Oleh : Adirozal[1]
Umumnya seni dinyatakan sebagai eksperisi atau ungkapan perasaan seniman yang dilahirkan melalui medium tertentu. Seni tari, pantomime, yoga, senam, dan silat dilahirkan melalui media gerak, seni musik dan nyanyian melalui media suara, sastra melaui media kata, dan senirupa melalui media garis, warna, dan tekstur. Sebagai sarana ungkap maka seni telah ada semenjak manusia itu ada. Coretan yang ditemukan digoa-goa memperlihatkan adanya seni rupa. Ditenemukannya tembikar membuktikan adanya seni kerajinan. Tangis dan gerakan bayi yang menandakan adanya gejala seni musik dan seni tari.
Kebutuhan akan senipun dimiliki oleh seluruh manusia, apakah pejabat atau rakyat, anak-anak atau orang dewasa, laki-laki atau perempuan, orang dahulu, sekarang maupun akan datang. Hampir tidak ada manusia yang tidak membutuhkan seni. Perbedaannya terletak pada kadar seni seseorang. Kelompok yang tinggi rasa seninya tidak sekadar penikmat seni melainkan juga sebagai pelaku dan pencipta seni, sedangkan kelompok yang rasa seninya sedikit hanya sebatas penikmat atau penonton.
Orang yang hanya memainkan karya orang lain belum disebut sebagai seniman, mereka dikategorikan sebagai penyaji. Seniman adalah mereka yang mencipta atau memiliki ide. Mereka memiliki banyak inovasi dan kreatifitas. Ide-ide dan inovasi mereka tuangkan dalam karya dengan unsur-unsur seni yang mereka senangi. Tidak jarang seorang seniman memiliki bakat seni ganda, misalnya seniman tari sekaligus pemusik, penyair sekaligus pelukis, pemusik sekaligus pelukis dan penari. Contohnya Bagongkusudirjo yang seorang pelukis sekaligus serang koreografer tari. Montinggo Busye seorang sastrawan dan juga mempunyai banyak karya lukisan. Wisran Hadi seorang pelukis yang menghasilkan banyak karya sastra.
Dalam proses mencipta seorang seniman tidak hanya berhenti pada satu titik, ia berusaha terus menerus berkreatifitas, berkreasi, dan berinovasi. Dari hasil olahan itu terkadang melahirkan bentuk-bentuk yang baru, dan pada akhirnya timbulah style, aliran-aliran atau isme-isme. Sehingga dalam seni rupa ditemui naturalisme, realisme, pointilsme, kubisme, ekspresionisme, dadaisme, dan abstrak. Dalam karya tari muncul corak minimalism, dalam musik dijumpai jazz, rock, pop, dangdut, dan keroncong. Dan dalam sastra kita lihat ada prosa, puisi, roman, dan pantun.
Tetapi fenomena yang menarik terjadi pada akhir-akhir ini, seniman tidak berhenti berolah dan bermain dengan medium-medium seni tertentu saja. Ada upaya menggabungkan berbagai elemen seni dalam sebuah karya. Berbagai eksplorasi dan kolaborasi dilakukan seniman. Fenomenanya dalam seni rupa di Indonesia dimulai oleh kelompok ‘Senirupa Baru Indonesia” tahun 1978. Seniman tidak hanya menggunakan media seni rupa sebagai mana lazimnya. Berbagai elemen seni dari beberapa cabang seni ‘diobok-obok’ seniman dalam sebuah frame karya.
Bergabungnya berbagai unsur seni semakin nampak dalam karya-karya seniman akhir-akhir ini. Dalam seni rupa lahir bentuk karya-karya seni rupa pertunjukan dengan menampilakan bentuk seni rupa instalasi, seni rupa dengan gabungan pertunjukan musik, tari, dan enviromental- art. Di Bali akhir-akhir ini lahir corak karya seni rupa pertunjukkan dari tangan seniman seperti Made Wianta dan Nyoman Erawan. Seniman menggunakan media warna, bentuk, garis dalam sebuah pertunjukan di dalam kolam besar.
Fenomena serupa juga terjadi dalam seni tari. Sebuah tari tidak tampil hanya dengan menggunakan media gerak melainkan juga menggunakan kata-kata dan suara. Koreografer muda Boy Sakti anak Gusmiati Suid (Jakarta) telah banyak melahirkan tari dengan paduan puisi. Boy tidak hanya mengolah gerak sebagai media tarinya sebagaimana lazimnya koreografer lain. Ia menggabungkan dan memanfaatkan unsur-unsur satra dalam karyanya. Dalam musik kita jumpai karya-karya almarhum Hari Rusli yang memadukan elemen musik dengan gerak dan kata-kata. Hal yang sama juga terdapat dalam beberapa karya musikus Saung Jabo. Pada deretan penyair/dramawan kita lihat karya-karya Emha Ainun Najib atau lebih dikenal Cak Nun. Beberapa puisinya dinyanyikan dengan iringan musik ala Cak Nun. Begitu juga dalam karya-karya Kuntet yang memadukan unsur sastra dengan unsur musik.
Walaupun hal ini sebagai sebuah fenomena namun menarik untuk disimak. Nampak kecenderungan seniman untuk tidak terikat dengan media seni yang ada dalam wilayah seninya masing masing. Sehingga batasan seni dengan mengelompokkan berdasarkan elemennya selama ini semakin kabur. Dengan demikian juga sulit untuk menentukan apakah seniman itu seorang perupa, koreografer, musikus, atau sastrawan. Untuk hal ini hanya dapat dilihat dari elemen apa yang banyak digunakankan dalam karya tersebut.
Inilah sebuah fenomena dalam karya seni dan sastra, di mana seniman berusaha menggabungkan berbagai unsur dari berbagai seni. Menurut Made Wianta dalam satu kesempatan ‘bahwa sekarang tidak mungkin seorang seniman bersikukuh dengan ego seninya sendiri, harus ada silang media untuk mencapai mega karya nan prima’.
Akhirnya selamat berpameran. Semoga kedepan kita tidak dikukung oleh belenggu pikiran yang kita buat sendiri dan membuat kita berputar dalam pusaran serta pada akhirnya kita nyatakan kita yang paling benar padahal tak obahnya “katak dalam tempurung”.
Karya : Adirozal
[1] Dr. H. Adirozal, M.Si, Dosen Seni Murni / Direktur Pascasarjana ISI ISI Padangpanjang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar