Senin, 25 Juni 2012

Aliran Filsafat : POSITIVISME, DEMOKRATISME, DAN MOHISMEISME


 Adirozal

I.                ALIRAN POSITIVISME

A.         Tokoh Aliran Positivisme
1.     August  Comte (1798-1857) seorang tokoh filsapat yang membri pengaruh banyak dalam aliran positivisme, ia dilahirkan di Montpelleir anak seorang pegawai negeri yang beragama Katolik. Cara pandangnya dalam filsapat menitik beratkan pada perkembangan pikiran manusia.
2.   John Stuart Mill (1806-1873) berkebangsaan Inggeris yang menitik beratkan pemikiran filsapatnya pada psikologi dan etika. Ia juga dikenal dan penting dalam peletakan pondasi ekonomi dan sosiologi nasional Inggeris.
3.   Herbert Spencer (1820-1903) dilahirkan di Derby pengikut Comte yang lebih berpengaruh dari Mill dan termasuk  filusuf yang terkenal pada abad ke 19 dengan bukunya A System of Synthetic Philosophy. Bukunya yang sukses besar ini diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Selain itu tiga tokoh di atas ada beberapa orang tokoh yang mendasarkan pikirannya pada aliran filsapat possitivisme seperti H.Taine (1828-1893) dalam bidang sejarah, politik,dan sastra yang berdasarkan positivisme. Kemudian Emille Durkheim (1858-1917) pada bidang sosiologi yang juga berdasarkan positivisme.

B.              Tempat Berkembang
Aliran positivisme berkembang di Eropa terutama di Perancis yang dimulai oleh Comte kemudian juga berkembang di Inggeris.

C.         Pandangan Aliran Positivsime
Positivisme diturunkan dari asal kata ‘positif’ timbul pada abad ke 19. Aliran ini berpangkal dari hal-hal yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Sesuatu yang di luar kenyataan ditolak. Bahkan menurut Spencer keterangan tentang dunia yang bersifat religius dan metefisika kedua-duanya secara batiniah saling bertentangan untuk itu dalam aliran positivisme hal yang demikian sebaiknya dikesampingkan saja dan sebaiknya pula manusia menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang mungkin atau hal yang nyata. Cukup mengetahui penampakan-penampakan atau gejala-gejala yang telah dikenal atau yang disajikan.
Sesuatu hal yang tampak merupakan gejala-gejala saja. Apa yang diketahui sebagai fakta diterima apa adanya kemudian diatur menurut hukum tertentu, akhirnya dengan berpangkal kepada hukum-hukum yang telah ditemukan kita mencoba melihat ke masa depan, pada yang akan tampak sebagai gejala dan menyesuaikan diri dengannya. Sehingga ilmu pengetahuan itu ialah mengetahui untuk melihat ke masa depan.
Aliran  yang dimulai oleh Comte ini menitik beratkan perbaikan manusia dimulai dari budi dan jiwa (pemikiran). Di mana perkembangannya melalui tiga tahap yakni;
1). Masa atau zaman teologis di mana orang mengarahkan pada hakekat “batiniah” yaitu pengembalian sesutu pemikiran pada “sebab pertama” dan “tujuan akhir”. Dalam perkembangan teologis dikelompokkan pada; a) tahap primitif yakni ketika orang menganggap benda berjiwa (animisme), b). tahap hidup berkelompok-kelompok yang mempunyai dewa-dewa sendiri (politesme), dan c). tahap dimana orang mengganti dewa dengan sesuatu yang lebih tinggi (monoteisme).
2).  Zaman metafisika merupakan penggantian saja dari masa sebelumnya dimana dewa-dewa atau kekuatan adikodrati digantikan dengan kekuatan yang abstrak, dengan pengertian-pengertian, atau dengan pengada-pengada yang lahiriah yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut alam yang dipandang sebagai asal segala penampakan.
3). Zaman positif adalah ketika orang tahu bahwa tiada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun pengenalan metafisis. Pelacakan terhadap asal dan hakekat sejati tidak perlu, masa ini orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta dengan pengamatan dan mempergunakan akal. Fakta-fakta khusus dihubungkan dengan fakta umum.
Tentang ilmu pengetahuan Comte menyatakan bahwa pengaturan ilmu pengetahuan harus disesuaikan dengan pembagian kawasan gejala-gejala atau penampakan-penampakan yang dipelajari ilmu itu. Gejala itu sendiri ada yang anorganis yang mempelajari gejala umum dari jagad raya (astronomi dan fisika serta kimia), sedangkan gejala organis proses yang berlangsung pada  individu ( biologi dan sosiologi).  Ilmu pasti bagi Comte merupakan dasar filsafat, sedangkan psikologi tidak diberi tempat dengan dasar manusia tidak dapat menyelidiki dirinya sendiri.
Agak berbeda dengan John Stuar Mill yang memberikan dasar psikologis dan logis kepada positivisme. Psikologi ilmu pengetahuan dasar yang menjadi asas bagi filsafat. Tugas psikologi menyelidiki apa yang disajikan oleh kesadaran (indera), sedangkan logika untuk membedakannya.  Dalam pandangan Mill ilmu pengetahuan alam termasuk  sejarah sedangkan psikologi, etologi (kesusilaan), dan sosiologi termasuk pengetahuan rohani.
Dalam ilmu kesusilaan terdapat hubungan timbal balikantara individu dengan masyarakat  yang berpangkal pada pertimbangan psikologis. Sehingga bahwa yang ingin dicapai manusia bukan bendanya melainkan yang ditimbulkan oleh bendanya.
Harbert Spencer tokoh yang memberi pengaruh cukup besar dalam aliran filsapat positivisme ini menyatakan bahwa tugas filsapat adalah menyempurnakan gejala-gejala. Asas dinamis adalah hukum perkembangan (evolusi) dimana  perkembangana itu adalah suatu pengintegrasian dari benda.

  1. Pendapat Penulis
Penulis berpendapat bahwa aliran positivisme terlalu mengedepankan sesuatu yang tampak atau gejala saja dengan mengesampingkan yang tidak tampak (metafisika). Hal ini tentu tidak lepas dari perkembangan dan kehidupan masyarakat Eropa pada waktu itu. Perkembangan filsapat Barat terutama pada abad pertengahan yang menitik beratkan pada logika.
Salah satu cara untuk mendapatkan ilmu memang dengn penyelidikan terhadap sesuatu yang logis. Artinya untuk proses keilmuan maka aliran ini dapat diterima, akan tetapi pemikiran seperti ini tentu tidak dapat dibenarkan bagi manusia yang menyakini adanya kekuasaan Ilahi dan tidak sependapat dengan masayarakat Timur (Indonesia) yang perkembangan filsapatnya bertitik tolak pada religius. Secara umum kita masyarakat timur meyakini adanya ada tuhan, ada malaikat,  dan  kehidupan akhirat yang kesemuanya itu bersipat metafisika.
Sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an dalam berbagai ayat dan surat diantaranya;
allazina yu’minuna bil-gaibi (orang-orang yang percaya pada yang gaib/tidak tampak), (Al Baqarah: 3).  
Bila dikaitkan dengan pendidikan maka salah satu tujuan pendidikan bangsa Indonesia yaitu membentuk manusia seutuhnya, dan yang dimaksud dengan manusia yang utuh adalah tidak hanya cerdas dari segi kognitif saja melainkan juga cerdas secara emosi dan cerdas spiritual. Manusia yang diharapkan dalam system pendidikan Indonesia ialah yang mampu berolah pikir, berolah raga, dan berolah rasa. Maka dalam mengolah rasa adalah membangun kejiwaan yang didalamnya termasuk mengajarkan keyakinan akan adanya kekuasaan yang tidak tampak (Allah SWT) sebagaimana diajarkan;
Qulhuwallahu ahad. Allahus-samad (Katakan “Dialah yang Maha Esa. Allah tuhan tempat Memnta” ), (Al-Ikhlas: 1-2).
Dengan demikian dalam pendidikan di Indonesia maka secara keseluruhan cara pandang aliran positivisme tidak dapat diterima. Oleh karena aliran ini tidak mengakui adanya sesuatu yang tidak tampak atau yang gaib. Untuk itu kita dapat menggunakan prinsip kaizen yakni ambil yang baiknya dan buang yang jelek/buruk.

II. ALIRAN DEMOKTARISME
  1. Tokoh Aliran Demokratisme
Plato
Aristotiles
Pinoza
Jurgen Habermas
      Jean Jaques Rauseau

  1. Tempat Berkembang
Secara garis besar perkembangan demokrasi pada awalnya tumbuh di wilayah Yunani, terutama pada periode Yunani Kuno. Kemudian perkembangan selanjutnya terutama pada era Modern, di Amsterdam ( Spinoza ).
Demokratisme lebih jauh dikembangkan oleh para filsuf-filsuf modern yang melihat manusia sebagai pemain, aktor, tidak  sebagai wayang yang dalam kehidupannya selalu di atur oleh norma-norma agama, seperti yang terjadi pada abad pertengahan. Jurgen Habermas, sebagai tokoh kritis dari Mazhab Frankfurt di Jerman. Kemudian Jean-Jacques Rousseau sebagai tokoh gerakan Romantisme di Prancis.
Jadi secara garis besar, berangkat dari uraian-uraian terdahulu dapat dikatakan bahwa secara geografis perkembangan demokrasi pertama sekali lahir di Yunani kemudian mulai berkembang, terutama pada era modern, ke wilayah Amsterdam, Jerman, dan Prancis. Bahkan di era kontemporer, demokrasi mulai dimodifikasi sedemikian rupa sehingga demokrasi dibangun di atas sebuah demokrasi perwakilan, yang kekuasaan berasal dari rakyat. Hal yang demikian itu dicoba tumbuh kembangkan oleh filsuf-filsuf Amerika.
Berkenaan dengan pendidikan, pada gilirannya pemikiran tentang demokrasi ini melihat bahwa pendidikan tidak dilaksanakan secara otoritatif, dengan disiplin ketat dan nyaris mekanis, serta menuntut kepatuhan luar biasa dari siswa. Tujuan pendidikan yang sedemikian rupa pada akhirnya berupaya untuk menyeragamkan tingkah laku dan informasi. Model pendidikan yang demikian itulah yang ditentang oleh Rousseau, karena pendidikan yang demikian itu pada akhirnya menyalahi prinsip-prinsip yang dianut oleh demokrasi, yaitu pengakuan terhadap perbedaan dan kebebasan yang bertanggung jawab.

  1. Pandangan Aliran Demokratisme
Demokrasi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos (rakyat) dan kratein (memerintah), jadi secara sederhana demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat. Istilah demokrasi semula dalam pemikiran Yunani berarti bentuk politik di mana rakyat sendiri memiliki dan menjalankan seluruh kekuasaan politik. Kondisi yang sedemikian rupa merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap sistem pemerintahan oleh satu orang (monarki) atau bentuk-bentuk pemerintahan seperti tirani dan oligarki.
Dasar pemikiran modern tentang demokrasi ialah politis-filosofis tentang kedaulatan rakyat. Dengan demikian, demokrasi berarti semua kekuasaan politik dikembalikan pada rakyat itu sendiri sebagai subjek asali otoritas ini.
Plato memandang demokrasi dekat dengan tirani, dan cenderung menuju tirani. Lebih jauh Plato juga berpendapat bahwa demokrasi merupakan hal yang terburuk dari semua pemerintahan yang berdasarkan hukum dan yang terbaik dari semua pemerintahan yang tidak perah mengenal hukum.
Aristoteles melihat demokrasi sebagai bentuk kemunduran politeia, dan yang paling dapat ditolelir dari kedua bentuk pemerintahan yang merosot, yaitu tirani dan oligarki.
Spinoza menganggap demokrasi lebih baik daripada monarki. Hal ini disebabkan karena kemerdekaan bagi warga negara mesti ada jaminannya, sementara demokrasi lebih pas dengan kemerdekaan yang seperti itu.
Jean-Jacques Rousseau menyatakan bahwa negara yang baik adalah negara yang mencerminkan kedaulatan rakyat. Artinya, di negara itu hukum tak kurang mencerminkan kehendak rakyat. Dalam negara kedaulatan rakyat, individu dapat mempertahankan kebebasannya, sebab dia adalah sumber kedaulatan dan dengan menyesuaikan diri dengan kehendak umum kepentingan realnya terpenuhi. Sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan bahwa dalam hal ini kedaulatan rakyat adalah mutlak.
Jurgen Habermas menafsirkan demokrasi sebagai suatu gagasan mengenai politik, yang pada tarafnya yang paling minimal dan antropologis, secara sederhana bisa dimaknai sebagai suatu proses intersubjektivitas non-kekerasan yang berkelanjutan, di mana kata-kata, atau lebih tepatnya kalimat-kalimat atau tindakan bertutur, adalah suatu bentuk hubungan sosial yang lebih bernilai dari pada ritual-ritual ataupun senjata. Pemikirannya yang demikian ini sering disebut dengan cakrawala utopian yang merupakan suatu kebebasan.

