Selasa, 07 Agustus 2012

 

FENOMENA BERGABUNGNYA
BERBAGAI ELEMEN SENI[1]
Oleh : Adirozal[2]                                                                                                                Dr. H. Adirozal, M.Si


Umumnya seni dinyatakan sebagai  eksperisi atau ungkapan perasaan seniman yang dilahirkan melalui medium tertentu. Seni tari, pantomime, yoga, senam, dan silat dilahirkan melalui media gerak, seni  musik dan nyanyian melalui media suara, sastra melaui media kata, dan senirupa melalui media garis, warna, dan tekstur. Sebagai sarana ungkap maka seni  telah ada semenjak manusia itu ada. Coretan yang ditemukan digoa-goa memperlihatkan adanya seni rupa. Ditenemukannya tembikar membuktikan adanya seni kerajinan.  Tangis dan gerakan bayi yang menandakan adanya gejala seni musik dan seni tari.
Kebutuhan akan senipun dimiliki oleh seluruh manusia, apakah pejabat atau rakyat, anak-anak atau orang dewasa, laki-laki atau perempuan, orang dahulu, sekarang maupun akan datang. Hampir tidak ada manusia yang tidak membutuhkan seni. Perbedaannya terletak pada kadar seni seseorang. Kelompok yang tinggi rasa seninya tidak sekadar penikmat seni melainkan juga sebagai pelaku dan pencipta seni, sedangkan kelompok yang rasa seninya sedikit hanya sebatas penikmat atau penonton.
Orang yang hanya memainkan karya orang lain belum disebut sebagai seniman, mereka dikategorikan sebagai penyaji. Seniman adalah mereka yang mencipta atau memiliki ide. Mereka memiliki banyak inovasi dan kreatifitas. Ide-ide dan inovasi mereka tuangkan dalam karya dengan unsur-unsur seni yang mereka senangi. Tidak jarang seorang seniman memiliki bakat seni ganda, misalnya seniman tari sekaligus pemusik, penyair sekaligus pelukis,  pemusik sekaligus pelukis dan penari. Contohnya Bagongkusudirjo yang seorang pelukis sekaligus serang koreografer tari. Montinggo Busye seorang sastrawan dan juga mempunyai banyak karya lukisan. Wisran Hadi seorang pelukis yang menghasilkan banyak karya sastra.
Dalam proses mencipta seorang seniman tidak hanya berhenti pada satu titik, ia berusaha terus menerus berkreatifitas, berkreasi, dan berinovasi. Dari hasil olahan itu terkadang melahirkan bentuk-bentuk yang baru, dan pada akhirnya timbulah style, aliran-aliran atau isme-isme.  Sehingga dalam seni rupa ditemui naturalisme, realisme, pointilsme, kubisme, ekspresionisme, dadaisme, dan abstrak. Dalam karya tari muncul corak minimalism, dalam musik dijumpai jazz, rock, pop, dangdut, dan keroncong. Dan dalam sastra kita lihat ada prosa, puisi, roman, dan pantun.
Tetapi fenomena yang menarik terjadi pada akhir-akhir ini, seniman tidak berhenti berolah dan bermain dengan medium-medium seni tertentu saja. Ada upaya menggabungkan berbagai elemen seni dalam sebuah karya. Berbagai eksplorasi dan kolaborasi dilakukan seniman. Fenomenanya dalam seni rupa di Indonesia dimulai oleh kelompok ‘Senirupa Baru Indonesia” tahun 1978. Seniman tidak hanya menggunakan media seni rupa sebagai mana lazimnya. Berbagai elemen seni dari beberapa cabang seni ‘diobok-obok’ seniman dalam sebuah frame karya.
Bergabungnya berbagai unsur seni semakin nampak dalam karya-karya seniman  akhir-akhir ini.  Dalam seni rupa lahir bentuk karya-karya seni rupa pertunjukan dengan menampilakan bentuk seni rupa instalasi, seni rupa dengan gabungan pertunjukan musik, tari, dan enviromental- art. Di Bali akhir-akhir ini lahir corak karya seni rupa pertunjukkan dari tangan seniman seperti Made Wianta dan Nyoman Erawan. Seniman menggunakan media warna, bentuk, garis dalam sebuah pertunjukan di dalam kolam besar.
Fenomena serupa juga terjadi dalam seni tari. Sebuah tari tidak tampil hanya dengan menggunakan media gerak melainkan juga menggunakan kata-kata dan suara. Koreografer muda Boy Sakti anak Gusmiati Suid (Jakarta) telah banyak melahirkan tari dengan paduan puisi. Boy tidak hanya mengolah gerak sebagai media tarinya sebagaimana lazimnya koreografer lain. Ia menggabungkan dan memanfaatkan unsur-unsur satra dalam karyanya. Dalam musik kita jumpai karya-karya almarhum Hari Rusli yang memadukan elemen musik dengan gerak dan kata-kata. Hal yang sama juga terdapat dalam beberapa karya musikus Saung Jabo. Pada deretan penyair/dramawan kita lihat karya-karya  Emha Ainun Najib atau lebih dikenal Cak Nun. Beberapa  puisinya dinyanyikan dengan iringan musik ala Cak Nun. Begitu juga dalam karya-karya Kuntet yang memadukan  unsur sastra dengan unsur musik.
Walaupun hal ini sebagai sebuah fenomena namun menarik untuk disimak. Nampak kecenderungan seniman untuk tidak terikat dengan media seni yang ada dalam  wilayah seninya masing masing. Sehingga batasan seni dengan mengelompokkan berdasarkan elemennya selama ini semakin kabur. Dengan demikian juga sulit untuk menentukan apakah seniman itu seorang perupa, koreografer, musikus, atau sastrawan. Untuk hal ini hanya dapat dilihat dari elemen apa yang banyak digunakankan dalam karya tersebut.
Inilah sebuah fenomena dalam karya seni dan sastra, di mana seniman berusaha menggabungkan berbagai unsur dari berbagai seni. Menurut Made Wianta  dalam satu kesempatan ‘bahwa sekarang tidak mungkin seorang seniman bersikukuh dengan ego seninya sendiri, harus ada silang media untuk mencapai mega karya nan prima’.
Akhirnya selamat berpameran. Semoga kedepan kita tidak dikukung oleh belenggu pikiran yang kita buat sendiri dan membuat kita berputar  dalam pusaran serta pada akhirnya kita nyatakan kita yang paling benar padahal tak obahnya “katak dalam tempurung”.











 

PENGELOMPOKAN SENI:
MASIH RELEVAN ?
Oleh : Adirozal
Dr. H. Adirozal, M.Si
                                            
Dari sejarah perkembangan seni modern, maka seni dikelompokkan atas berbagai cabang. Ada seni dikelompok
Umumnya seni dinyatakan sebagai  eksperisi atau ungkapan perasaan seniman yang dilahirkan melalui medium tertentu. Seni rupa dieksperisikan melalui media garis, warna, dan tekstur. Sebagai sarana ungkap maka seni rupa telah ada semenjak lama sekali. Coretan-coretan yang terdapat digoa-goa memperlihatkan adanya seni rupa masa lalu. Ditenemukannya tembikar membuktikan adanya seni kerajinan. 
Kebutuhan akan seni dimiliki oleh seluruh manusia, apakah pejabat atau rakyat, anak-anak atau orang dewasa, laki-laki atau perempuan, orang dahulu, sekarang maupun akan datang. Hampir tidak ada manusia yang tidak membutuhkan seni. Perbedaannya terletak pada kadar seni seseorang. Kelompok yang tinggi rasa seninya tidak sekadar penikmat seni melainkan juga sebagai pelaku dan pencipta seni (seniman), sedangkan kelompok yang rasa seninya sedikit hanya sebatas penikmat atau penonton.
Seniman adalah mereka yang mencipta atau memiliki ide. Mereka memiliki banyak inovasi dan kreatifitas. Ide-ide dan inovasi mereka tuangkan dalam karya dengan unsur-unsur seni yang mereka senangi. Tidak jarang seorang seniman memiliki bakat seni ganda, misalnya seniman tari sekaligus pemusik, penyair sekaligus pelukis,  pemusik sekaligus pelukis dan penari. Contohnya Bagongkusudirjo yang seorang pelukis sekaligus serang koreografer tari. Montinggo Busye seorang sastrawan dan juga mempunyai banyak karya lukisan. Wisran Hadi seorang pelukis yang menghasilkan banyak karya sastra.
Dalam proses mencipta, seorang seniman tidak hanya berhenti pada satu titik, ia berusaha terus-menerus berkreatifitas, berkreasi, dan berinovasi. Dari hasil olahan itu terkadang melahirkan bentuk-bentuk yang baru, dan pada akhirnya timbulah style, aliran-aliran atau isme-isme.  Sehingga dalam seni rupa ditemui naturalisme, realisme, pointilsme, kubisme, ekspresionisme, dadaisme,  abstrak, surialisme, dsb.
Bagian seni rupa yang cukup berkembang sekarang adalah kerajinan atau kriya. Perkembangannya ialah munculnya kriya seni, hal mana sebuah kriya tidak lagi sekedar fungsional melainkan eksperisif. Para seniman (kriya-wan) telah mendobrak rambu-rambu yang biasa. ‘Pakem’ kriya yang lebih dikenal sebagai benda yang dibuat berulang-ulang dengan betuk sama atau malah mungkin saja  diproduk masal (pabrikan) tidak dijumpai lagi. Yang ditemukan justru  benda kriya yang dibuat untuk satu kali. Kreatifitas kriyawan dekade terahir begitu pesat, sehingga seni kerajinan tidak lagi menjadi nomor dua dalam seni rupa. Inovasi baru dijumpai pada kriya seni apakah kriya kulit, logam, anyaman, batik, keramik, kayu dll. Inovasinya terletak pada bentuk, fungsi dan teknik pengarapan.
Dalam  sebuah karya dijumpai lukisan dengan menggunakan elemen-elemen seni kriya, seperti logam, kayu, atau bambu. Sebaliknya sebuah hasil karya kerajinan disajikan di atas kanvas dengan bingkai. Terkadang sulit untuk dimengerti apakah itu karya lukis atau karya kerajinan. Maka dalam hal ini ada baiknya kita menggunakan salah satu pendapat yang menyatakan bahwa ‘seni tidak untuk dimengerti melainkan untuk dihayati’.
Fenomena yang juga menarik terjadi pada akhir-akhir ini, seniman tidak berhenti berolah dan bermain dengan medium-medium seni tertentu saja. Ada upaya menggabungkan berbagai elemen seni dalam sebuah karya. Berbagai eksplorasi dan kolaborasi dilakukan seniman. Fenomena dalam seni rupa Indonesia dimulai oleh kelompok ‘Senirupa Baru Indonesia” tahun 1978 dengan tokohnya antara lain Jim Supangkat, Hardi, Nyoman Nuarta, Dede Eri Supria dan Harsono. Seniman tidak hanya menggunakan media seni rupa sebagai mana lazimnya. Berbagai elemen seni dari beberapa cabang seni ‘diobok-obok’ seniman dalam sebuah frame karya.
Bergabungnya berbagai unsur seni semakin nampak dalam karya-karya seniman  akhir-akhir ini.  Dalam seni rupa lahir bentuk karya-karya seni rupa pertunjukan dengan menampilakan bentuk seni rupa instalasi, seni rupa dengan gabungan pertunjukan musik, tari, dan enviromental- art. Di Bali akhir-akhir ini lahir corak karya seni rupa pertunjukkan dari tangan seniman seperti Made Wianta dan Nyoman Erawan. Seniman menggunakan media warna, bentuk, garis dalam sebuah pertunjukan di dalam kolam besar.
Walaupun hal ini sebagai sebuah fenomena namun menarik untuk disimak. Nampak kecenderungan seniman untuk tidak terikat dengan media seni yang ada dalam  wilayah seninya masing masing. Sehingga batasan seni dengan mengelompokkan berdasarkan elemennya selama ini semakin kabur. Dengan demikian juga sulit untuk menentukan apakah seniman itu seorang perupa, koreografer, musikus, atau sastrawan. Untuk hal ini hanya dapat dilihat dari elemen apa yang banyak digunakankan dalam karya tersebut.
Inilah sebuah fenomena dalam karya seni kita sekarang, di mana seniman berusaha menggabungkan berbagai elemen dari berbagai seni. Menurut Made Wianta ‘bahwa sekarang tidak mungkin seorang seniman bersikukuh dengan ego seninya sendiri, harus ada silang media untuk mencapai mega karya nan prima’. Semoga seni rupa Indonesia semakin jaya yang pada akhirnya dapat “bersanding dan bertanding” dengan karya perupa lainya. Amin.


[1] Ditulis untuk Pengantar Pamarean/ Katalog
[2] Dr. H. Adirozal, M.Si, Dosen Seni Murni / Direktur Pascasarjana ISI ISI Padangpanjang

Jumat, 29 Juni 2012

PPRA 48 Lemhannas


(atas) peserta Lemhannas 48 lagi hilangi stres tampak Adirozal duduk 
(bawah)Adirozal bersama peserta Lemhannas;
 Brigjend Jaswandi dan Plifina serta Thailand

foto

Adirozal bersama Kol. Toto Rinantoko S. saat ke FRJ

Kamis, 28 Juni 2012

MENINGKATKAN PERAN KEPEMIMPINAN NASIONAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER KEKAYAAN ALAM DAPAT MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL


Oleh : Adirozal
 

I.        PENDAHULUAN

Pada era global dibutuhkan seorang pemimpin yang cepat merespon dan beradaptasi dengan segala bentuk perubahan. Kondisi sekarang jauh berbeda dengan keadaan masa lalu, perubahan begitu cepat terjadi baik karena faktor dorongan dari luar maupun tumbuh dari dalam diri sendiri. Pemimpin yang tidak tanggap dengan kondisi perubahan, maka ada kemungkinan ia dan rakyatnya terlindas cepat karena perubahan.
Bangsa Indonesia siap atau tidak siap, suka atau tidak suka sudah berada dalam situasi era global. Isue-isue internasional seperti HAM, lingkunagn hidup, dan demokratisasi menjadi bahagian yang menyelinap dalam kehidupan bangsa Indonesia untuk direspon oleh pimpinan. Begitu juga dengan perdagangan bebas, teknologi dan informasi, dan mobilitas manusia mempercepat terjadinya perubahan.
Bersamaan dengan isue-isue tersebut, mensejahterakan rakyat menjadi tanggungjawab pimpinan mewujudkannya, hal ini sesuai dengan cita-cita kemerdekaan yang termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Salah satu indikator kesejahteraan itu adalah tersedianya pangan bagi masyarakat kapan saja dan di mana saja. Pangan menjadi bahagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehiduapan manusia, karena pangan merupakan kebutuhan dasar. Pada umumnya pangan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah beras, jagung, dan sagu. Bahan pangan tersebut dapat tumbuh dengan baik di bumi  Indonesia. Artinya wilayah atau alam Indonesia sangat potensial untuk tumbuhnya bahan pangan.
Kekayaan alam itu bila dikelola dengan baik tentu dapat menjadikan seluruh rakyat Indonesia sejahtera, dalam artian tidak akan dijumpai rakyat yang berkekurangan pangan. Seluruh kebutuhan pangan rakyat mestinya bisa dipenuhi oleh bangsa Indonesia sendiri mengingat hampir seluruh tanaman bisa tumbuh dengan baik dan subur di wilayah Indonesia. Akan tetapi apa yang diinginkan sebuah negera merdeka sampai saat ini belum terwujud dengan sempurna, sebahagian bahan pangan Indonesia seperti beras, kacang hijau masih diimpor dari luar negeri. Begitu juga pada saat tertentu masih dijumpai rakyat Indonesia yang tidak makan karena harga beras mahal.
Selain potensi tumbuh-tumbuhan yang dapat hidup didaratan, masih ada potensi laut dan danau yang kaya dengan berbagai jenis ikan. Kemudian ada hewan ternak yang dapat diambil susu dan daganing untuk memenuhi kebutuhan pangan. Peran pimpinan sangat diperlukan dalam mengelola kekayaan alam sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

II.      PEMBAHASAN
A.   Kepemimpinan Nasional
Dalam kehidupan manusia senantiasa ada yang dipimpin dan ada yang memimipin, masing-masing pemimpin memiliki karater, gaya, tanggungjawab, tantangan, dan wilayah kerja. Ada pemimpian yang bertanggungjawab pada kelompok kecil, ada yang luas dan besar, dan minimal memimpin diri sendiri. Kepemimpinan nasional itu sendiri diartikan kelompok pemimpin bangsa pada segenap strata kehidupan nasional didalam setiap gatra (Asta Gatra) pada bidang/sektor profesi baik di supra struktur, infra struktur dan sub struktur, formal dan informal yang memilki kemampuan dan kewenangan untuk mengarahkan/ mengerahkan kehidupan nasional (bangsa dan negara) dalam rangka pencapaian tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta memperhatikan dan memahami perkembangan lingkungan strategis guna mengantisipasi berbagai kendala dalam memanfaatkan peluang.
Menyimak pengertian ini maka pimpinan nasional bisa diartikan seseorang atau sekelompok orang yang memiliki wewenang mengarahkan kehidupan bangsa dan negara menujutu tujuan. Pimpinan nasional berada pada setiap strata atau jenjang yang kewenangannya menuju terwujudnya tujuan bangsa dan negara. Pimpinan nasional bisa bersifat formal yang dipilih, diamanatkan dan diambil sumpah/janji atau di SK-kan secara resmi dan digaji oleh negara, dan juga bisa kepemimpinan yang bersifat informal karena kharismatik, keilmuannya dipercayai oleh anggotanya/jemaahnya. Pimpinan nasional memahami perkembangan lingkungan strategis, mampu mengatasi kendala dan memanfaatkannya.
Melihat begitu banyak tantangan bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan negara, maka diperlukan kepemimpinan nasional memiliki moralitas, integritas dan intelektual yang baik, profesional,   manajerial, demokrasi, visoner dan misioner.  Kepemimpinan nasional bukan satu orang individu saja. Kepemimpinan nasional menurut Prof. John Pieris S.H. M.S merupakan kepemimpinan yang kolektif, pemimpin yang dipilih oleh rakyat yang memahami keseluruhan naskah empat pilar yaitu Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, oleh karena itu Bangsa Indonesia butuh kepemimpinan yang kuat dalam semua sektor.
Kebutuhan bangsa Indonesia akan kepepimpinan nasional yang kuat oleh karena tantangan sekarang bukan dari satu sisi saja. Ada tantangan dari luar sebagai konsekwensi Indonesia dalam globalisasi dan ada tantangan dari dalam. Menurut ketua BAPPENAS RI yang dimuat Harian Media Indonesia tanggal 3 Februari 2009 terdapat 5 masalah besar yang menghadang NKRI disamping Terror untuk sukses-nya Pembangunan Nasional adalah pertama, kemiskinan. kedua, lingkungan hidup. ketiga, utang. keempat, penegakan hukum. dan kelima, demokratisasi dan otonomi daerah.
Hal sama dinyatakan oleh Akbar Tanjung bahwa di era demokrasi politik yang, peran kepemimpinan nasional sangat penting. Pemimpin bangsa merupakan nakhoda yang hendak membawa bangsa ini menuju pelabuhan cita-cita bangsa. Kita membutuhkan pemimpin-pemimpin yang negarawan, yang memiliki komitmen yang tinggi untuk mensejahterakan rakyat, memajukan bangsa dan negara. (Website Sekretariat Negara Republik Indonesia, 30 April 2012)
Dalam mengarahkan kehidupan masyarakat atau anggotanya untuk mencapai tujuan, maka pimpinan nasional senantiasa berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD NRI 1945 menjadi acuan bagi setiap pimpinan nasional bertindak. Tujuan nasional yang diingankan secara garis besar adalah “aman” dan “sejahtera”, maka pimpinan nasional mengarahkan segala potensi sumber daya manusia dan sumber kekayaan alam untuk mencapainya.
B.   Peran Kepemimpinan Formal dan Informal
Pemimpin formal pada umumnya berstatus resmi dan didukung oleh peraturan-peraturan yang tertulis serta keberadaannya melalui proses pemilihan dan pengangkatan secara resmi. Pemimpin formal adalah orang yang menjadi pemimpin karena ”legalitas”-nya. Walgito (2003 : 93) mengungkapkan bahwa, ... di samping kelompok formal dan kelompok informal. Kelompok formal akan dipimpin oleh pemimpin formal yang mempunyai interaksi, yaitu lebih bersifat formal, lebih didasarkan atas pertimbangan rasio daripada pertimbangan perasaan, karenanya lebih bersifat objektif.
Sejalan dengan itu Mardikanto (1991 : 205) menyatakan bahwa pemimpin formal adalah pemimpin yang di samping memperoleh pengakuan berdasarkan kedudukannya, juga memang memiliki kemampuan pribadi untuk memimpin (kepemimpinan) yang andal. Dari segi organisasi seorang pimpin formal mengarah kepada kepemimpinan organisasi pamrih, yaitu organisasi yang bentuk keterlibatan anggotanya lebih didasarkan pada pertimbangan kalkulatif (untung-rugi/manfaat-korbanan yang harus dikeluarkan dan yang akan dapat-diterimanya).
Berdasarkan macam kegiatannya pemimpin formal memimpin pada kegiatan ekspresif dan kegiatan instrumental. Kegiatan ekspresif, yaitu kegiatan yang bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan normatif dan sosial, seperti; kebutuhan kerohanian/keagamaan, kesetiakawanan sosial, dan kebersamaan. Sedangkan kegiatan instrumental adalah kegiatan yang bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan dan alokasi sumberdaya, seperti : pertanian, industri, dan perdagangan.
Artinya bahwa pemimpin formal adalah pemimpin yang secara resmi diberi wewenang/ kekuasaan untuk mengambil keputusan-keputusan tertentu, dan dia mempertanggungjawabkan kekuasaan/wewenangnya tersebut baik pada atasannya maupun lembaga yang memberikan wewenang. Pemimpin formal pada umumnya berada pada lembaga formal juga, dan keputusan pengangkatannya sebagai pemimpin berdasarkan surat keputusan yang formal. Seorang pemimpin formal bisa saja hanyalah seorang kepala yang memiliki wewenang sah berdasarkan ketentuan formal untuk mengelola anggotanya, atau jika dalam organisasi memiliki wewenang untuk membawahi dan memberi perintah pada bawahan-bawahannya. Sejalan dengan dengan tanggungjawab dan kewengannya pemimpin formal mendapat imbalan finasial.
Sedangkan pemimpin informal adalah orang yang mempin karena ikatan emosional antara yang memimpin dengan yang dipimpin. Pemimpin informal dipercaya atas peran, kewibawaan dan kemampuannya dalam mengarahkan masyarakat. Pemimpin informal adalah pemimpin yang tidak diangkat secara resmi berdasarkan surat keputusan tertentu. Dia memperoleh kekuasaan/ wewenang karena pengaruhnya terhadap kelompok. Apabila pemimpin formal dapat memperoleh pengaruhnya melalui prestasi, maka pemimpin informal memperoleh pengaruh berdasarkan ikatan-ikatan psikologis. Tidak ada ukuran obyektif tentang bagaimana seorang pemimpin informal dijadikan pemimpin.
Walgito (2003 : 93) menyatakan bahwa pemimpin informal mempunyai batas-batas tertentu dalam kepemimpinanya. Ia memimpin kelompok informal yang statusnya tidak resmi, dalam hal organisasi umumnya tidak didukung oleh peraturan-pertaturan yang tertulis seperti pada kelompok formal. Sementara Sarwono (2005 : 44 - 46) menyatakan bahwa pemimpin informal dapat dikatakan sebagai ciri kepribadian yang menyebabkan timbulnya kewibawaan pribadi dari pemimpin dan merupakan bakat/sifat/karismatik yang khas terdapat dalam diri pemimpin yang dapat diwujudkan dalam perilaku kepemimpinan.
Menghadapi kondisi Indonesia yang penuh tantangan dan banyak persoalan apalagi untuk mencapai tujuan kepentingan bersama, maka tidak mungkin kepemimpinan dilakukan secara individual atau oleh seorang saja. Diperlukan kolektifitas, kerjasama dari pimpinan terkecil sampai terbesar baik pada posisi pimpinan formal maupun informal.
Dalam keorganisasian bangsa yang besar dan luas, pemimpin nasional memiliki peran strategis untuk menggerak dan mengarahkan anggotanya mencapai tujuan. Sumber daya alam Indonesia yang luas dengan potensi yang terkandung didalamnya menjadi modal untuk mensejahterakan rakyat. Potensi kekayaan alam itu diperlukan peran kepemimpinan nasional yang berkomitmen tinggi dalam mengelolanya. Dengan pengelolaan sumber kekayaan alam yang baik dan benar mampu mengantarkan kemakmuran sepenuhnya bagi rakyat, bangsa dan negara Indonesia sebagaimana tujuan dan cita-cita negara. Tujuan pengelolaan kekayaan alam adalah untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari segenap petensi sumber alam yang tersedia untuk meningkatkan kesejahteraan dan keamanan bangsa dan rakyat Indonesia secara berlanjut berlandaskan Wawasan Nusantara.
Menurut Syaidiman Suryohadiprojo  (2010) Kepemimpinan Nasional harus mempunyai keberanian untuk melakukan program prioritasnya sehingga sungguh-sungguh terwujud. Ini berarti sanggup mengutamakan hal-hal yang perlu dilakukan lebih dahulu agar dana yang tersedia benar-benar terpakai secara efektif untuk mendukung terwujudnya prioritas itu secara nyata. Kalau ditetapkan bahwa perwujudan Kesejahteraan Rakyat dilandasi Pembangunan Pertanian, maka Kepemimpinan Nasional sanggup dan berani untuk menetapkan penggunaan dana yang tersedia untuk secepatnya terwujud Sektor Pertanian yang produktif dan kuat daya saingnya, sehingga menjadikan Rakyat Petani golongan masyarakat yang sejahtera. Selama Kepemimpinan Nasional kurang keberanian untuk bertindak demikian maka tidak akan pernah terjadi fokus dalam pembangunan sehingga tidak pernah ada yang berkembang menjadi kekuatan nyata.
Kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat adalah sesuatu yang relatif sulit untuk mencari patokan dan indikator yang tepat untuk menyatakan telah tercapai kemakmuran dan kesejahteraan. Akan tetapi mempedomani kebutuhan dasar manusia berdasarkan teori Maslow adalah terpenuhinya sandang, papan, dan pangan. Di sinilah peran pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya yakni terpenuhi kebutuhan dasar (sandang, papan, dan pangan).
Peran kepemimpinan nasional dalam mengelola sumber kekayaan alam termasuk dalam membuat pemerataan dan berkeadilan mengingat tidak samanya potensi yang dikandung alam Indonesia. Lokasi dan konsentrasi sumber kekayaan alam tidak merata diseluruh wilayah Indonesia tidak sesuai dengan persebaran dan kemampuan penduduk Indonesia. Jika pemimpinan nasional tidak melakukan perannya dengan baik dalam pegelolaan akan dapat menimbulkan kesenjangan sosial.
Peran strategis pimpinan dalam mengelola sumber kekayaan alam sangat diperlukan, mengingat alam Indonesia memiliki potensi. Peran pimpinan formal dan informal dalam mengarahkan dan mengerahkan masyarakat untuk mengelola dan menjaga alam sangat diperlukan.  Kesalahan dalam mengelola akan berakibat fatal bagi anak cucu. Peranan kepemimpinan formal maupun informal, dalam menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila menduduki tempat yang sangat strategis dan menentukan dalam masyarakat Indonesia kedepan. Penonjolan sikap dan tingkah laku seorang pemimpin dan kerabat keluarganya yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila akan memberi pengaruh yang sangat besar kepada masyarakat lingkungannya.
Seiring dengan meningkatnya intensitas pembangunan nasional maka akan meningkatkan pula eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Khusus untuk kekayaan alam yang tidak terbarukan, maka eksploitasi yang terus menerus akan mengakibatkan kekayaan alam tersebut menjadi komoditi langka, sehingga nilainya menjadi strategis dan dapat mengandung kekuatan dari luar untuk menguasainya.
Eksploitasi kekayaan alam dan pengalihan lahan pertanian ke nonpertanian khususnya lahan sawah akan mengakibatkan kurangnya produksi padi. Bebarapa tempat telah terjadi konversi lahan sawah ke lahan industri, lahan rekreasi, dan kebun sawit yang mengakibatkan berkurangnya lahan sawah, sedangkan pembukaan lahan baru tidak sebanding yang telah dikonversi. Hal ini mencerminkan menipisnya pengamalan nilai-nilai Pancasila.
Pimpinan nasional harus cepat tanggap menyiasatinya berkurangnya lahan sawah sebab bisa mengakibatkan Indonesia senantiasa mengimpor beras dari negara lain. Ketergantungan pangan dari negara lain berarti Indonesia tidak mandiri dalam ketahan pangan. Artinya kemandirian pangan dapat dicapai dengan baiknya pengelolaan sumber kekayaan alam.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan pimpinan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberkeyaan alam diantaranya adalah;
1). Pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam Indonesia pada dasarnya dilakukan oleh dan untuk bangsa Indonesia, dengan cara-cara yang tidak merusak tata lingkungan hidup manusia dan dengan memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan datang. Dalam keadaan kemampuan nasional masih terbatas, maka dapat dilakukan kerjasama dengan perusahaan asing, dengan syarat yang paling menguntungkan bagi kepentingan nasional.
2) Dalam hal pemanfaatan kekayaan alam komoditi yang mempunyai nilai ekonomis harus didasarkan pada prinsip peningkatan kesempatan kerja bagi penduduk setempat dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional sehingga mengurangi kesenjangan sosial, peningkatan pembangunan daerah.
3) Melindungi serta mengelola kekayaan alam dengan cara tepat, terarah dan bijaksana serta lebih mementingkan manfaat untuk rakyat banyak dengan meningkatkan kemampuan teknologi tepat guna dan meningkatkan kualitas SDM yang mampu mengelola.
4) Melakukan inventarisasi tentang jumlah, mutu jenis dan persebaran kekayaan alam untuk mengetahui potensi riil yang dapat dimanfaatkan.
5) Membina kesadaran nasional untuk pemanfaatan dan pelestarian kekayaan alam serta penggarapan secara tersinkronisasi dan terintegrasi oleh berbagai pihak guna pencapaian hasil yang optimal serta pengamanan yang maksimal, sehingga tetap terjaga kondisi kelestarian dan keharmonisan lingkungan.
C.   Peran Kepemimpinan Daerah
Kepemimpinan nasional bukan hanya elit-elit tertentu yang berada di pusat pemerintahan saja. Kepemimpinan nasional berdasarkan modul 14 (2012:27) adalah yang berorientasi dari konsepsi paradigma nasional, utama pengimplementasian Ketahanan Nasional. Artinya kepemimpinan nasional adalah setiap pemimpin yang konsepsi paradigmanya untuk kepentingan dan mencapai tujuan nasional.   
Kepemimpinan di daerah yang memiliki orientasi berdasarkan konsepsi paradigma nasional dapat pula disebut sebagai kepemimpinan nasional. Pimpinan daerah juga didalamnya pimpinan informal yang dengan tugas dan tanggungjawabnya mengarah pada pencapaian tujuan dan cita-cita nasional disebut dengan kepemimpinan nasional. Dalam era otonomi daerah tidak berarti pimpinan daerah mengedepankan orientasi kedaerahan, pimpinan daerah tetap mengemukakan semangat kebersamaan dan kegotongroyongan dalam wadah negara kesatuan.
Dalam peran mewujudkan tujuan nasional yakni kemakmuran dan kesejahteraan rakyat menjadi tanggungjawab pimpinan daerah di masing-masing wilayahnya. Jika masing-masing pimpinan daerah telah mampu mensejahterakan rakyatnya maka secara kumulatif kesejahteraan nasional tercapai.
Pimpinan daerah memiliki sumber kekayaan alam yang berada pada wilayahnya masing-masing. Kekayaan alam itu menjadi tugas dan kewenangan pimpinan daerah mengelolanya. Pimpinan daerahlah yang melihat dan mengetahui persis bagaimana sumber kekayaan alam di daerahnya diolah dan dimanfaatkan. Pimpinan daerah yang berorientasi dengan konsepsi paradigma nasional akan  melaksanakan amanah dan tugasnya berdasarkan kepentingan nasional.
UUD NRI 1945 pasal 33 ayat 3 menyatakan bahwa ‘bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’. Menurut jenisnya kekayaan alam itu dibedakan dalam 8 golongan sebagai berikut : a) Hewan (fauna); b) Nabati (flora); c) Mineral (minyak bumi, uranium, biji besi, batu bara dan lain-lain); d) Tanah (tempat tinggal, tempat berpijak, tempat bercocok tanam); e) Udara (sinar matahari, oksigen, karbondioksida); f) Potensi ruang angkasa; g) Energi alami (gas alam, panas alam, air artetis, geotermis); h) Air dan Lautan. Selain itu alam Indonesia yang tropis dengan kelokannya dan berbagai budaya menjadi kekayaan tersendiri untuk dikunjungi wisatawan.
Konsep penguasaan oleh negara tersebut berarti, bahwa warga negara Republik Indonesia boleh mengusahakan serta memanfaatkan kekayaan alam yang ada. Sumber-sumber kekayaan alam sebagai karunia Tuhan adalah untuk memberi kehidupan kepada makhluknya, dan kekayaan wilayah Indonesia baik potensial maupun efektif adalah modal dan milik bersama bangsa untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari.
Berdasarkan UUD tersebut maka kekayaan alam yang ada di daerah menjadi tanggungjawab pimpinan daerah mendayagunakan untuk mencapai kemakmuran rakyatnya dalam wadah NKRI.  Kekayaan alam berupa fauna dan tanah untuk bercocok tanam bersentuhan lansung dengan pemenuhan kebutuhan pangan. Pimpinan daerah bertugas mengerahkan dan mengarahkan rakyatnya memanfaat sumber keyaan alam guna memenuhi kebutuhan pangannya.

D.   Kemandirian Pangan
Kemandirian pangan menurut Dr. Ir. Hermanto, MS (2012) adalah kemampuan negara memproduksi pangan dalam negeri untuk mewujudkan ketahanan pangan dengan memanfaatkan sebesar-besarnya potensi sumberdaya alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal secara bermartabat. Sementara menurut Ir. Siswono Yodo Husodo (dalam Ahmad Suryana, 2003:175) kemandirian pangan adalah kebutuhan pangan nasional harus dipenuhi secara mandiri dengan memberdayakan modal manusia, modal sosial dan ekonomi yang dimiliki petani Indonesia, yang pada gilirannya harus berdampak kepada peningkatan kehidupan sosial dan ekonomi petani dan masyarakat lainnya.
Dari pengertian di atas tampak bahwa kemandirian pangan berangkat dari kemampuan bangsa Indonesia untuk menyediakan sendiri kebutuhan pangannya. Pembicaraan kemandirian pangan akan membangkitkan semangat nasionalisme, dalam artian bahwa alam Indonesia yang luas dan subur sangat dimungkinkan memproduksi sendiri bahan pangan dengan tidak tergantung pada impor. Ada beberapa bahan pangan pokok yang dikonsumsi rakyat Indonesia, seperti beras/nasi, jagung dan sagu.
Berdasarkan Undang-undang No. 7/1996 pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan dan minuman. Jadi pangan merupakan sumber energi, protein, dan vitamin bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sehat dan cerdas. Walau berbagai macam variasi bentuk dan sumber pangan Indonesia, namun bahan pangan utama rakyat Indonesia adalah beras yang dihasilkan dari lahan sawah.
Indonesia pada dekade 1980-an mampu berswasembada beras sehingga dengan prestasi itu mengantarkan Presiden Soeharto menerima piagam penghargaan dari FAO. Namun ternyata negara yang telah swasembada beras ini bisa mengalami krisis pangan seperti yang pernah terjadi pada akhir 1990-an di NTB dan Papua. Penyebabnya berbagai faktor karena gagal panen yang disebabkan bencana alam, iklim yang buruk, berkurangnya lahan, dan serangan hama. Atau bisa juga distribusi pangan tidak merata dan menjangkau seluruh masyarakat satu negara. Bahkan ironisnya saat ini ternyata bangsa Indonesia mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand.
Salah satu penyebab Indonesia tidak mampu lagi berswasembada beras adalah berkurangnya lahan sawah. Telah terjadi alih fungsi lahan sawah yang menyebabkan turunnya hasil produksi beras Indonesia. Sebahagian petani di Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan telah mengalihkan hapir 30 % lahan sawah ke tanaman karet dan sawit yang lebih menguntungkan hasilnya. Sementara di perkotaan lahan sawah beralih fungsi ke lahan industri, perumahan dan lahan rekreasi. Artinya pengelolaan kekayaan alam (lahan pertanian) sebagai sumber pangan telah berubah dan bergeser. Maka peran pemimpin yang berorientasi konsepsi paradigma nasional sangat dibutuhkan, agar kekayaan alam dapat dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya bagi kepentingan rakyat.
Akibat berkurangnya lahan persawahan dengan sendirinya produksi beras berkurang. Sementara pencetakan lahan persawahan baru hampir tidak ada, proyek sejuta lahan gambut untuk dijadikan sawah di Kalimantan tidak berhasil sepenuhnya. Kondisi ini menjadi salah satu kemunduran produksi gabah/ padi nasional. Sebagaimana dinyatakan oleh Wakil Presiden Boediono yang dikutip web resmi Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Propinsi Riau dan Situs Riau online 18 Agustus 2010 menyatakan “Kemunduran sektor pertanian jenis tanaman sawah padi ini bukan hanya terjadi di Riau. Secara nasional, sejak tahun 2000-an sektor pertanian cenderung stagnan. Padahal dalam era tahun 70-an sektor pertanian inilah yang menjadi kekuatan pembangunan”. Berkurangnya perhatian pada pembangunan bidang pertanian khususnya pangan menjadikan negara Indonesia tidak mampu berswasembada beras dan malah sekarang menjadi pengimpor beras. Dikhawatirkan kebutuhan pangan Indonesia menjadi tergantung dengan bangsa lain yang berarti tidak memiliki kadaulatan pangan dan kemandirian pangan.
Menurut Ahmad Suryana (2003:109) bahwa pembangunan ketahanan pangan adalah ketahanan pangan rumah tangga, yang tentu secara kumulatif akan mendorong ketahan pangan daerah dan nasional. Lebih lanjut dijelaskan beberapa starategi yang dikembangkan dalam pemantapan ketahan pangan di antaranya; pengembangan kapasitas produksi pangan nasional melalui rehabilitasi kemampuan dan optimalisasi pemantapan sumberdaya alam (lahan dan air), peningkatan partisipasi masyarakat dalam keseluruhan sistem ketahan pangan.
Berkaitan dengan itu maka tujuan pembangunan pangan menurut Dr. Ir. Hermanto, MS (2012) dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, Ketahanan Pangan, dan Keamanan Pangan, serta tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Untuk mewujudkan kemandirian pangan maka peran kepemimpinan nasional baik di pusat maupun daerah, formal maupun informal menjadi sangat penting.

III.   PENUTUP
Kepemimpinan nasional merupakan kelompok pemimpin bangsa pada segenap strata kehidupan nasional formal dan informal yang memilki kemampuan dan kewenangan untuk mengarahkan/ mengerahkan kehidupan nasional (bangsa dan negara) dalam rangka pencapaian tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kepemimpinan nasional menjadi salah satu penentu tercapainya tujuan dan cita-cita nasional  yang termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945 yakni “...untuk memajukan kesejahteraan umum”.
Indonesia memiliki berbagai sumber kekayaan alam yang semua potensinya digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Tanggungjawab mengendalikan sumber kekayaan alam itu berada pada negara yang pelaksanaan pengelolaannya ditangan kepemimpinan nasional. Pimpinan formal dan informal baik ditingkat pusat maupun daerah adalah bahagian dari kelompok pimpinan bangsa yang mengerahkan dan mengarahkan segala potensi sumber kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat.
Di antara indikator kesejahteraan rakyat adalah terpenuhi kebutuhan pokoknya terutama bahan pangannya. Beras merupakan bahan pangan yang dominan dikonsumsi rakyat Indonesia di samping bahan makanan lainnya. Beras atau padi tumbuh dan berkembang pada lahan sawah sebagai salah satu sumber kekayaan alam, namun akhir-akhir ini lahan sawah telah banyak beralih fungsi sehingga berakibat kurangnya produksi beras.
Bangsa Indonesia pernah berada pada posisi berswasembada beras, kemampuan memproduksi beras (pangan) dan mencukupi bagi seluruh rakyat merupakan syarat untuk kemandirian pangan. Peran pimpinan dalam setiap strata menjadi sangat penting untuk mengelola sumber kekayaan alam agar segala potensi yang dimiliki bangsa Indonesia dapat diarahkan guna memproduksi sendiri kebutuhan pangan.

 Sebahagian lahan pangan yang perlu dipelihara, 
jangan sampai terjadi alih fungsi ke lahan nonpangan

DAFTAR PUSTAKA
Achmad Suryana. 2003. Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM.
Ahmad Thoriq. tt. “Kumpulan Jurnal Ilmiah Tahun 2001-2009: Ketahanan Pangan Dalam Rangka Kemandirian Bangsa”.
Bambang Hendro sunarminto. 2010. Pertanian Terpadu Untuk Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Bambang Irawan. 2005. “Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak Pola Pemanfaatannya dan Faktor Determinan” Bogor: Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 23.
Bustanul Arifin. 2005. Pembangunan Pertanian, Paradigma Kebijakan dan Strategi Revitalisasi. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Hermanto. 2012. “Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional” (power point) disajikan pada Pembekalan PPRA XLVIII Lemhannas. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian.
Hilman Manan. 2006. “Tantangan Terbesar Revitalisasi Pertanian”. (makalah). Makasar: Universitas Hasanuddin.
Hudaini Hasbi. 2011. “Pengelolaan dan Manajemen Sumber Daya Alam” (makalah)
-------. 2011. “Pengelolaan Sumber Daya Alam Sebagai Payung Kesejahteraan” (makalah).
Irawan, A. 1998. Analisis Respon Penawaran Padi Sawah dan Ladang di Jawa dan Luar Jawa. Studi Respon Penawaran. Tesis Magister pada Program Studi Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
-------, 2006. “Multifungsi Lahan dan Revitalisasi Pertanian”. Dimuat pada surat kabar Suara Pembaruan, 23 Juni 2006.
-------. 2012. “Memilih Jalan Pintas, Impor Beras”.  Medan: dalam Jurnal Wacana Senin, 05 Mar 2012.
Lemhannas. 2012. Modul 1,2,3, dan 4 Bidang Studi Kepemimpinan Nasional. Jakarta : PPRA XLVIII, Lemhannas.
Muhammad Hambali. “Revitalisasi Lahan Pertanian Menuju Ketahanan Pangan Nsional”. Diunduh Rabu, 09 Mei 2012.
Situs Riau. Com. 2010. “Kebun Sawit Ancam Lahan Pertanian Sawah di Riau”. Diunduh, Rabu, 09 Mei 2012.