Teori Dasar Penelitian Kwalitatif
Oleh: DR. Adirozal, M.Si.
TEORI-TEORI KRITIS
Teori kritis muncul di kalangan
ilmuwan sosial di frankfurt (Jerman), merupakan kritik terhadap perkembangan
masyarakat dengan maksud membebaskan manusia dari belenggu budaya teknokrat
modern (Magni-Suseno, 1992:160)
Berawal dari ketidakpuasan, Jurgen
Habermas dkk, melahirkan teori kritis sebagai alternatif dari hegemoni
kapitalisme dan positivisme, agenda kerja dari teori sosial alternative ini
adalah menggugat dominasi epistemology positivistic dan ingin membuka ruang
akademik bagi pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu social lainnya untuk saling tukar
konsepsi dan teori. Harapannya, bisa membka ruang berpikir (think space) yang sama bagi
ilmuwan-ilmuwan sosial dengan berbagai pendekatan yang berbeda untuk memajukan
ilmu-ilmu taraf kritisisme.
Teori kritis muncul dikalangan ilmuwan
sosial di Frankfurt (jerman), merupakan kritik terhadap perkembangan masyarakat
dengan maksud membebaskan manusia dari belenggu budaya teknokrat modern
(Magnis-Suseno, 1992:160).
Teori kritis tidak hanya bersifat
kontemplatif, melainnya juga bermaksud mengubah, membebaskan manusia dari
belenggu yang dibuat sendiri, ingin mengembalikan kemerdekaan dan masa depan
manusia.
Teori kritis pada dasarnya merupakan
usaha pencerahan (Magnis-Suseno, 1992:160), yakni bermaksud menciptakan
kesadaran kritis terhadap “kemajuan-kemajuan” kehidupan manusia. Teori kritis
hendak menyingkap kemajuan semu yang berkembang, misalnya : rasionalisasi dari
akal budi obyektif ke akal budi instrumentalis menghasilkan irasionalitas
karena akal budi kehilangan otonomi dan menjadi alat belaka (Sindhunata,
1982:121).
Mungkin teori kritis mampu membebaskan
ilmu-ilmu sosial dari ancaman kemacetana :
- Pelurusan terhadap teori-teori kritis yang selama ini disalah mengerti dan memang sengaja dibiaskan oleh kelompok kelas tertentu demi kepentingan komunitasnya.
- Pengangkatan kembali pemikiran tokoh-tokoh yang selama ini dinilai sebagai pencetus teori kritis seperti Paulo Freire, Gramsci, Kadafi, dan Foucault yang dianggap sebagai bapak post-modernisme. Ketiga, kritik terhadap kebangkitan hegemoni kolonialisme modern dalam wujudnya neo-liberalisme melalui gerakan globalisasi yang tengah tren saat sekarang ini.
FfØr
Mazhab Frankfurt
dan Teori Kritis
Kekuatan Nazisme di Jerman, dan
kemudian timbulnya perang ideologi antara Barat dan Timur (Kapitalisme dan
Sosialisme), berdampak buruk bagi kalangan cendikiawan yang konsen dalam kajian
sosial khususnya. Cendikiawan, dengan pemikiran kirinya harus menerima keterasingan,
bahkan diasingkan jauh dari negaranya. Kenyataan pahit ini diterima oleh
cendikiawan pada kelompok kajian yang tergabung dalam institut FfOr Sozialforschung
(institut Penelitian Sosial), di Frankfurt. Namun ditengah pengasingan, para
cendikiawan Institut itu tetap melakukan proses penelitiannya hingga mereka
bersatu kembali pada 1950, setelah beberapa tahun pindah ke Amerika.
Mereka gelisah, mereka cemas dan oleh
karena itu merasa harus bertindak dengan cara mereka sendiri demi
mempertanggungjawabkan karunia kecerdasan dan hati nurani yang mereka miliki.
Hingga akhirnya karya-karya mereka, baik yang berbentuk buku maupun makalah,
menjadi kajian penting bagi cendikia diluar mereka.
Latar belakang inilah yang menyatukan
mereka ke dalam sebuah visi dan misi sekaligus aksi yang kemudian mengkristal
menjadi sebuah mazhab, yakni Mazhab Frankfurt.
Satu alasan utama bagi relevansi
Mazhab Frankfurt adalah sangat kaya dan bervariasinya karya yang dibuat
berdasarkan pengaruh tokohnya, semisal Max Horkheimer, Eric Fromm, Theodor Wadorno
dan lainnya yang sangat terkenal akan kebrilianan pemikirannya.
Termasuk generasi penerus pemikiran
mereka, semisal Jurgen Habermas, Alfred Schmitt, dan Albrecht Wellmer. Bahkan,
seperti dikutip penulis, Foucaolt sendiri pernah mengatakan : “Jika saja aku
mengenal Mazhab Frankfurt sewaktu muda, besar kemungkinan aku tidak akan
tergoda untuk melakukan apapun dalam hidupku kecuali mengomentari mereka.
Namun, pengaruh mereka terhadapku tetap retrospektif, pengaruh mereka padaku
kerasakan ketika aku tidak lagi di usia “penemuan-penemuanb” intelektual.”
Sejarah Mazhab Frankfurt yang ditulis
oleh martin Jay ini mencoba memotret dinamika yang terjadi dalam Mazhab
Frankfurt, proses yang harus dilewatinya dalam melahirkan karya-karya brilian
yang hingga saat ini masih diperhitungkan dikencah kajian ilmu-ilmu sosial,
sampai perbentukan pemikiran dan kepentingan dengan pihak kawan maupun lawan.
Ketika Mazhab Frankfurt hadir,
kapitalisme Barat dengan Jerman sebagai salah satu wakil yang terkemuka telah
memasuki tahap yang secara kualitatif baru, sedangkan keberhasilan sosialisme
Uni soviet terkesan ambigu. Disinilah, menurut Martin Jay, Teori Krisis semakin
dipaksa menempati posisi transendan seiring dengan semakin pudarnya kelas
pekerja revolusioner.
Teori Krisis, sebagaimana namanya,
diekspresikan melalui serangkaian kritik terhadap pemikiran dan tradisi-tradisi
filsafat lain. Perkembangannya kemudian berlangsung melalui dialog.
Kelahirannya berkarakter dialektis sebagaimana metode yang ingin diterapkan
kepada fenomena sosial. Maka tak heran bila inti dari Teori Krisis, menurut
Martin Jay adalah kebencian terhadap sistem filosofis yang tertutup.
Teori Krisis tidak melihat dirinya
hanya sebagai ekspresi kesadaran sebagai satu kelas, melainkan menyatukan
dirinya dengan kekuatan ‘progresif’ yang berkeinginan untuk ‘menyatakan
kebenaran’. Ketika lahirnya Teori krisis, filsafat dialektika yang diterapkan
Hegelian dan Marxisme tak lain hanyalah merupakan imajinasi dialektika yang
diterapkan Hegelian dan Marxisme tak lain hanyalah merupakan imajinasi
dealiktis belaka. Oleh sebab itu, Teori Krisis menolak memberhalakan
pengetahuan sebagai sesuatu yang terpisah dan lebih penting dari pada tindakan.
Kebringasan
sosial yang terjadi beberapa tahun terakhir menjadi nota bukti, bahwa
masyarakat sedang dalam kondisi sakit. Ketidakbecusan ilmu dan ilmuwan sosial
dalam menterjemahkan dan memformulasikan persoalan memperparah keadaan. Padahal
pilihan akan masyarakat yang sehat nalarnya adalah jelas. Tulisan ini, dengan
bahasanya yang berapi-api tipically nya mahasiswa, mengajak untuk memiliki
sikap yang tegas terhadap ilmu dan ilmuwan sosial. Karena selama ini ilmu
sosial macet, tidak mampu berpesan sebagai penjaga masyarakat (the guardian of
society).
Pemikiran Juergen Habermas
Juergen
Habermas sebagai pembaharu teori krisis melakukan penelitian tentang hubungan
antara ilmu pengetahuan dengan kepentingan. Menurut teori krisis, dibalik
selubung obyektivitas ilmu-ilmu tersembunyi kepentingan-kepentingan kekuasaan
(magnis-Suseno, 1992:182). Menurut Habermas, ilmu pengetahan hanya muncul
karena berkaitan dengan kebutuhan manusia yang fundamental, dan hal ini
bertentangan dengan pandangan umum yang berlak bahwa ilmu-ilmu bebas dari
kepentingan 4 dan nilai (value free). Atas dasar itulah, Habermas membedakan
ilmu-ilmu menjadi tiga kelompok, yakni (1) ilmu-ilmu empiris-analitis, (2)
ilmu-ilmu historis – hermeneutis, dan (3) ilmu-ilmu tindakan (reflektif-krisis)
(ibid.183). Ilmu-ilmu empiris-analisis (misal:ilmu alam) bertujuan pada
penguasaan alam dengan cara mencari hukum-hukum yang pasti sehingga manusia
dapat menyesuaikan diri dengan alam bahkan memanfaatkannya (ibid). Ilmu-ilmu
historis-hermeneutis bertujuan memahami lingkungan dalam interaksi dan bahasa,
yakni menangkap makna (ibid). Maksud dasarnya adalah usaha untuk meningkatkan
saling pengertian dengan tujuan tindakan bersama (ibid). Ilmu-ilmu tindakan,
merupakan penekanan dari habermas, bertujuan membantu manusia dalam bertindak
bersama dalam rangka pembebasan, dengan metode dasar reflektif atas sejarah
subyek manusiawi (ibid).
Menurut
Habermas, pekerjaan dan komunikasi (interaksi) merupakan tindakan dasar
manusia(magnis-Suseno, 1992:187). Bekerja adalah sikap manusia terhadap alam
dan komunikasi adalah sikap terhadap sesama manusia (ibid). Dalam pekerjaan, hubungan
manusia-alam tidak simetris, manusia mengerjakan alam sedangkan alam bersifat
pasif (ibid). Melalui pekerjaanlah manusia menguasai alam.
Dalam
komunikasi, manusia berhubungan dengan manusia lain secara simetris
timbal-balik, saling mengakui kebebasan masing-masing (ibid). Menurut Habermas,
pekerjaan dan komunikasi berjalan menurut aturan yang berbeda dan mempunyai
rasionalitas yang berbeda pula (ibid).
Pekerjaan merupakan tindakan yang
memuat rasional sasaran, maka merupakan tindakan instrumental. Sedangkan
komunikasi merupakan interaksi yang dilakukan secara simbolis menggunakan
bahasa dan norma-norma. Tujuan pekerjaan terletak di luar pekerjaan itu sendiri
sedangkan komunikasi bertujuan mengembangkan kpribadian orang. Pekerjaan
dilakukan dengan landasan aturan teknis, sedangkan interaksi didasari oleh
norma-norma yang hanya dapat dijamin keberlakuannya memlaui kesepakatan dan
pengakuan bersama. Dengan demikian, teori perkembangan masyarakat bukanlah
proses yang sederhana dalam dimensi keterampilan teknis, melainkan juga dalam
dimensi normatif-etis: disinllah koreksi terhadap teori Marx (Magnis-Suseno,
1992:188).
POST MODERNISME
Postmodernisme (pasca modernisme)
adalah gerakan kebudayaan yang menentang gerakan modernisme dan
filsafat-filsafatnya serta kecenderungannya ke arah keaneka-ragaman, kelimpahan
dan tumpang tindihnya berbagai citraan dan gaya yang satu sama lain tidak
saling berhubungan, sehingga menimbulkan fragmentasi, kontradiksi, pendangkalan
makna kebudayaan dan sebagai gambaran dari fenomena budaya dalam ruang lingkup
dan aspek yang lebih luas. (4) Postmodernisme sebagai suatu gerakan
intelektual/kultural yang kontroversial dan merupakan campuran dari keberagaman
aliran pemikiran, tradisi , dan masa lalu, yang didasari oleh keraguan akan
kemampuan modernisme dalam mewujudkan janji-janjinya yaitu masyarakat ilmiah
yang adil dan makmur berdasarkan sains telah menjadi suatu fenomena baru, yang
kemunculannya, ibarat sebuah ledakan yang mengagumkan sekaligus membuat bingung
dan cemas.