  1. Pendapat Penulis
Melihat sejarah perkembangan filsafat Barat, agaknya dapat dikatakan bahwa diterimanya pemikiran demokratisme ini adalah sebagai respon positif dari munculnya era modern, di mana Renaisans, Aufklaerung, dan Humanisme sebagai anak-anak kandungnya. Era modern merupakan suatu zaman di mana manusia mulai merdeka dari kungkungan “gereja’, manusia sudah mulai  memegang peranan dalam menentukan sendiri nasibnya.
Namun demikian kekhawatiran-kekhawatiran yang disampaikan oleh Plato dan Aristoteles agaknya perlu dipertimbangkan. Plato melihat demokratisme dekat dengan tirani, dan cenderung menuju tirani, sementara Aristoteles melihat demokrasi sebagai bentuk kemunduran politeia, dan yang paling dapat ditolelir dari kedua bentuk pemerintahan yang merosot, yaitu tirani dan oligarki. Kondisi demikian dapat terjadi ketika suara minoritas ditindas oleh suara mayoritas. Karena pada dasarnya demokratisme sangat menghargai suara mayoritas daripada suara minoritas. Karena dalam kondisi real, apa yang disuarakan oleh mayoritas, atau apa yang terjadi dalam tataran keumuman, belum tentu merupakan yang terbaik bagi masyarakat tersebut. Apalagi demokrasi yang penentuan pendapat terlalu cepat diambil melalui voting, dalam hal ini sebaiknya ditempuh dengan jalur musyawarah.
Demokratisme yang pada awal perkembangannya adalah merupakan suatu pemikiran yang berkaitan dengan politik, namun pada perkembangan selanjutnya demokratisme mulai merambah ke dunia pendidikan. Hal ini dapat dilihat dengan mulai diperhatikannya aspek-aspek pluralitas, homogenitas individu, dan kebebasan sehingga sulit untuk dapat di seragamkannya suatu pendidikan. 
Sehingga di era demokratis ini, pendidikan hendaklah mulai melihat kebutuhan-kebutuhan masing-masing individu, dalam artian pendidikan tidaklah dapat disamaratakan, diseragamkan, mulai dari pusat sampai di daerah. Sehingga pendidikan tidak lagi memperhatikan perbedaan kebutuhan, perbedaan kepentingan, perbedaan kompetensi di masing-masing wilayah.
Demokratisme, berkaitan dengan pendidikan, menuntut adanya upaya melihat perbedaan kebutuhan dan kepentingan masing-masing individu, lebih luasnya wilayah, sehingga apa yang dikhawatirkan Rousseau bahwa pendidikan dilaksanakan secara otoritatif, dengan disiplin ketat dan nyaris mekanis, serta menuntut kepatuhan luar biasa dari siswa tidak terjadi. Agaknya inilah yang menjadi tujuan dari demokratisasi pendidikan yang berujung kepada otonomi pendidikan.


III. MOHISMEISME
  1. Tokoh Mohisme
Salahsatu aliran filsafat yang bersal dari Cina ini adalah Mo-Tzu yang hidup pada tahun 479 – 381 S.M

  1. Tempat Berkembang
Aliran filsafat ini lahir dan berkembang di Cina (Tiongkok)

  1. Pandangan Mohisme
Aliran Mohisme ini merupakan suatu paham baru(modern) pada waktu itu, suatu paham yang mencoba melihat sesuatu agak lebih rasional. Mo-Tzu bertentengan dengan Confucuianisme yang mengagungkan lembaga-lembaga tardisional, adat-istiadat,  musik serta kepustakaan tradisional yang berasal dari dinasti Chou, dan berusaha untuk merasionalisasikan serta memberi alasan-alasan pembenaran bagi hal-hal tersebut dan hubungannya dengan kesusilaan.
Mo-Tzu justru mempertanyakan hal tersebut, apa keabsahan dan faedahnya. Ia berusaha menggantikannya dengan hal yang lebih sederhana dan jauh lebih berfaedah. Menurut Mo-Tzu ada empat hal prinsip-prinsip Confucius yang dapat merusak dunia yakni;
1.     Para penganut Cunfucianisme tidak percaya akan adanya Tuhan atau arwah, sehingga “Tuhan dan para arwah kecewa”,
2.     Pemakaman yang dianggap penting oleh  Cunfucianisme dan masa berkabung selama tiga tahun atas kematian orang tua merupakan pemborosan dana dan tenaga,
3.     Cunfucianisme memandang permainan musik  juga pemborosan biaya,
4.     Cunfucianisme percaya dengan nasib yang telah ditentukan sebelumnya yang menyebabkan orang malas bekerja dan pasrah akan nasib.
            Mo-Tzu memiliki konsep kasih semesta yang dalam hal ini ia tidak menyerang gagasan Cunfucianisme tentang jen (perikemanusiaan) dan yi (perikeadilan), baginya jen dan yi menunjukkan kasih semesta. Dengan demikian manusia jen dan manusia yi adalah orang yang mengamalkan kasih semesta. “Bagi siapa yang mengasihi orang lain tentu ia akan dikasihi orang lain”. Hal ini mengandung makna ‘mengasihi orang lain adalah semacam jaminan atau penanaman modal secara pribadi’.
            Terkait dengan Tuhan maka menurut aliran Mohisme percaya bahwa Tuhan mengasihi umat manusia dan Tuhan berkeinginan bahwa manusia hendaknya mengasihi yang satu dengan yang lainnya. Sementara arwah kedudukannya lebih rendah dari pada tuhan. Akan tetapi arwah juga menghukum manusia yang tidak mengamalkan kasih semesta dan memberi ganjaran bagi yang mengamalkannya.
            Pandangan Mohisme dalam bernegara adalah menyatukan ukuran, merupakan tugas Negara untuk menetapkan ukuran. Dalam negara hanya boleh ada satu ukuran tidak diizinkan adanya ukuran lain, jika ada ukuran yang lain maka rakyat akan cepat kembali kepada “keadaan alam” yaitu kekacauan.

  1. Pendapat Penulis
Dalam hal mengamalkan mengasihi sesama manusia maka penulis sependapat dengan dengan aliran ini, dimana kita harus berupaya terus mengasihi orang lain tanpa harus membedakan, sekalipun orang lain pernah berbuat tidak baik dengan kita. Pandangan orang beragama (Islam) maka mengasihi adalah upaya mengimplementasi sifat-sifat Allah SWT (rahman-rahim).
Sementara segala sesutu yang diukur menurut keabsahan dan faedahnya maka penulis kurang sependapat, sebab ada beberapa hal yang tidak absah tapi berpaedah dan sebaliknya. Maka dalam hal ini ada benarnya seperti yang dinyatakan dalam pepatah “ Yang jelek jangan cepat dibuang mana tahu itu menjadi obat”. Dan dalam hadist Rasulullah dinyatakan “janganlah kamu melihat siapa yang memberikan nasehat tapi lihatlah isi nasehatnya”.
Konsep kasih semesta dalam pendidikan harus dikembangkan dimana seorang guru harus mampu memandang sama peserta didiknya dan memberikan rasa kasih pada mereka. Seorang pendidik tidak boleh membedakan anak didiknya karena mereka kekurangan atau cacat fisik, atau karena berlainan susku, berlainan agama. Cara pandang seorang pendidik harus menyeluruh, harus memberikan kasih dan saying yang sama pada peserta didik.



DAFTAR KEPUSTAKAAN


Al Qu’an dan Terjemahannya (2001). Yogyakarta: UII Press.
Arbi, ZAnti. S (1988). “Pengantar Kepada Filsafat Pendidikan”. Jakarta: DIKTI  DEPDIKBUD , Proyek Pengembangan LPTK.

Barnadib, Imam, (1990). Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Andi Offset.
Hadiwijono, Harun (2000). Sari Sejarah Filsafat Barat 1, 2. Yogyakarta: Kanisius.

Mc Clellan, James E (1976) Fhilosophy of Education,  New Jersey, Prentice-Hall.Inc.

Poedjawijatna (1980). Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Pustaka Sarjana, PT Pembangunan.

Noor S, Muhammad (1986)  Filsata Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional.

O”Connor. D.J ((1957)  An Introduction The Philosophy Of Education, London: Roudledge and Kegan Paul. Ltd.

O’Nell, Willian F. (1981). Educational Ideologies: Contemporary Expressions Of Educational Philosophies. (Alih Bahasa; Omi Intan Naomi). Santa Monica: Goodyear Publishing Company. Inc.

Praja, Juhaya S. (2003). Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Peranada Media.

Redig, I Ketut (2000). “Filsafat Timur: India dan Cina”. Denpasar: Univ. Udayana.

Tafsir, Ahmad. (2005). Filsapat Umum: Akal dan Hati Sejak Tales sampai Capra, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Verhaak, C. dan  R. Imam Haryono. (1989). Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT. Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar