualitas dan seni bangunan.
Gambar 8; Chaitya di Bhaja abad ke 2 SM

Wihara atau juga ada yang menamakan bihara adalah tempat tinggal bikhsu untuk melaksanakan kebaktian. Sebelum datangnya agama budha ke India maka orang-orang India sudah terbiasa hidup menyepi dalam menghindari diri dari keramainan. Kebiasaan ini menjadi subur ketika agama Budha berkembang di India, sehingga banyak pula dijumpai wihara peninggalan arsitektur India.
  Sama halnya dengan chaitya maka wihara juga bukit yang dikerok. Bedanya denah wihara bujur sangkar sebagai tempat utama pertemuan kemudian di sekelilingnya terdapat ruang-ruang kecil tempat bikhsu. Awalnya wihara hanya tempat tinggal bikhsu kemudian dilengkapi dengan patung budha sehingga fungsinya juga berkembanag sebagai tempat pemujaan.  Wihara yang terkenal terdapat di Ajanta yang dibangun pada abad ke 2 sampai abad ke 7 M.
Arsitektur India yang sering dibicarakan adalah candi, mungkin karena bagunan ini yang memberi pengaruh besar di Indonesia. Candi Borobudur, candi Mendut, candi Prambanan dan candi-candi lainnya di Indonesia semuanya mendapat pengaruh dari India. Perkembangan candi itu sendiri searah dengan perkembangan agama budha dan hindu di India.
Bukti sejarah arsitektur candi yang masih dapat dilihat sekarang terdapat di Bodhgaya. Tempat suci untuk pemujaan telah didirikan oleh Ashoka sejak abad 3 SM. Sedangkan candi baru didirikan oleh dinasti Kushan (78 – 176 M) yang terkenal dengan candi mahabodhi. Arsitektur mahabodhi yang ada sekarang telah mengalami berkali-kali pemugaran. Candi mahabodhi berbentuk bujur sangkar dengan atap berbentuk bujur sangkar.
Setiap saat candi mahabodhi ini sering dikunjungi oleh peziarah baik dari dalam maupun dari luar India. Peziarah ini menjadi donasi bagi pemugaran candi sehingga sampai sekarang bangunan ini mengalami berkali-kali pemugaran. Jadi sekarang candi ini lebih banyak sebagai tempat ziarah dibanding sebagai tempat ritual. Sekarang tidak banyak penganut agama budha melakukan ritulitas keagamaan di candi ini, mungkin sama kasusnya dengan candi-candi di Indonesia yang lebih banyak sebagai artefak.
Telah banyak teori yang mencoba menjelaskan perihal bagaimana caranya pengaruh kebudayaan India (Hindu-Buddha) sampai ke kepulauan Indonesia. Hal yang sudah pasti adalah berkat adanya pengaruh tersebut penduduk kepulauan Indonesia kemudian memasuki periode sejarah sekitar abad ke-4 M. Menurut J.L.A Brandes (1887) penduduk Asia Tenggara termasuk yang mendiami kepulauan Indonesia telah mempunyai 10 kepandaian menjelang masuknya pengaruh kebudayaan India, yaitu:

a. mengenal pengecoran logam,
b.mampu membuat figur-figur manusia dan hewan dari   batu, kayu, atau lukisan di dinding goa,
c. mengenal instrumen musik,
d. mengenal bermacam ragam hias,
e. mengenal sistem ekonomi barter,
f. memahami astronomi,
g. mahir dalam navigasi,
h. mengenal tradisi lisan,
i. mengenal sistem irigasi untuk pertanian, dan
j. adanya penataan masyarakat yang teratur.

Setelah berinteraksi dengan para pendatang dari India, maka terjadi asimilasi. Aspek-aspek kebudayaan dari India yang diterima oleh nenek moyang bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang baru, yaitu sesuatu yang tidak mereka kenal sebelumnya, seperti: aksara (pallawa), agama Hindu dan Buddha, serta penghitungan angka tahun (saka).
Melalui ketiga aspek kebudayaan dari India itulah kemudian peradaban nenek moyang bangsa Indonesia berkembang dengan pesatnya, sehingga menghasilkan bentuk-bentuk baru kebudayaan Indonesia kuno. Dari hasil asimilasi budaya ini akhirnya menemukan sesuatau bentuk baru dan pencapaian itu diakui sebagai hasil kreativitas penduduk kepulauan Indonesia sendiri.
Konsekwensi logis dengan diterimanya agama Hindu-Buddha oleh penduduk kepulauan Indonesia terutama Jawa, maka banyak aspek kebudayaan yang dihubungkan dengan kedua agama itu menjadi berkembang. Hal itu dapat diamati secara nyata dalam bidang seni arca dan seni bangun (arsitektur). Bentuk kesenian lain yang turut terpacu sehubungan dengan pesatnya kehidupan agama Hindu-Buddha dalam masyarakat adalah seni sastra. Banyak karya sastra dan susastra yang digubah dalam masa Hindu-Buddha selalu dilandasi dengan nafas keagamaan Hindu atau Buddha. Penguraian perihal ajaran agama disampaikan dengan cerita-cerita yang melibatkan para ksatrya.
Sebagaimana biasanya seni tradisonal maka karya arsitektur juga  tidak disebutkan dan tidak diketahui seniman pembuatnya. Karya-karya seni secara umum dibuat sebagai persembahan bagi kegiatan keagmaan. Dengan demikian seni lukis, patung dan arsitektur tradisional India tidak diketahui pembuatnya. Karya tersebut dianggap sebagai suatu karya komunal, suatu karya yang didedikasikan bagi kehidupan agama dalam masyarakat. Dari penyelidikan sejarah yang bisa diketahui adalah masa karya tersebut dibuat, tahun pembuatan dan di bawah masa pemerintahan atau dinastinya.
Begitu juga dengan karya arsitektur kuno di Indonesia amat sukar untuk diketahui seniman pembauatnya. Hasil penelitian hanya dapat mengungkapkan dan menyimpulkan relief cerita apa saja yang dipahatkan di Candi Borobudur, berapa kubik balok batu yang dipergunakan untuk membangun candi itu, berapa jumlah stupanya. Jadi tidaklah dapat diketahui siapa arsitek perancangnya. Jangankan arsiteknya, nama raja yang menganjurkan untuk mendirikan Candi Borobudur pun sampai sekarang masih belum dapat diketahui secara pasti.
Karya Arsitektur awal yang masih dapat bertahan hingga kini dari masa perkembangan agama Hindu-Buddha di Jawa hanya beberapa bangunan saja. Misalnya Candi Gunung Wukir di Magelang, beberapa candi di dataran tinggi Dieng, candi-candi Gedong Songo di Ambarawa (Jawa Tengah), dan Candi Badut di Malang (Jawa Timur). Di antara candi-candi tersebut yang dihubungkan dengan prasasti yang berkronologi adalah Candi Gunung Wukir dengan prasasti Canggal (tahun 732 M) dan Candi Badut dengan prasasti Dinoyo (tahun 760 M).
Awalnya bagunan sakral Indonesia terbuat dari bahan yang mudah rusak, seperti ijuk, jalinan rumput ilalang kering, kayu dan bambu. Bangunan yang terbuat dari bahan ini sudah tidak dapat dijumpai lagi. Pada sekitar awal abad ke-9 terjadi perombakan besar-besaran terhadap bangunan-bangunan suci demikian, dengan ditambahi dengan dinding, relung-relung, serta struktur atap yang terbuat dari bahan yang tahan lama seperti tanah dan batu. Pendapat itu didasarkan pada dijumpainya beberapa susunan perubahan dan tambahan pada beberapa candi di Jawa Tengah, misalnya pada candi Bima di Dieng, Candi Lumbung di daerah Prambanan, dan candi-candi Perwara di kelompok percandian Sewu.
Masuknya pengaruh budaya India melalui perdagangan ke masyarakat Jawa, maka bangunan-bangunan suci yang didirikan di Jawa pun dibuat sesuai dengan kaidah ajaran Hindu atau Buddha. Bentuk candi-candi di Jawa kemudian ada yang mirip dengan kuil-kuil pemujaan dewa yang ada di India.
Pengaruh itu tampak pada beberapa bangunan bangunan candi di Jawa bagian tengah di mana bentuk arsitekturnya diilhami oleh bangunan-bangunan suci di India. Beberapa bangunan di Mahabalipuram seperti Arjuna Ratha, Draupadi Ratha dan Dharmaraja Ratha dan beberapa bangunan lainnya yang merupakan peninggalan dinasti Pallava bentuknya sangat mirip dengan candi-candi di dataran tinggi Dieng.
Jika diamati arsitektur bangunan suci masa Gupta dan sesudahnya serta arsitektur masa dinasti Pala di timur laut India menjadi salah satu pengembangan bangunan-bangunan candi di Jawa bagian tengah. Begitupun bangunan Candi Bima di Dieng tampak pertalian bentuknya dengan bangunan suci Orissa di India.
Bentuk-bentuk monumen keagamaan Hindu-Buddha di Jawa pada masa silam banyak dipengaruhi oleh arsitektur India. Hal tidak lepas dari agama Hindu atau Buddha yang datang dari India dengan mudah diterima oleh masyarakat. Dengan sendirinya konsep-konsep dasar tentang pembuatan bangunan suci, arca, dan ornamen juga diterima masyarakat.
Selanjutnya arsitektur bangunan suci di Jawa tidak lagi mengadopsi bentuk-bentuk dari India. Bentuk arsitektur bangunan suci di wilayah Jawa Tengah sudah berkembang dengan bentuk tersendiri, kecuali pada seni arca dan ornamennya. Misalnya Candi Barong dan Candi Ijo di Jawa Tengah yang halamannya dibuat bertingkat-tingkat sebagaimana layaknya punden berundak dalam masa prasejarah.
Arsitektur bangunan di Jawa semakin berkembang ketika periode Klasik Muda. Di wilayah Jawa Timur (abad ke13—15 M) arsitektur bangunan suci Hindu-Buddha berkembang dengan gayanya tersendiri, seperti candi-candi bergaya Singhasari, gaya candi Jago, gaya candi Brahu, dan punden berundak.
Konsepsi pembangunan candi adalah perpaduan dewata tertinggi (Hindu dan Budha), misalnya kehadiran nafas Siva dan Buddha akan dirasakan pada arsitektur Candi Jawi (Pasuruan) dan Candi Jago (Malang). Di Candi Jawi, unsur Buddha terlihat pada puncaknya, sedangkan di relung-relung tubuh candinya dahulu berisikan arca-arca Hindu-Saiva khas Jawa. Begitupun di Candi Jago, cerita relief yang dipahatkan banyak yang bernafaskan Hindu-Saiva, adapun arca-arca pelengkap candi itu semuanya bernafaskan Buddha Mahayana.
Perbandingan arsitektur bangunan suci Hindu-Buddha di India dan Jawa dirasakan adalah adanya parallelism (kesejajaran)  setelah agama Hindu-Buddha dari India diterima oleh masyarakat Jawa Kuno. Awalnya pengaruh India banyak mengilhami arsitekrut bangunan keagamaan di Jawa (sekitar abad ke-8 M), ketika peradaban Hindu-Buddha baru mulai marak berkembang. Namun pada priode-periode selanjutnya karya arsitektur Jawa Kuno berkembang tersendiri.
Kesamaan arsitektru itu dapat diamati dalam hal konsepsi dasarnya, sedangkan dalam segi visualisasi atau dalam bentuk kebudayaan materi (bangunan, arca dan relief), terdapat perbedaan. Kalaupun ditelusuri lebih mendalam konsepsi keagamaan pun tetap ada perbedaan. Perlu diingat visualisasi kebudayaan materi adalah berangkat dari ide atau konsepsi. Jika ada pertanyaan mengapa candi-candi di Jawa berbeda dengan kuil-kuil pemujaan dewa di India, bisa jadi hal itu karena cerminan konsepsi masyarakat pendukungnya.
Walaupun agama datang dari India ke Jawa namun mendapat sentuhan pendeta-pemikir Jawa Kuno, lalu muncul gagasan yang memadukan hakekat Siwa-Buddha. Oleh karena ada perpaduan itu, maka peralatan ritusnya pun menjadi berbeda, tidak lagi sama dengan di tanah asalnya.

Gambar 9
Sri Ranganatha Swamy Temple Srirangapatnam
Gambar 10; breehadeswara India
3. Seni Patung dan Relief India

Sebagaimana telah disinggung pada bagian awal bahwa kemajuan kebudayaan India terbukti dari tata kota dan arsitektur pada lembah sunggai Indus. Selain dari tata  kota dan aritektur yang telah maju pada dua pusat kebudayaan di lembah sungai Indus (Harappa dan Mohenjodaro) juga kemajuan patungnya. Karya-karya seni patung teracotta, batu kapur, dan logam telah dibuat dua kota itu. Patung yang dibuat figur manusia dan binatang.
Patung figur manusia yang dibuat melambangkan dewi kesuburan. Patung ini hampir sama dibanyak tempat dimana dewi kesuburan dibuat dengan pinggul besar dan buah dada yang menonjol dan pakai perhiasan kepala serta kalung. Patung teracotta berfungsi sebagai mainan dengan mengambil objek binatang seperti lembu, burung, gajah, dan badak.

Gambar 11
Patung Dewi Kesuburan

Kebudayaan India yang telah maju dari dulu juga dapat dilihat buktinya pada seni Patung dan seni relief. Di Mohanjodaro ( 2000 – 1750 SM) orang India telah mampu membuat patung/relief. Sebagai buktinya dapat dijumpai peninggalannya patung logam wanita menari yang berukuran 10 cm. Patung logam (perunggu) ini memperlihatkan orang India asli dengan ciri bibir tebal dan rambut keriting. Sedangkan di Harappa (2300 – 1750 SM) juga dijumpai patung dewa yang terbuat dari batu berukuran 17, 5 cm. Juga ada patung torso terbuat dari batu kapur. Penggarapan patung torso ini menggunakan pendekatan realistis yang menunjukkan sifat vitalitas dan monomental.
Selain seni patung yang telah maju di lembah sungai Indus, maka seni reliefnya (2000 SM) pun juga berkembang. Seni reliefnya terdapat pada materai yang berfungsi magis. Penggarapannya sudah sangat halus, materai terbuat dari steatite berbentuk persegi dengan ukuran ¾ sampaii 1 ½ inci. Berbagai bentuk relief yang jemlahnya ribuan bermotifkan objek binatang (badak, buaya, rusa, lembu, dan stilisasi binatang) dan objek simbol (swastika, roda, dan daun). Selain motif-motif itu juga ada motif manusia yang sedang duduk dalam posisi yoga. Relief dengan motif manusia terdapat di Mohenjodaro. Bila melihat hiasan kepala yang digunakan pada relief motif manusia ini maka dapat dikaitkan dengan dewa Syiwa.
Setelah masa kebudayaan di lembah sungai Indus maka sejarah perkembangan seni patung India tidak begitu menonjol. Satu hal yang dapat dikemukakan bahwa seni patung India diperuntukkan untuk pemujaan. Perkembangan patung selanjutnya terjadi pada masa pengaruh ajaran Budha.
Di mana pada masa dinasti Maurya (321-184 SM) patung Budha dibuat dalam bentuk simbol yakni patung motif pohon bodhi, patung/ relief  roda ajaran dan stupa. Para penganut budha membuat patung-patung tersebut sebagai sarana pemujaan pada budha. Seni patung budha tertua berupa tiang-tiang batu yang disebut stambha atau dharmastambha.  Pada masa pemerintahan raja Ashoka banyak didirikan stambha dengan tinggi 15 meter dari batu tunggal.

Gambar 12
Motif Hias Simbol Budha
(pohon bodhi, roda ajaran dan stupa)

Stambha yang menjulang itu masih bisa dijumpai di Bihar yang dibagun sekitar 241 SM. Ajakan untuk melaksanakan ajaran Budha dituliskan pada stambha. Pada bagian atas atau puncak stambha terdapat makhota berupa binatang (lembu, singa atau gajah) dan lempengan batu berelief dan kapitil.
Perkembangan seni patung India kian terasa pada masa awal masehi. Pada masa ini orang India mulai bersentuhan dengan budaya luar yakni Yunani dan Romawi. Orang-orang India belajar cara membuat patung dalam bentuk figur manusia yang lebih ditail pada bangsa Yunani/ Romawi yang telah dulu memvisualisasi dewanya dalam bentuk patung. Pengaruh patung Yunani/ Romawi itu terlihat pada patung-patung pada bagian utara-barat India.
Selain sejarah panjang tentang seni patung India baik pada masa Mohenjo-daro maupun dalam masa pengaruh agama Hindu dan Budha yang perlu disimak tersendiri adalah tentang ganesa. Kisah mengenai Ganesa seringkali muncul dalam kitab-kitab Purana. Brown mengatakan, sementara kitab-kitab Purana tidak menyebutkan kapan tepatnya suatu peristiwa terjadi, penuturan kisah hidup Ganesa yang lebih detil ada dalam kitab yang muncul belakangan, sekitar th. 600–1300. Yuvraj Krishan mengatakan bahwa mitos mengenai kelahiran Ganesa dan bagaimana ia memperoleh kepala gajah, ada dalam Purana yang digubah dari th. 600 dan seterusnya. Ia meneliti masalah dan mengungkapkan bahwa referensi tentang Ganesa yang terdapat dalam Purana-purana awal, seperti misalnya Bayupurana dan Brahmandapurana, adalah sisipan di kemudian hari yang dibuat dari abad ke7 sampai abad ke-10.
Nama Ganesa pada mulanya adalah Ekadanta (satu gading), merujuk kepada gadingnya yang utuh hanya berjumlah satu, sedangkan yang lainnya patah. Beberapa citra menunjukkan ia sedang membawa patahan gadingnya. Hal penting di balik penampilan khusus ini dikandung dalam kitab Mudgalapurana, yang mengatakan bahwa nama penjelmaan Ganesa yang kedua adalah Ekadanta.
Ganesa banyak dipuja saat acara kerohanian maupun kegiatan sehari-hari; khususnya saat mulai berniaga seperti misalnya membeli kendaraan atau memulai bisnis. K.N. Somayaji berkata, "jarang ada rumah (Hindu di India) yang tidak memiliki arca Ganapati.  Ganapati, sebagai dewa yang termahsyur di India, dipuja oleh hampir seluruh kasta dan di seluruh penjuru negara". Pemujanya percaya bila Ganesa dibuat senang, ia akan memberi kesuksesan, kemakmuran dan perlindungan terhadap bencana.
Ganesa bukan dewa bagi sekte tertentu, dan umat Hindu dari seluruh denominasi memanggil namanya saat memulai persembahyangan, memulai usaha yang penting, dan upacara keagamaan. Penari dan musisi, khususnya di India Selatan, memulai pertunjukkan seni seperti misalnya tari Bharatnatyam dengan terlebih dahulu memuja Ganesa. Mantra-mantra seperti misalnya Om Shri Ganeshāya Namah (Om, hormat pada Hyang Ganesa yang mahsyur-mulia)

Gambar 13; Ganesha

Ganesa (Sanskerta; ganea ) adalah salah satu dewa terkenal dalam agama Hindu dan banyak dipuja oleh umat Hindu, yang memiliki gelar sebagai Dewa pengetahuan dan kecerdasan, Dewa pelindung, Dewa penolak bala/bencana dan Dewa kebijaksanaan. Lukisan dan patungnya banyak ditemukan di berbagai penjuru India; termasuk Nepal, Tibet dan Asia Tenggara. Dalam relief, patung dan lukisan, ia sering digambarkan berkepala gajah, berlengan empat dan berbadan gemuk. Ia dikenal pula dengan nama Ganapati, Winayaka dan Pilleyar. Dalam tradisi pewayangan, ia disebut Bhatara Gana, dan dianggap merupakan salah satu putera Bhatara Guru (Siwa). Berbagai sekte dalam agama Hindu memujanya tanpa mempedulikan golongan. Pemujaan terhadap Ganesa amat luas hingga menjalar ke umat Jaina, Buddha, dan diluar India.
Meskipun ia dikenal memiliki banyak atribut, kepalanya yang berbentuk gajah membuatnya mudah untuk dikenali. Ganesa mahsyur sebagai "Pengusir segala rintangan" dan lebih umum dikenal sebagai "Dewa saat memulai pekerjaan" dan "Dewa segala rintangan" (Wignesa, Wigneswara), "Pelindung seni dan ilmu pengetahuan", dan "Dewa kecerdasan dan kebijaksanaan". Ia dihormati saat memulai suatu upacara dan dipanggil sebagai pelindung/pemantau tulisan saat keperluan menulis dalam upacara Beberapa kitab mengandung anekdot mistis yang dihubungkan dengan kelahirannya dan menjelaskan ciri-cirinya yang tertentu.
Gambar 14
Ganesa dalam perhiasan berbentuk simbol Aum

Ganesa diidentikkan dengan mantra Aum dalam agama Hindu (Simbol: juga dieja 'Om'). Istilah o(ng) kāraswarūpa (Aum adalah wujudnya), ketika diidentikkan dengan Ganesa, merujuk pada sebuah pemahaman bahwa ia menjelma sebagai bunyi yang utama. Kitab Ganapati Atharwashirsa memberi penjelasan mengenai hubungan ini. Swami Chinmayananda menerjemahkan pernyataan yang relevan berikut ini
(O Hyang Ganapati!) Engkaulah (Tritunggal) Brahma, Wisnu, dan Mahesa. Engkaulah Indra. Engakulah api (Agni) dan udara (Bayu). Engkaulah matahari (Surya) dan bulan (Candrama). Engkaulah Brahman. Engkaulah (tiga dunia) Bhuloka [bumi], Antariksa-loka [luar angkasa], dan Swargaloka [sorga]. Engkaulah Om. (Itu sebagai tanda, bahwa Engkaulah segala hal tersebut).

Beberapa pemuja melihat kesamaan antara lekukan tubuh Ganesa dalam penggambaran umum dengan bentuk simbol Aum dalam aksara Dewanagari dan Tamil.
Menurut Kundalini yoga, Ganesa menempati cakra pertama, yang disebut muladhara. Mula berarti "asal, utama"; adhara berarti "dasar, pondasi". Cakra muladhara adalah hal penting yang merupakan manifestasi atau pelebaran pokok-pokok kekuatan ilahi yang terpendam. Hubungan Gansea dengan hal ini juga diterangkan dalam Ganapati Atharwashirsa.
Ganesa muncul dalam wujud klasiknya sebagai dewa yang mudah dikenali dengan atribut-atribut yang tergambar dengan baik pada permulaan abad ke-4 sampai abad ke-5. Shanti Lal Nagar mengatakan bahwa arca paling awal, yang diketahui sebagai wujud Ganesa ada dalam sebuah ceruk di kuil Siwa di Bhumra, yang ditafsir berasal dari zaman kerajaan Gupta. Pemujaan tersendiri terhadapnya muncul sekitar abad ke-10. Narain mengikhtisarkan kontroversi antara pemuja Ganesa dan pandangan akademis terhadap

Gambar 15
Arca Ganesa dibuat abad ke-8,
disimpan di museum Cham Vietnam

perkembangan Ganesa sebagai berikut : Apa yang selama ini tak terduga adalah kemunculan Ganesa yang agak dramatis menurut pandangan sejarah. Pelopornya tak jelas. Keterbukaan dan ketenarannya yang luas, yang melampaui batas mahzab dan teritorial, sungguh menakjubkan.
 Di satu sisi ada kepercayaan bagi umat yang ortodoks terhadap asal-usul Ganesa dari zaman Weda dan dalam Purana terdapat penjelasan yang membingungkan, namun merupakan mitologi yang cukup menarik. Di sisi lain terdapat keraguan mengenai adanya gagasan dan arca tentang dewa ini sebelum abad keempat sampai kelima Masehi.
Buku yang ditulis Thapan tentang perkembangan Ganesa mengandung sebuah bab tentang spekulasi mengenai peran kepala gajah pada zaman awal di India, namun berkesimpulan bahwa, "meski pada abad ke-2 Masehi ada perwujudan yaksa berkepala gajah, itu tidak bisa dianggap menggambarkan Ganapati-Winayaka. Tidak ada bukti mengenai dewa yang disebut memiliki wujud gajah atau berkepala gajah pada permulaan zaman ini.

Gambar 16
Arca Ganesa dibuat pada abad ke 5 ditemukan di Gardez,
sekarang di Dargah Pir Rattan Nath, Kabul

Hubungan dagang dan budaya telah memperluas pengaruh India di Asia Barat dan Tenggara. Ganesa adalah salah satu dari banyaknya dewa-dewi Hindu yang menjamah negeri asing. Ganesa khususnya disembah oleh para pedagang yang pergi ke luar India untuk malakukan hubungan dagang. Periode sekitar abad ke-10 sampai seterusnya ditandai oleh perkembangan jaringan-jaringan baru terhadap hal pertukaran, pembentukan serikat dagang, dan bangkitnya sirkulasi keuangan. Selama masa ini Ganesa menjadi dewa utama yang dikaitkan dengan para pedagang. Tulisan paling awal yang mengandung seruan kepada Ganesa sebelum memanggil dewa-dewi lainnya dikaitkan dengan komunitas rombongan pedagang.
Umat Hindu bermigrasi ke nusantara dan membawa budaya mereka termasuk Ganesa. Sehingga arca-arca Ganesa ditemukan di sepanjang wilayah nusantara dalam jumlah yang banyak. Wujud Ganesa didapati dalam kesenian Hindu di Jawa, Bali, dan Kalimantan yang menunjukkan pengaruh regional yang spesifik. Penyebaran budaya Hindu secara perlahan-lahan ke Asia Tenggara telah membuat wujud Ganesa dimodifikasi di Burma, Kamboja, dan Thailand. Di Vietnam agama Hindu dan Buddha dijalankan dengan berdampingan, dan pengaruh timbal balik bisa dilihat dalam penggambaran Ganesa di wilayah itu. Di Thailand, Kamboja dan di Vietnam, Ganesa terutama dianggap sebagai penyingkir segala rintangan. Bahkan kini oleh umat Buddha di Thailand, Ganesa dihormati sebagai penyingkir segala rintangan, atau dewa keberhasilan.


Gambar 17
Arca Ganesa di candi Prambanan, Indonesia

Sebelum kedatangan Islam, Afghanistan memiliki ikatan budaya yang erat dengan India, dan pemujaan terhadap dewa-dewi Hindu maupun Buddha sama-sama dijalankan. Beberapa contoh arca dari abad ke-5 sampai abad ke-7 telah bertahan, mencerminkan bahwa pemujaan Ganesa adalah hal yang populer di wilayah itu.
Ganesa muncul dalam agama Buddha Mahayana, tidak hanya dalam wujud dewa Vināyaka dalam agama Buddha, namun juga sebagai wujud raksasa dengan nama yang sama. Citranya muncul dalam arca-arca agama Buddha selama akhir masa kerajaan Gupta. Sebagai dewa Vināyaka dalam agama Buddha, ia seringkali digambarkan sedang menari. Wujud ini, disebut Ntta Ganapati, dan termahsyur di wilayah India Utara, kemudian diadopsi di Nepal, lalu di Tibet. Di Nepal, wujud Ganesa secara Hindu, dikenal sebagai Heramba, sangat terkenal; ia memiliki lima kepala dan menunggangi singa. Penggambaran Ganesa di Tibet menunjukkan pandangan yang bertentangan terhadapnya. Ganapati versi Tibet adalah tshogs bdag. Dalam versi Tibet, Ganesa digambarkan sedang diinjak oleh kaki Mahākāla, yaitu dewa bangsa Tibet yang terkenal. Penggambaran lain menampilkan wujudnya sebagai pemusnah segala rintangan, kadangkala dalam wujud sedang menari. Ganesa muncul di Cina dan Jepang dalam wujud yang menampilkan karakter wilayah yang berbeda. Di Cina Utara, ada patung batu dari zaman awal yang dikenal sebagai Ganesa, disertai tulisan yang berangka tahun 531. Di Jepang, pemujaan terhadap Ganesa pertama kali disebutkan pada tahun 806.
Sastra agama Jaina (Jainisme) tidak menyebutkan adanya pemujaan terhadap Ganesa. Namun, Ganesa dipuja oleh banyak umat Jaina, muncul sebagai pengambil alih fungsi Kubera. Hubungan Jaina dengan komunitas perdagangan mendukung gagasan bahwa Jainisme mengambil tradisi pemujaan Ganesa sebagai akibat dari hubungan perdagangan. Patung Ganesa tertua versi Jaina ditaksir berasal dari abad ke-9. Sebuah kitab Jaina dari abad ke-15 memaparkan prosedur untuk memasang citra Ganapati. Citra Ganesa muncul dalam kuil Jaina di Rajasthan dan Gujarat.

4. Pengaruh Seni Rupa India Terhadap Seni Rupa Indonesia

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perubahan sejarah Indonesia dari pra sejarah terjadi setelah kedatangan agama Hindu-Budha ke kepulauan nusantara. Agama Hindu-Budha sendiri berasal dari India yang masuk ke kepulauan Indonesia melalui pedagang sekitar abad ke 5. Sebelum kebudayaan India masuk ke Indonesia maka di kepulauan nusantara sendiri telah ada kebudayaan.
Pada masa akhir prasejarah bangsa Indonesia telah mengenal berbagai macam keahlian yang dapat mereka pertahankan sampai masuknya budaya India.  Keahlian itu berupa pembuatan seni logam tuang, seni pahat, peralatan pertanian, dan batu besar berbentuk piramida berundak. Begitu juga dengan keyakinan di Indonesia telah ada kepercayaan animisme.
Kedatangan kebudayaan India disambut oleh tangan-tangan kreatif Indonesia. Kebudayaan itu ditranspormasikan ke dalam kebudayaan Indonesia dengan berbagai modifikasi. Menurut Rabindranath Tagore pujangga India yang dikutip Sudarso Sp dalam Perjalanan Seni Rupa Indonesia (1991) menyatakan; “Wir habe das Ramayana geschrieben, die Javanen aber tanzen es. (Kamilah yang menulis cerita Ramayana itu, tetapi orang-orang Jawa yang menarikannya)” Tagore mengagumi betapa cerita Ramayana yang dibuat di India tetapi setelah sampai di Indonesia dibuat dramatarinya dan relief yang realistik di candi Prambanan dan juga yang dekoratif di candi Panataran.
Pada abad-abad pertama terjadi kontak dagang antara Indonesia dengan berbagai negara diantaranya; Persia, India, dan Cina. Pada abad ke 5 terjadi asimilasi secara positif antara kebudayaan India dengan Indonesia. Kedatangan kebudayaan India telah merubah sistem kerajaan Indonesia yang sebelumnya hanya sistem pemukiman. Melalui perintah raja-raja itulah dibuatkan prasasti, dari prasasti ini diketahui bahwa huruf yang digunakan adalah huruf pallawa dari India selatan dengan bahasa sanskerta.  
Perpaduan kebudayaan yang berbeda yang berlangsung dengan damai. Asimilasi ini tidak menghilangkan unsur-unsur asli dari kedua kebudayaan tersebut oleh karena itu kebudyaan Hindu-Budha yang masuk ke Indonesia tidak diterima begitu saja. Ada selektif dan inofasi yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Hal ini disebakan  masyarakat Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup baik.  Dengan pondasi ini maka kebudayaan asing yang masuk menjadi bertambah perbendaharaan kebudayaan bangsa Indonesia. Kemampuan istimewa bangsa Indonesia ini disebut dengan local genius yaitu kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai denga kepribadian bangsa Indonesia.
Bukti adanya asimilasi yang baik itu dapat dilihat pada prasasti pada masa kerajaan Sriwijaya yang masih menggunakan huruf pallawa tetapi dalam bahasa Melayu Kuno. Dalam prasasti itu juga di cantumkan peristilahan jabatan Indonesia asli seperti datu dan tuhaan walak. Selanjutnya prasasti-prasasti yang terdapat di Jawa pun telah mempergunakan bahasa dan huruf Jawa Kuno. Dalam bidang kepercayaan maka kepercayaan animisme yang telah ada sebelumnya tidak hilang begitu saja dengan masuknya agama Hindu dan Budha.
Dalam bidang seni rupa maka pengaruh seni rupa India juga terasa. Akan tetapi sama halnya dengan kebudayaan secara umum. Unsur-unsur seni rupa India telah masuk ke Indonesia, terbukti dengan ditemukanya patung berlanggam gandara di kota Bangun Kutai Kalimantan. Ditemukan juga patung budha berlanggam Amarawati di Sikendeng (Sulawesi Selatan). Pada candi Borobudur tampak adanya pengaruh seni rupa India dengan ditemukan relief-relief cerita sang Budha Gautama. Selain relief juga ditemukan lukisan perahu bercadik, lukisan-lukisan tersebut merupakan asli lukisan Indonesia, karena tidak pernah ditemukan motif yang sama di candi-candi di India. Pengaruh seni rupa India juga terdapat pada relief-relief di candi Prambanan yang memuat cerita Ramayana.
Begitu juga dengan seni bangunan atau arsitektur Terdapat kemungkinan bahwa beberapa bangunan bangunan candi di Jawa bagian tengah bentuk arsitekturnya diilhami oleh bangunan-bangunan suci di India. Beberapa bangunan di Mahabalipuram seperti Arjuna Ratha, Draupadi Ratha dan Dharmaraja Ratha dan beberapa bangunan lainnya yang merupakan peninggalan dinasti Pallawa bentuknya sangat mirip dengan candi-candi di dataran tinggi Dieng. Akan tetapi menurut Soedarso Sp dalam Perjalanan Seni Rupa Indonesia (1991) candi yang dibuat pada abad ke 15 merupakan pemunculan kembali bentuk-bentuk punden berundak-undak, hal itu dapat dilihat pada candi Sukuh.