Beberapa kecenderungan dasar umum
postmodernisme yang bisa dianggap sebagai kerangka keranjang, misalnya :
- Kecenderungan menganggap segala klaim tentang “realitas” (diri subyek, sejarah, budaya, Tuhan, dsb) sebagai kontruksi semiotis, artifisial dan ideologis
- Skeptis terhadap segala bentuk keyakinan tentang “substansi” objektif (meski tidak selalu menentang konsep tentang universalitas)
- Realitas bisa ditangkap dan dikelola dengan banyak cara dan sistem (pluralisme)
- Paham tentang “sistem” sendiri dengan konotasi otonom dan tertutupnya cenderung dianggap kurang relevan, diganti dengan “jaringan “, “relasionalitas” ataupun “proses” yang senantiasa saling-silang dan bergerak dinamis
- cara pandang yang melihat segala sesuatu dan sudut oposisi binerpun (either-or) dianggap tak lagi memuaskan: segala unsur ikut saling menentukan dalam interaksi jaringan dan proses (maka istilah “postmodernisme” sendiri pun mesti dimengerti dalam interelasinya dengan “modernisme”, alih-alih melihatnya sebagai oposisi)
- melihat secara holistik berbagai kemampuan (faculties) lain selain rasionalitas, misalnya: emosi, imajinasi, intuisi, spiritualitas, dsb
- Menghargai segala hal”lain” (otherness), yang lebih luas, yang selama ini tidak dibahas atau bahkan dipinggirkan oleh wacana modern (mis. Kaum perempuan, tradisi-tradisi lokal, paranormal, agama, sehingga segala hal dan pengalaman yang selalu mengelak dan pola rumusan kita).
Akan
tetapi, keluasan memang berarti juga kekaburan. Inilah memang masalahnya:
kekaburan istilah”posmodern” sebagian besar adalah karena kekaburan
istilah”modern” itu sendiri. “modern” dalam arti mana yang dikritik
“posmodernisme” itu. Berbagai kekisruhan dalam menempatkan tokoh mana dijalur
mana berakar pada persoalan itu. Artinya, kendati posmodernisme bisa
dicanangkan prinsip-prinsip dasarnya yang sama, yang membuatnya bisa mencakup
demikian banyak aliran, toh selalu bisa juga dilihat perbedaan-perbedaannya
pada tingkat rincian-rincian. Dan sudut ini, Foucault bisa dilihat baik sebagai salah satu tokoh posmodern
sekaligus juga tokoh modern, tergantung dari perspektif mana kita melihatnya.
Stuart
Sim adalahseseorang yang sudah sering menulis dan membahas posmodernisme. Ia
telah menghasilkan satu buku tentang estetika postmodern, dua buah kamus yang
menyangkut posmodernitas (Sim 1995 dan 1999), sebuah buku panduan teori posmodernitas
(Sim 2001), dan biografi ahli posmodern terkenal, Jean-Francois Lyotard (Sim
1996). Dengan kata lain Sim seharusnya sudah memahami batasan-batasan metode
narasi dalam komunitas seperti yang selalu dikritik oleh teoris posmodern.
Salah
satu ciri kuat Postmodernisme adalah kecenderungan melakukan dekonstruksi
pemikiran. Kecenderungan membongkar kemapanan berpikir orang modern yang
dianggap benar karena rasional dan logis. Hal ini kemudian direnungkan lebih
jauh oleh Michael Foucoult dari sudut pandang kuasa. Menurutnya,
kemapananberpikir seperti ini harus didekonstruksi untuk mengeliminasikannya
dari unsur kuasa. Dalam hal ini ia mengaku sangat didukung oleh teori
Psikoanalisis Freud sangat terkenal itu.
