Minggu, 24 Juni 2012

KEBUDAYAAN, SENI DAN PARIWISATA


Oleh : Adirozal

  1. Pendahuluan

Ada banyak difinisi kebudayaan yang dikemukakan ahli, namun tidak ada difinisi yang pas dan memuaskan. Tidak ada satu difinisipun yang bisa mencakup semua suku bangsa serta berlaku dari dahulu sampai sekarang. A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn pada tahun 1952 menghimpun dan mengklasifikasikan 179 difisinisi kebudayaan dalam buku Culture: a Critical Review of Concepts and Difinition. Dari banyak difinisi budaya itu yang dapat dipastikan bahwa kebudayaan adalah berhubungan dan milik manusia.
Bahkan difinisi kebudayan sekarang ini semakin berkembang, hal ini tidak lepas dari fenomena baru dan semakin banyak tantangan kehidupan manusia. Dengan demikian diskusi tentang kebudayaanpun senantiasa menarik karena berbicara tentang manusia dengan diri dan kehidupannya. Banyak hal yang dinginkan, dirancang, dipikirkan, dilakukan manusia dalam kehidupan oleh dan untuk diri sendiri dan hidup bersama.
Bersamaan dengan berbagai keinginan dan tantangan yang dihadapi, tumbuh gagasan, kreativitas dan kesepakatan manusia untuk menciptakan, mentaati dan melakukan sesuatu. Baik untuk mempermudah ia dalam menghadapi kehidupan, menuntun dalam bermasyarakat maupun untuk memuaskan rasa estetikanya. Untuk mempermudah menghadapi tantangan kehidupan dan memperluas akses, maka lahirlah berbagai teknologi. Untuk mengatur tatanan hidup berkelompok lahir norma, nilai, adat istiadat, dan hukum. Sementara untuk memuaskan rasa estetikanya lahirlah berbagai seni.
Dalam hal untuk memuaskan estetikanya ternyata manusia juga melakukan perjalanan jauh untuk menyaksikan fenomena alam. Baik keindahan alam ciptaan Tuhan maupun keindahan alam yang mendapat sentuhan tangan manusia (seni). Perjalanan jauh yang dimaksud untuk menyenangkan diri dengan berbagai aktifitas itu disebut dengan pariwisata. Dalam hal inilah tampak adanya afinitas antara kebudayaan, seni dan pariwisata.
Dalam makalah ini tidak membahas kebudayaan, seni dan pariwisata secara mendalam, akan tetapi membicarakan selintas kaitan antara komponen tersebut.  Apakah pariwisata menguntungkan bagi kehidupan seni dan budaya? khususnya budaya lokal tempat tujuan wisata.

  1. Pariwisata dan Budaya Global
Pariwisata telah merambah seluruh kawasan dunia dan sampai ke pelosok negeri-negeri, hampir tidak ada daerah yang tidak mengenal pariwisata. Baik sebagai daerah tujuan wisata maupun penduduknya yang sering bepergian untuk berwisata. Kegiatan pariwisata sudah menjadi bagian dari dari kehidupan masyarakat mulai dari orang kota sampai orang desa. Pariwisata telah mendunia menjadi budaya global, bahkan fenomena pariwisata telah memasuki angkasa luar.  
Berbagai aktivitas dilakukan untuk menyambut kedatangan wiasatawan. Ada negara dan daerah yang dengan terang-terangan menjadi tujuan wisata tempat berisata dan ada juga yang tampaknya terkesan ‘malu-malu’ antara menerima dan menolak, antara setuju dan tidak menyetujui atas kehadiran kepariwisataan, namun ‘turis’ telah hadir di tengah-tengah masyarakat. Suatu kenyataan yang tidak dapat dimungkiri bahwa kegiatan pariwisata betul-betul telah menjadi budaya global.. Pandangan yang setuju dengan kehadiran pariwisata pasti melihat banyak keuntungan dari kegiatan pariwisata, sedangkan yang tidak setuju tentulah melihat pariwisata membawa dampak negatif.
Ada banyak faktor yang membuat manusia untuk melakukan kegiatan berwisata, mulai dari sekedar untuk memuaskan perasaanya (untuk sekedar bersenang-senang) sampai untuk menambah pengetahuan. Sekarang ini semakin banyak manusia berkeinginan untuk melaksanakan perjalanan dari tempat tinggalnya ke daerah lain. Perasaan ingin tahu tentang adat istiadat dan kebiasaan orang lain merupakan dorongan kuat orang melakukan perjalanan jauh (Spilane, 2000:16). Dahulu faktor agama yang mendominasi orang untuk melalukan perjalanan jauh dengan berhari-hari dan bahkan berbulan-bulan meninggalkan kampungnya, untuk mengikuti upacara Olympus, ziarah ke Roma, Yerusalem, dan ke tanah suci (Mekah). Kemudian ada juga yang disebabkan motivasi untuk berdagang, tugas diplomatik. Sekarang tujuan orang berwisata untuk mencari kesenangan, kenikmatan, kepuasan dan hal-hal lain yang erat kaitannya dengan psikis. Menurut Wahab (1992:59) ada puluhan alasan yang melatarbelakangi kepergian seorang wisatawan yakni untuk bisnis, menghadiri konvensi, alasan-alasan keagamaan, kesehatan, olah raga, hobi, budaya, pendidikan, dan kesenangan yang meliputi berlibur, rileks, perubahan lingkungan dan udara.
Begitu banyak motivasi orang untuk berwisata dan bahkan seolah-olah kebutuhan hidup orang modern menjadikan kegiatan kepariwisataan sebagai budaya baru. Bahkan banyak kegiatan lain secara tidak langsung mempunyai jalinan dengan kegiatan pariwisata. Lahan dan lapangan kerja menjadi banyak terbuka melalui kegiatan kepariwisataan mulai dari sekitar objek wisata sampai oleh-oleh atau cenderamata. Pantaslah setiap negara berupaya menata kepariwisataannya dan menggaet sebanyak mungkin wisatawan datang ke daerahnya.

Hampir seluruh negera memiliki departemen yang mengurusi tentang kepariwisataan. Bahkan di Indonesia badan yang mengurus kepariwisataan sampai pada daerah Kabupaten dan Kota setingkat kantor atau dinas.. Tentu dengan harapan sektor pariwisata dapat menjadi salah satu sumber pendapatan negara dan daerah. Untuk itu berbagai upaya dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah  guna menarik wisatawan, misalnya visit Indonesian, tahun Seni dan Budaya,  festival-festival seperti festival Danau Toba di Sumatera Utara, tour de Singkarak, festival Tabut di Pariaman Sumatera Barat, dan festival Keraton  di Yogyakarta. Belum lagi kunjungan ‘duta seni’ ke berbagai negara, pertunjukan kesenian serta pameran-pameran lukisan dan hasil karya seni lainnya yang kesemua peristiwa budaya itu untuk industri pariwisata.
Di Indonesia sendiri wisatawan dikelompokkan atas dua yakni wisatawan dalam negeri yang juga sering disebut disebut wisnus (wisatawan nusantara atau lokal) dan yang datang dari  negara asing atau dari berbagai negara disebut wisman (wisatawan manca negara). Perjalan mereka terutama wisatawan asing lazimnya diatur oleh suatu biro perjalanan (travel), di samping ada juga yang datang sendiri dan melalui famili. Wisatawan asing yang memanfaatkan biro perjalanan umumnya wisata rombongan (mass tourism). Biasanya dari perusahaan-perusahaan di Eropa, Amerika, Korea, dan Jepang yang telah memberi perhatian terhadap karyawannya untuk berwisata. Wisatan itu memanfaatkan jasa pelayanan mulai dari memilih lokasi, keberangkatan, di daerah tujuan wisata (DTW), penginapan, konsumsi, dan sampai kembali ke daerah asalnya.
Memperhatikan berbagai keperluan wisatawan maka timbullah industri pariwisata, yakni sektor industri yang berkaitan langsung dengan kegiatan kepariwistaan. Sektor industri pariwisata lebih banyak bergerak dalam jasa yang memberikan pelayanan (service) pada pengguna jasa (wisatawan). Menurut Spilane (2000:47) industri pariwisata dapat dibagi ke dalam lima bidang, yaitu (1) tour dan travel, (2) hotel dan restoran, (3) transportasi, (4) pusat wisata dan souvenir, dan (5) bidang pendidikan pariwisata. Selain hal yang dikemukan Spilane ini masih ada berbagai pelayanan jasa yang punya kaitan dengan industri pariwisata, misalnya perbankan/ money changer, diskotik, telekomunikasi  dan ansuransi.

C. Pariwisata dan Pembangunan Ekonomi
Kegiatan pariwisata yang dipahami selama  ini terfokus pada sektor ekonomi saja, pariwisata senantiasa dipandang sebagai suatu hal yang menguntungkan. Banyak yang memahami pariwisata sebagai suatu hal yang membawa kemajuan saja. Pariwisata membuka lapangan kerja, pariwisata membawa perubahan kemajuan masyarakat setempat, pariwisata menambah income. Dalam banyak statement (-biasanya dari pejabat-) menyatakan pariwisata “sebagai kunci perkembangan. Agaknya pernyataan tersebut (-jika tidak salah-) menyadur dari buku karangan Emanuel de Kadt, yaitu: Tourism Passport to Development.
Tentulah pernyataan-pernyataan tersebut konotasinya perkembangan ekonomi, pariwisata sebagai kunci perbaikan ekonomi masyarakat. Seolah-olah pariwisata suatu kegiatan baru di tengah masyarakat yang dapat meningkatkan taraf perekonomiannya, dan karena pariwisata sebagai kuncinya maka sangat perlu digalakkan. Maka berbagai upaya dan kegiatan dilakukan masing-masing daerah (pemerintah dan masyarakatnya) untuk menarik dan mendatangkan wisatawan.
Dipandang dari sudut ekonomi kegiatan pariwisata nampaknya selalu menguntungkan daerah penerima wisatawan. Secara kasat mata memang dapat dilihat bahwa wisatawan mengeluarkan uang banyak untuk keperluan berwisata, mulai dari visa kunjungan (bagi wisatawan asing), jasa pesawat dan transportasi lokal, hotel atau penginapan, jasa guide (pemandu wisata), kunsumsi, dan cenderamata. Belum lagi kalau wisatawan mengunakan jasa telekomunikasi dan menukarkan uangnya di bank. Tentulah uang yang dikeluarkan dan dibelanjakan wisatawan sebagian besar akan masuk ke negara atau daerah tujuan wisata. Pada akhirnya atau sebahagian uang itu akan mengalir pada masyarakat yang mengakibatkan meningkatnya ekonomi rakyat.

D. Pariwisata dan Budaya
Kegiatan kepariwisataan mestinya tidak dipandang dari aspek ekonomi saja, bidang-bidang lain punya peran dan andil yang tidak kalah pentingnya. Misalnya berkaitan dengan aspek keamanan, kesehatan, lingkungan, politik, dan sosial. Pariwisata selain menyajikan keindahan alam juga ‘menjual budaya’, artinya wisatawan datang ke suatu negara atau daerah karena ingin melihat alam dan budaya setempat, dan masyarakat daerah itu menyuguhkan berbagai atraksi budayanya. Bahkan tidak jarang wisatawan itu terlibat dalam berbagai aktifitas budaya daerah setempat, misalnya ikut menari, menenun, dan upacara adat.
Wisatawan yang datang ke suatu daerah objek wisata secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi budaya daerah setempat. Maka secara sosial budaya akan terjadi akulturasi karena terjadinya pertemuan dua budaya yang berbeda. Dalam hal ini bila yang datang ke suatu daerah tujuan wisata adalah wisatawan nusantara atau lokal tentu tidak merisaukan penduduk setempat, karena budayanya relatif sama atau tidak terlalu berbeda. Akan tetapi jika yang datang wisatawan dari manca negara (terutama Eropa dan Amerika) yang secara budaya berbeda dengan Indonesia tentulah mengkhawatirkan bagi kelangsungan budaya lokal. Apa lagi jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke suatu daerah sudah terlalu banyak maka akan sangat mudah mempengaruhi budaya masyarakat lokal. Menurut Smith (1989) semakin banyak wisatawan yang datang ke suatu daerah maka semakin banyak ia memberi dampak bagi masyarakat lokal, sebaliknya semakin sedikit maka sedikit pula pengaruhnya.
Kedatangan wisatawan ke daerah tujuan wisata sekaligus membawa budayanya dan alam pikirannya. Dengan mengadopsi teori moderniasi, wisatawan yang datang dari barat (Amerika dan Eropa) beranggapan bahwa bangsa Asia dan Afrika termasuk bangsa kita Indonesia sebagai bangsa terbelakang. Dalam pandangan mereka Indonesia merupakan daerah atau bangsa yang terbelakang dalam banyak hal termasuk dalam budaya. Wisatawan yang datang  diantaranya berkeinginan membawa perubahan pada budaya lokal yang dianggap terbelakang. Jika perubahan ke arah yang lebih maju tentulah sesuatu yang tidak perlu ditolak dan dicurigai, misalnya dalam berdisiplin, berkerja keras dan kejujuran.
Akan tetapi jika perubahan ke arah negatif misalnya cara berpakaian yang tidak sopan dalam ukuran masyarakat setempat, minuman keras dan narkoba serta pornografi mestinya harus diantisipasi. Namun kebanyakan masyarakat lokal tidak memiliki ketahanan dan filter budaya yang baik, sehingga yang terjadi pada masyarakat lokal justru demontration effect yaitu sikap meniru-niru terhadap prilaku tidak baik wisatawan. Kasus-kasus yang terjadi di Nepal, Mijas, dan Gambia seperti yang digambarkan dalam buku Anthropology of Tourism oleh Dannison Nash khususnya pada bab Tourism as Aculture or Development menjadi pelajaran menarik bagi perkembangan wisatawan di Indonesia.
Dari hasil penelitian Nash dikemukakan bahwa perkembangan kepariwisataan di Gambia telah memarjinalkan penduduk lokal baik sebagai pekerja musiman maupun nilai-nilai tradisional mereka. Negara kecil di Afrika Barat itu sebelum dikembangkan sebagai daerah wisata berpenghasilan dari pertanian kacang. Pemerintah Gambia meminta bantuan Word Bank dan konsultan ‘barat’ untuk mengembangkan negaranya sebagai daerah tujuan wisata. Para konsultan ini merekomendasi perkembangan yang berbau etnosentrik dan strategi yang bergaya barat.
Dari kegiatan pariwisata tampak dampak positif ekonomi masyarakat Gambia. Perekonomian masyarakat jauh lebih baik sebelum adanya pariwisata di Gambia, namun bersamaan dengan itu dampak negatifnya dari sisi sosial budaya tidak dapat dielakkan. Masyarakat lokal tidak bisa lagi bertani karena lahan pertanian mereka sudah tidak ada lagi, sebab digunakan untuk pengembangan kepariwisataan di samping mereka tidak memiliki lagi keterampilan bertani. Sedangkan untuk berkerja pada sektor wisata mereka tidak mampu memenuhi standar yang dinginkan. Mereka hanya bisa bekerja pada sektor hilir pariwisata, sperti tukang parkir dan security.
Begitu pula di Mijas merupakan daerah yang sebelumnya tertutup, penduduknya sangat terikat dengan nilai-nilai tradisi. Norma-norma dan budaya masyarakat Mijas sangat mereka junjung tinggi. Rakyat daerah tersebut berpenghasilan dari sepetak tanah dan mencari ikan (nelayan), serta tidak bergaya komersial. Tetapi setelah daerah pantai ini dikembangkan menjadi daerah wisata masyarakatnya berubah, pola hidup masyarakat bergaya komersial nilai-nilai tradisi secara perlahan menghilang, dan akhirnya penduduk yang tidak punya keterampilan menjadi tersingkir. Populasi masyarakat yang sebelumnya 85 % bertani (1950) dan tinggal 7 % pada tahun 1974. Selain itu juga terjadi konflik antara penduduk baik antara pendatang dengan penduduk lokal maupun sesama penduduk lokal, hanya elit-elit lokal saja yang mempunyai akses ke investor.
Pengembangan pariwisata di Nepal agak lebih baik dan beruntung jika dibandingkan dengan kepariwisataan di Mijas dan Nambia, kepariwisataan Nepal dikembangkan dengan konsep pariwisata ‘Resiprokal’. Pengembangan pariwisata ini tidak dalam bentuk mass tourism melainkan small tourism. Pemerintahnya sangat berhati-hati dalam membuka dan mengembangkan objek wisata dan juga sangat selektif dalam menerima wisatawan yang berkunjung. Di Nepal terjadi akulturasi antara budaya lokal dengan budaya asing secara baik, wisatawan tidak menghegemoni budaya lokal dan tidak ada budaya datang (wisatawan) ‘memangsa’ budaya lokal. Pariwisata dengan konsep resiprokal di Nepal ini bersifat mengayomi masyarakat lokal.
Dalam kaitan industri pariwisata dengan kebudayaan lokal maka Robert E. Wood dari universitas Massachusetts menulis tentang ”Kebudayaan dan Pariwisata Internasional di Asia Tenggara”. Dinyatakannya bahwa pariwisata dikawasan Asia Tenggara (Hongkong, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Tailand) berkembang dengan cepat. Akibat dari pariwisata internasional itu telah terjadi dampak bagi budaya lokal, kebutuhan wisatawan saling berhadapan dengan budaya lokal. Masyarakat lokal yang mempunyai nilai-nilai tradisi ketimuran berhadapan dengan kebutuhan wisatawan yang datang dengan budaya barat.  Dengan mengutip pendapat ahli seperti Jucques Bagnicourt, Wood menyatakan bahwa pariwisata telah merusak budaya masyarakat lokal. Hal ini dilihat dari penduduk lokal yang suka meniru-niru wisatawan asing dan sikap wisatawan asing yang merendahkan penduduk lokal. Kerusakan budaya juga terjadi pada penjarahan karya seni dan artefak bersejarah, profanisasi dan vulgarisasi tempat ibadah dan penyimpangan perayaan agama. Namun hal ini baru mendapat perhatian setelah seminar UNESCO dan Bank Dunia dengan judul “Social and Cultural Impact of Tourism” pada tahun 1976.
Dampak kegiatan pariwisata terhadap budaya dan kesenian tidak senantiasa buruk dan negatif. Dalam hal ini sangat tergantung kearifan pelaku budaya, pemerintah, dan pelaku wisata menyikapinya. Menurut Pitana (1999) sisi positif kegiatan pariwisata dilihat secara sosial budaya adalah  terjadinya cultural inovation, conservation, penguatan ikatan tradisional, dan mendorong kreatifitas. Sedangkan Spilane (1999) menyatakan dampak positif kegiatan pariwisata adalah merangsang pertumbuhan budaya karena wisatawan khususnya wisatawan asing ingin melihat kebudayaan asli. Sementara Adirozal (2001) mengemukakan sisi positif pariwisata terjadinya pelestarian warisan budaya, peningkatan kreativitas seniman/pengrajin, terjadinya perkembangan sosial dan bududaya masyarakat lokal, membuka kesempatan kerja.
Berkaitan dengan sisi positifnya maka seniman akan meningkatkan kreatifitasnya dalam berkarya. Seniman pertunjukan akan menyuguhkan karya seninya yang berpijak pada seni tradisi. Sedangkan seni rupa lebih diperankan oleh seni kriya dalam hal menyiapkan cenderamata. Hampir seluruh wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah akan memilih cenderamata yang punya ciri khas daerah setempat. Wisatawan yang datang ke suatu daerah menginginkan dan mengimpikan melihat dan memeliki cenderamata berlatar budaya daerah setempat. Maka seniman sangat berperan dalam mengangkat budaya setempat sebagai kekayaan budaya lokal yang di’suguhkan’ pada wisatawan.
Akan tetapi dalam hal itu sangat diperlukan kearifan sehingga tidak terjadi profanisasi dan komersialisasi budaya. Jati diri seniman tidak tergadai dengan pandangan pragmatis dan materialistis sesaat yang dibawa wisatawan.  

E. Mensiasati antara Pariwisata, Seni dan Kebudayaan

Memperhatikan pariwisata sebagai suatu fenomena baru tidak hanya dilihat dari satu sisi saja, misalnya dari sudut dampak positif saja atau dari dari sisi negatif melulu. Hal yang paling tepat dalam mensiasatinya harus dilihat secara holistik. Dari semua sisi, baik dari ekonomi, politik, lingkungan, keamanan, sosial dan budaya. Jangan dipertentangkan atau dibuat dikotomi antara pariwisata disatu sisi dengan budaya dan seni pada sisi lainnya. Keduanya bisa saling menguntungkan, jika disikapi dengan baik.
Pendapat yang bijak dalam menyikapi dikotomi pariwisata dan budaya dikemukakan Prof DR. Igusti Ngurah Bagus dalam harian Kompas 7 Januari 1998. ‘para seniman dan budayawan hendaknya tidak terjebak dalam pertentangan antara pariwisata dan budaya, karena keduanya memang tidak perlu dipertentangkan. Meskipun tidak mudah, keduanya harus terus berjalan, dengan dasar pemikiran bahwa pariwisata telah memberi sumbangan yang besar bagi kehidupan sekian pekerja seni dan pelaku kebudayaan.  Bersama dengan itu, hendaknya seniman dan budayawan terus bergerak dinamis tanpa harus diikat oleh permintaan pasar wisata, sehingga bukan saja eksistensi mereka tidak digadaikan tetapi jiwa dan semangat yang melatarbelakangi prilaku mereka terus mendapat energi pengeraknya.
Berkenaan dengan itu perlu dipertimbangkan beberapa hal sebagai berikut;
1.     Merencanakan pembangunan kepariwisataan secara tepat. ‘Apa bila direncanakan dan dikembangkan dengan tepat, pariwisata dapat memberi keuntungan baik bagi wisatawan maupun masyarakat lokal yang bertundak sebagai tuan rumah’ (Mill dalam Adirozal 2001:185). Sebaliknya jika perencanaanyang dibuat tidak tepat, kita akan kehilangan nilai-nilai budaya yang esensial dalam kehidupan rakyat dan budaya bangsa (Boediarjo 1993).
2.     Mempersiapkan sikap mental masyarakat dalam memandang kepariwisataan. Masyarakat tidak melihat kegiatan kepariwisataan secara belebihan tetapi sesuatu hal yang wajar atau hal biasa saja. Dengan demikian tidak timbul persaan curiga, difensif, phobia yang berlebihan terhadap kepariwistaan. Sebaliknya melihatnya tidak pula melihat kegiatan kepariwistaan secara belebihan dengan penuh semangat, meniru gaya mereka, meletakkan wisatawan lebih tinggi dan masyarakat lokal lebih rendah. Juga tidak memandang kepariwisataan dari aspek ekonomi saja. Perlu diingat bahwa pembangunan Indonesia tidak bidang ekonomi saja melainkan juga kebudayaan.
3.     Membuat visi dan misi tentang kepariwisatan pada setiap daerah, misalnya konsep ‘clean torism’ di Sumatera Barat. Hal mana kegiatan pariwisata harus bersih dan terbebas dari maksiat. Pariwisata yang dapat menjung nilai budaya masyarakat lokal. Kemudian membuat perangkat hukum atau Perda tentang kepariwisataan satu daerah baik kemudahan berinvestasi, arah pengembangan kepariwisataannya, dan pengelolaannya.
4.     Mengembangkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) terutama pihak-pihak yang terkait langsung dengan kegiatan pariwisata; guide, restoran, hotel/home stay/villa/wisma, travel biro, toko cenderamata, dan utama birokrasi. SDM yang mengerti kegiatan pariwisata tidak hanya mampu ‘menjual’ budaya tetapi juga mampu memelihara budaya. Dengan SDM yang baik maka departemen dan dinas pariwisata akan diisi oleh manusia yang memahami posisi budaya dalam pariwisata.



F. Penutup
Kegiatan pariwisata tidak bisa dilepaskan dari budaya dan seni. Wisatawan yang datang ke suatu daerah salah satu tujuannya ialah untuk mengetahui budaya dareah atau masyarakat lokal. Artinya tanpa adanya spesipik budaya suatu daerah akan mengurangi minat wisatawan mengunjungi daerah tersebut. Sisi lain dengan banyaknya wisatawan mendatangi suatu daerah akan memberi dampak baik positif maupun negatif bagi budaya masyarakat setempat.
Dalam itu diperlukan kearifan berbagai komponen yang bergerak dalam kepariwisataan mensiasitinya. Komponen itu terdiri dari pemerintah, budayawan, seniman, dan pelaku wisata yang tidak sekedar pandai menjual budya tetapi pandai pula memelihara budaya.



Daftar Pustaka

Abdullah, Azhari 1997. “Peranan Seni dan Budaya Minangkabau Dalam Pembangunan Pariwisata” dalam Jurnal Palanta Seni Budaya, No 2 bulan September, ASKI Padangpanjang, hal. 16-30.
Adirozal, 2001. “Budaya Lokal dalam Konteks Budaya Global: Eksistensi Kesenian Tradisional dalam Industri Pariwisata” dalam Jurnal Eksperisi Seni, Vol 1 September, STSI Padangpanjang.
-------, 2000. ‘Usaha Gerabah Untuk Cenderamata Dalam Pariwisata Sumatera Barat: Kasus Usaha Gerabah di Andaleh Kab. 50 Kota” . Tesis S2 Kajian Budaya(Pariwisata) Universitas Udayana Bali. 
-------, 2003. “Pariwisata Sumatera Barat: Pariwisata Budaya dan Kerakyatan” dalam jurnal Antropologi Universitas Andalas. Padang: Univ. Andalas.
Bagus, I Gusti Ngurah  (ed.) 1997. “Menuju Terwujudnya Ilmu Pariwisata di Indonesia”. Denpasar : Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana.
------- (ed.) 1997. “Masalah Kebudayaan dan Pariwista Dalam Pembangunan”. Denpasar : Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana.
Boediardjo, 1993. ‘Pariwisata dan Kebudayaan di Indonesia: Pengaruh Kebudayaan Terhadap Kehidupan Budaya Bangsa’ dalam “Kongres Kebudayaan 1991: Kebudayaan Nasional: Kini dan di Masa Depan”. Jakarta: Dirjen Kebudayaan DEPDIKBUD.
Dahles, Heidi dan Karin Baras, 1999. Torism and small Entrepreneurs: Development, National Policy, and Entrepreneurial Culture: Indonesian Cases. New York, Sydney, Tokyo: Cognizant Comunication Corporation.
Dinas Pariwisata Sumatera Barat 1998. “Analisis Kunjungan Wisata Mancanegara ke Sumatera Barat Tahun 1997”. Padang.
Geriya, Wayan 1996. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional, Global: Bunga Rampai Antropologi Pariwisata. Denpasar: Upada Sasrta.
Holloway, J Chistoper 1994. The Businis of Tourism. London: Pitman Publishing.
Kadt, Emanuelde 1979. Tourism Pasport to Development? Published for The Word Bank Unesco Oxford University Press.
Mill, Robert Cjistic, 1990. Tourism the International Business. Singapore: Prentice Hall Internatonal, Inc.
Pitana, I Gde 1999. “Internasionalisasi dan Tradisonalisasi: Pariwisata dan Dinamika Sosial Budaya Masyarakat Bali”. Materi Matrikulasi S2 Kajian Budaya Universitas Udayana, Bali, 1999/2000.
------- 2000. “Pariwisata Kerakyatan dan Pariwisata Pedesaan dalam Pariwisata Bali”. Denpasar: Univ. Udayana.
Smith, Valene L. (ed) 1989. Host and Guests, The Anthropology of Tourism. Philadelpia: University of pennsylvania.
Spillane, James J. 1999. Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan Prospeknya. Yogyakarta: Kanisius.
------- 2000. Pariwisata Indonesia, Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino.
Yoeti. H. Oka A. 1994. Komersialisasi Seni Budaya dalam Pariwisata. Bandung : Angkasa.

1 komentar:

  1. Terima Kasih atas kajian dan ulasannya, sangat bermanfaat buat jadi referensi kebijakan pemerintah lokal dan bekal buat masyarakat

    BalasHapus