Perkembangan Konsep Postmodern
Pada tahun 1930-an muncul romatisme
dalam seni sastra, dan realisme serta naturalisme dalam seni rupa. Pada
dasawarsa 1940-an muncul individualisme, eksistensialisme, dan humanisme
universal di kalangan karya sastra. Pada tahun 1950-an dan 1960-an faham
marxisme dan realisme sosial masuk di lingkungan karya sasra. Dilingkungan seni
rupa muncul ekspresionisme, surealisme, realismerne, dan abstraktisme.
Dilingkungan karya satra muncul sufisme, eskapisme, formalisme, strukturalisme,
adaisme, realisme ferninisme, dan freudianisme. Dan deskripsi di atas impak
indikasi bahwa aestetic discourses lebih berkembang individual, atau dalam
bahasa Mikel Dufrene karya sastra merupakan karya en-soi, atau malahan dalam
pemaknaan posmo dapat menjadi en-moi. Adapun scientific discourses sebagi karya
ilmiah merupakan karya pour-soi. Sebagaimana diketahui, karya ilmiah tampil
dalam era-era yang dapat diperiodisasikan: menjadi positivisme dalam berbagai
ragamnya, juga postpositivisme, dan postmodernisme.
Istilah postmodern dipakai pertama
kali oleh Frederico de Oniz pada tahun 1934 dalam konsep yang jauh berbeda
dengan konsep yang berkembang sekarang. Postmodernisme menurut d4e Oniz
hanyalah periode peralihan (dalam sastra) dan moderisme awal ke modemisme
dengan kualitas lebih tinggi.
Arnold Toynbee pada tahun 1947
menggunakan kata postmodern sebagai ciri peralihan politik dan pola pemikiran
negara nasional ke interaksi global.
Politik budaya
Bnineka Tunggal Ika atau Unity in Diversity menurut penilaian ini merupakan
konsep yang valid bagi postmodemisme, karena salah satu ciri utama
postmodernisme adalah pengakuan pluralisme budaya. Barulah pada tahun 1970-an
postmodernisme sebagai filsafat ditampilkan oleh Loytard dalam suatu seminar
antar ahli filsafat.
Holisme dan Postmodernisme
Holisme merupakan gebrakan terhadap hard science yang analitik dalam
ilmu-ilmu sosial. Konsep holisme pertama muncul dalam psikologi Gestalt dan
berlanjut sampai mazhab ketiga yaitu psikologi humaristik. Pada era sekarang
setelah muncul telah spiritualistik pada studi agama, dan berkembang pula studi
psikologi transpersonal dan psikologi transhuman. Salah satu promovendus
penulis berupaya membangun paradih psikologi trnspersonal.
Postmodernisme berkembang baik dalam
ilmu sosial maupun phisika. Salah satu yang menon, berupa timbulnya non
standart logics pada keduanya. Pemikir linier, terpola atau mengikuti konstruk
atau paradigma yang ada diragukan kemampuannya untuk menjawab berbagai masalah
yang berkembang sangat pesat. Sehingga diperlukan pemikiran yang sangat cerdas
kritis kreatif dengan mendekonstruk alur fikir mapan yang ada.
Dengan demikian holisme menjadi
gebrakan positivisme analistik, digantikan dengan holisme postpositivisme dan
dilanjutkan dengan postmodernisme yang mengkonstruk. Dan secara berkelanjutan
mendekonstruk, baik knowlage maupun being nya.
Postmodenisme tetap mengakui
rasionalitas, tetapi memberi kebebasan kepada manusia untuk menempuh jalan
krisis kreatif divergen dalam mencari kebenaran. Postmodernisme bukan hendak
membuktikan kebenaran, melainkan hendak mencari kebenarannya.
Rasionalitas pada era modern telah
dimaknai pada kepentingan kerja, dan direduksi menjadi efisiensi tas kriteria
untung rugi: dan direduksi lebih lanjut menjadi pragmatik. Sedangkan kebebasan
yang dicitakan oleh Kant dan Hegel berpadu dengan rasionalitas, lenyap dan
pemikiran modernisme. Habermas sebagai tokoh akhir modernisme kritis
evolusioner memakai rasionalitas atas tiga kepentingan, yaitu : kepentingan
kerja, kepentingan interaksi, dan kepentingan emansipatori. Dengan rasionalitas
dan Habermas terbuka peluang manusia untuk memiliki kebebasannya.
Dalam era postmodernisme kebebasan
tampil dalam wujud manusia selaku subyek pencari kebenaran. Manusia bukan obyek
yang dikendalikan oleh struktur dan sistem tertentu untuk mencari kebenaran. Itu
berarti bahwa model logika yang dikemukakan di atas tidak hendak digunakan
begitu saja, karena manusia akan menjadi obyek, bukan subyek lagi. Dalam
postmodern tugas manusia adalah mencari kebenaran, bukan membuktikan kebenaran.
Dekonstruksi merupakan gebrakan
postmodernisme terhadap pemikiran modernisme yang fungsionalis, struktural dan
paradigmatik. Postmodemisme mendekonstruk pemikiran fungsionalis yang terkesan
mempertahankan kemapanan kapitalis, mendekontruk atas strukturalisme makna
konvensional dan berupaya mencari makna baru, sehingga postmodern juga disebut
poststrukturalis dan postmodern mendekontruk paradigma yang ada, atas
kecurigaan kemampuan paradigma konvensional memecahkan masalah baru yang
muncul, sehingga postmodemisme juga disebut postparadigmatik.
Dalam berfikir konvensional, meskipun
juga modern, kiaster K menampilkan alternatif inspiratif untuk membangun
konstruksi teori yang solid integratif komprehensif. Gestalt, siapa yang
menyanggah? Integrasi, sinkrun dan harmoni serta koherensi, merupakan pola
fikir menyatu. Siapa yang menolak bila kita menampilkan pemikiran seperti itu?
Thermostatik didasarkan pada ide temperatur yang mengatur secara otomatis kapan
pendingin berfungsi dan kapan berhenti otomatis, dipakai sebagai inspirasi
untuk menampilkan teori perkembangan kemasyarakatan.
Hal yang unik adalah klaster L dalam
berfikir konvensional, meskipun juga termasuk modern, bila sesuatu konstruksi
teori itu terdapat kontradiksi intern, terdapat hal yang dilematik, terdapat
yang paradoksal ditandai orang sebagai bangunan teori yang lemah, yang tidak
valid. Tetapi dengan maraknya berfikir dekonstruksi, banyak ahli mutakhir
menampilkan bangunan teori yang paradoksal, yang momok kontradiksi intern. Unik
memang di lingkungan sastra telah cukup lama berkembang cara penyajian akhir
cerita tanpa liding dongeng, tanpa ending yang dibuat penulis cerita.
POST STRUKTURALISME
Kecenderungan
Post strukturalisme untuk mengkritik konsep tentang manusia sebagai subjek
rasional, konsep metafisis tentang pengetahuan, kebenaran, identitas dan
sejarah adalah salah satu landasan paling meyakinkan yang digunakan oleh Posmodernisme memang merupakan sumber yang subur bagi
argumen-argumen postmodernisme.
Gilles Deleuze
adalah salah seorang filosof kontemporer Prancis yang menulis dua jilid buku
tebal tentang tinjauan filsafat atas sinema, berjudul Movement-Image dan
Time-Image. Dalam buku tersebut Deleuze yang sering dianggap sebagai salah satu
eksponen poststrukturalisme, membahas sinema dengan membaginya ke dalam dua
kelompok. Pertama, sinema yang menghasilkan suatu imaji tentang waktu yang
disajikan dalam subordinate gerak. Di sini waktu yang diukur secara dinamis
sebagai sebuah proses aksi reaksi dalam ruang yang disambung secara berurutan.
Kedua, sinema yang menghancurkan kronologi. Di sini, waktu mengalami
fragmentasi sehingga masa lalu, masa kini dan masa depan tak dapat dikenali,
karena masa menjadi eternal present. Bagaimana pandangan Deleuze lebih jauh
tentang sinema? Diskusi ini menghadirkan Panji Wibowo, penikmat film dan
filsafat yang sudah cukup lama menggeluti buku Deleuze tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar