Oleh : Adirozal
I. PENDAHULUAN
Prof.DR. Soepomo dalam pidatonya pada sidang PPK tanggal 30 Mei 1945 menyatakan bahwa sarat mutlak kemerdekaan satu bangsa adanya: wilayah, rakyat, dan pemerintah selain juga harus adanya pengakuan dari negara lain. Berkaitan dengan wilayah negara Indonesia maka menurut Undang-undang merupakan negara kepulauan yang dihubungkan oleh laut yang terdiri dari 17.504 pulau besar dan kecil. Kewilyahan Indonesia terdiri dari sekitar 65 % lautan dan 35 % daratan.
Wilayah kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke merupakan ruang hidup bagi bangsa Indonesia. Di wilayah inilah rakyat, bangsa, dan negara memperjuangkan taraf hidupnya menjadi lebih baik. Konsepsi ruang hidup yang dipakai bangsa Indonesia berbeda dengan berbagi teori Barat (Frederich Ritzel, Rudolph Kjellen, Sir Halford Mackinder Karl Haushofer, Nicholas J. Spykman) tentang geopilitik. Indonesia memilih sendiri tentang ruang hidup yakni pulau-pulau diantara dua samudra dan dua benua yang disebut dengan Tanah Air Indonesia. Berkaitan dengan ruang hidup maka menurut Ir. Soekarno bahwa setiap manusia tidak dapat dipisahkan dari tempat tinggalnya, atau rakyat tidak dapat dipisahkan dari bumu tempat mereka berpijak.
Indonesia merdeka yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 memiliki cita-cita dan tujuan yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945. Cita-cita nasional Indonesia diantaranya adalah berkemakmuran yakni mampu menyediakan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar yang layak bagi kemanusian untuk seluruh warganya. Sedangkan tujuan nasional diantaranya adalah memajukan kesejahteraan umum, yang berarti meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan memberikan ruang yang cukup bagi setiap komponen bangsa mengembangkan dirinya. Tujuan yang mulia itu menginginkan agar seluruh rakyat, bangsa dan negara Indonesia tidak ada yang miskin mengingat wilayah Indonesia begitu kaya dengan berbagai sumber alam hayati dan nonhayati.
Negara Indonesia yang luas memiliki berbagai sumber kekayaan alam dengan berbagai potensi yang terkandung didalamnya diyakini dapat mensejahterakan rakyat. Sumber kekayaan alam Indonesia, diantaranya berbagai macam flora, fauna, mineral, udara, air, dan tanah. Keindahan alam dan udara yang tropis menjadi pesona tersendiri bagi wisatawan untuk mengunjungi Indonesia. Kekayaan air laut dan tawar tempat hidupnya berbagai jenis ikan untuk pangan, dan air juga dapat dimanfaatkan untuk sumber energi listrik. Tanah yang subur tempat tumbuhnya berbagai macam tanaman, termasuk tanaman untuk pangan masyarakat Indonesia seperti padi, jagung, dan sagu.
Namun kekayaan alam dan berbagi potensi itu sampai sekarang belum mampu memakmurkan dan mensejahterakan rakyat Indonesia. Masih terdapat berbagai daerah yang miskin, belum merata pembangunan, dan belum merasakan diperlakukan secara adil dalam penguasan sumber ekonomi. Sebahagian masyarakat masih merasakan mahal dan sulitnya mendapatkan kebutuhan pangan. Sawah yang sebelumnya sebagai lahan tempat memproduksi padi/beras sekarang sebagian telah beralih fungsi. Kondisi ini dapat menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik yang akan menggangu rasa kebangsaan dan kesatuan bernegara.
II. PEMBAHASAN
A. Geopolitik dan Wawasan Nusantara
Geopolitik adalah suatu ilmu yang berkaitan hubungan antara manusia dan geografi. Geografi merupakan wadah kehidupan yang harus dipersiapkan dan diperjuangkan, baik sebagai ruang juang, alat juang maupun kondisi juang, baik untuk perseorangan, kelompok masyarakat, bangsa maupun negara, (Modul 03 Sub. Gepolitk Indonesia, Lemhannas 2012). Banyak pendapat tentang ruang hidup yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir Barat, namun bangsa Indonesia memilih sendiri pandangannya tentang ruang hidup.
Bagi bangsa Indonesia konsepsi ruang hidup berdasarkan Pancasila, bahwa manusia, negara, dan ruang hidup merupakan anugrah Tuhan yang patut disyukuri dan diterima. Kaitan mensyukuri alam dan segala isinya sebagai anugrah Tuhan adalah bahwa alam yang diciptakan dan disediakan Tuhan untuk dikelola dan dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan.
Konsep ruang hidup bagi bangsa Indonesia tidak mengandung unsur ekspansi dan kekerasan. Indonesia tidak memiliki konsep untuk mengembangkan wilayah ke negara lain dalam rangka memperluas ruang hidup. Sebaliknya dalam mempertahankan ruang hidup, keutuhan wilayah dan kemerdekaan merupakan hal utama. Maka dalam hal ini perang merupakan jalan terakhir untuk mempertahankan kedaulatan negara setelah upaya diplomasi tidak dicapai. Bangsa Indonesia cinta damai tetapi lebih mencintai kemerdekaannya, jika dihadapkan antara memilih antara damai dengan kemerdekaan.
Namun wilayah Indonesia yang begitu luas dengan berbagai suku, adat, bahasa, budaya serta kelompok-kelompok yang hiterogen sehingga membentuk individu yang berbeda. Luas wilayah dengan beribu pulau-pulau kecil menyulitkan keterjangkauan dan pemerataan pembangunan sampai daerah-daerah terpencil dan pulau-pulau terdepan. Kondisi ini memungkinkan timbulnya konflik, di tambah dengan adanya pengaruh budaya asing akibat dari perkembangan informasi dan teknologi.
Penguasaan lahan yang belum jelas dan tumpang tindih dalam pengelolaan juga menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Berbagai kasus yang terjadi di beberapa tempat seperti di Masuji Lampung, Nusa Tenggara Barat, Batanghari Jambi, dan Kalimantan merupakan contoh konflik penguasan lahan sebagai ruang hidup dan ruang juang masyarakat. Konflik-konflik tersebut bisa mengarah pada gangguan terhadap kelansungan pembangunan Indonesia, terutama dalam rangka mensejahterakan rakyat.
Berdasarkan kondisi tersebut diperlukan suatu cara pandangan yang baik dari semua unsur terhadap bangsa dan negara. Suatu wawasan sebagai cara pandang semua komponen bangsa terhadap diri dan lingkungannya dalam berbangsa dan bernegara yang disebut dengan wawasan nusantara. Cara pandang komponen bangsa berangkat dari nilai-nilai ketuhanan, kemanusian, kesatuan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Dalam Modul 03 Sub. Wasantara, Lemhannas 2012, dinyatakan bahwa wawasan Nasional Indonesia merupakan kritalisasi nilai-nilai kehidupan bersama, yang terbangun dalam konsep-konsep yang melatarbelakangi perikehidupan bangsa Indonesia. Cara pandang itu berdasarkan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.
Semua komponen bangsa memiliki arah yang sama untuk mencapai cita-cita yakni memajukan kesejahteraan umum dan memakmurkan rakyat. Cita-cita yang harus dibangun dalam kerangka kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia, artinya masing-masing komponen menjauhkan ego diri, kelompok, partai, dan sukunya dan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan lainnya.
Salah satu kesejahteraan rakyat yang harus diwujudkankan dan penuhi negara adalah tersedianya pangan kapan saja dan dapat diakses secara menyeluruh. Dalam hal memenuhi kebutuhan pangan rakyat diperlukan peningkatan produksi. Pangan utama rakyat adalah beras yang dapat hidup dan tumbuh di lahan persawahan Indonesia. Peningkatan produksi padi/beras dapat dilakukan dengan peningkatan teknologi, perluasan lahan sawah dan pengelolaan dan memaksimalkan atau merevitalisasi lahan sawah yang ada.
B. Alih Fungsi Lahan Sawah
Jumlah lahan pertanian Indonesia berdasarkan data yang dirilis Badan Litbang Kementrian Pertanian RI tahun 2010, lahan pertanian yang tersedia untuk dikembangkan seluas 475.766 ha. Sekitar 310.611 ha (65,3%) diarahkan untuk komoditas tanaman tahunan, 110.047 ha (18,9%) diperuntuk padi sawah, dan sisanya 11,6% untuk komoditas tanaman semusim. Memperhatikan data ini hanya sedikit lahan persawahan dibandingkan dengan lahan komoditas tanaman tahunan.
Lahan persawahan yang sedikit itu tidak senantiasa pula dapat dimaksimalkan oleh karena sebahagian sawah di Indonesia bersifat tadah hujan, artinya sangat tergantung dengan kondisi curah hujan. Sementara lahan sawah yang ada sebahagian telah pula beralih fungsi ke lahan nonpertanian. Menurut Sekretaris Ketahan Pangan Indonesia (28 Maret 2012) bahwa salah satu dari enam permasalahan pangan nasional yakni terjadinya konversi lahan pertanian yang tinggi dan tidak terkendali.
Untuk mengatasi agar tidak terjadi alih fungsi lahan sawah maka dalam perumusan kebijakan diperlukan mengimplementasikan geolpolitik dan wawasan nusantara. Agar semua komponen termasuk pimpinan daerah memiliki rasa tanggungjawab yang tinggi terhadap keberlangsungan pangan masyarakatnya yang secara akumulatif ketahan pangan nasional. Kewaspadan terhadap keutuhan dan kedaulan wilayahnya terutama yang diperuntukkan bagi lahan persawahan menjadi tanggungjawab pimpinan daerah dalam merumuskan kebijakan penggunaan lahan dan menyusunnya dalam tata ruang wilayah masing-masing. Sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Pertanian bahwa “jika alih funsi lahan pertanian jenis sawah terus dipindahkan ke lahan sawit, maka akan semakin menutup peluang dikembangkannya lahan pertanian tersebut. Karena itu diperlukan kebijakan pemerintah daerah setempat. Hal ini mesti dicegah bupatinya. Jangan sampai lahan pertanian terus berkurang”.
Memang telah ada aturan yang dibuat untuk mengendalikan agar tidak terjadi alih fungsi lahan sawah berupa Undang-undang RI nomor 41 tahun 2009. Akan tetapi dalam implementasinya masih saja semakin tinggi terjadi konversi lahan sawah. Tujuan diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan, melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani, meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat.
Alih fungsi lahan sawah ke nonpertanian berupa lahan perumahan, lahan perindustrian, dan lahan fasilitas umum lainnya. Pengalihan lahan sawah juga banyak ke lahan perkebunan terutama ke perkebunan sawit. Pengalihan lahan sawah ke kebun sawit dilakukan oleh masyarakat yang membandingkan keuntungan sawit lebih baik dari hasil produksi sawah. Selain itu pengalihan juga dilakukan oleh beberapa perusahan dan termasuk perusahaan asing.
Dalam era golobal ini tidak mungkin bangsa Indonesia mengisolasi diri dan memproteksi diri dari intenasionalisme perekonomian. Indonesia masih memerlukan investor baik dari alam negeri maupun dari luar negeri untuk membangun bidang ekonomi. Kewaspadaan yang diperlukan adalah jika lahan sawah banyak dialihkan ke lahan lainnya terutama oleh perusahan asing dikhawtirkan tingkat ketergantungan bangsa Indonesia ke pada asing sulit diatasi. Pada akhirnya kedaulatan bangsa dan negara tergadaikan sehingga integrasi bangsa terganggu.
Lahan sawah merupakan ruang hidup bagi setiap petani (rakyat) dalam memperjuangkan hidupnya. Menurut Sumijati Atmosudiro dalam Bambang Hendro Sunarminto (2010:5) tanah merupakan pusaka, sebagai sumber penghidupan petani, dengan hanya mengolah tanahlah petani bisa makan. Dengan demikian lahan sawah sebagai ruang hidup petani dalam memproduksi padi/beras sangat perlu dipertahankan, artinya tidak dialihfungsikan ke lahan nonpertanian.
Dengan banyaknya lahan sawah beralih fungsi ke lahan lain, otomatis produksi padi nasional menurun, akibatnya akan berimbas pada ketahan pangan nasional. Produksi padi Indonesia saat ini tidak mengalami peningkatan, di antara penyebabnya karena berkurangnya lahan sawah. Pencetahan persawahan lahan baru tidak sebanding dengan jumlah lahan yang telah beralih fungsi atau konversi.
Saat ini Indonesia menempuh kebijakan mengimpor beras dari Thailand dan Vietnam untuk menjaga stabilitas cadangan pangan. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, ada tujuh komoditas pangan pokok yang diimpor dan itu belum termasuk gandum, garam, gula dan produk hortikultura. Impor beras tahun 2010 mencapai 1,6 juta ton, jagung 2,8 juta ton dan kedelai lebih dari 1,2 juta ton. Nilai impor mencapai Rp 50 triliun dan angka ini terus mengalami peningkatan yang sangat signifikan seiring dengan semakin tingginya tingkat konsumsi masyarakat.
Melihat kondisi harga dan perdagangan beras dunia saat ini maka kebijakan mengimpor beras tidak menjadi problem serius. Namun pasar dunia yang cepat berubah dikhawatirkan bila kebutuhan beras Indonesia bergantung dengan impor. Padahal menurut Bustanul Arifin (2005:63) bahwa Indonesia secara teoritis sangat memungkinkan untuk swasembada beras karena sumberdaya alam dan kesuburan lahan, keanekaragaman genitika dan dukungan iklim tropis.
Sebagaimana diketahui lebih dari 90 % gabah/ padi tumbuh dan hidup di sawah, kemudian sisanya yang hidup di tanah kering atau ladang. Dari padi diolah menjadi beras dan kemudian menjadi bahan pangan sebagian besar penduduk Indonesia. Tumbuhan padi yang hidup di sawah memerlukan pengolahan yang mulai dari penyemaian sampai pada proses panen. Setelah panen prosesnya dilanjutkan di penggilingan padi (huler) sampai menjadi beras.
Lahan sawah yang sempit dan sedikit itu pada akhir-akhir ini semakin dipersempit oleh perumusan kebijakan lahan yang tidak jelas. Alih fungsi lahan sawah ke perkebunan sawit, karet telah terjadi di banyak tempat seperti di Langkat Sumatera Utara, di Rokan dan Kampar Riua, di Tebo dan Batang Hari Propinsi Jambi, dan Kabupaten Muba Sumatera Selatan di Kalimantan dan Sulawesi. Jika di beberapa kabupaten yang terjadi alih fungsi lahan sawah ke lahan perkebunan, di perkotaan alih fungsi lahan sawah untuk jalan, perkantoran, dan perumahan. Di samping itu juga lahan sawah terjadi alih fungsi untuk lapangan olah raga dan objek rekreasi.
Memang ada beberapa daerah yang mewaspadai dan merumus kebijakan untuk tidak melakukan konversi lahan sawah ke nonpertanian seperti Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Namun belum semua daerah membuat PERDA tentang perlindungan lahan pertanian/ sawah.
Kenyataan lain juga menunjukkan bahwa PERDA yang telah dibuat tidak berlaku efektif oleh karena sikap masyarakat dan oknum pengembang tidak memahami wasantara yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Pengalihan lahan sawah itu disebabkan sikap pragmatis dan materlialis masyarakat karena hasil tanaman tahunan seperti karet dan sawit lebih menjajikan/mahal dibandingkan dengan harga padi yang murah. Keengganan petani menanam padi juga disebabkan biaya produksi padi (pupuk dan obat-obat) mahal dan sering pula langka. Artinya tidak sebanding harga jual gabah dengan biaya produksi.
Akibat berkurangnya lahan persawahan dengan sendirinya produksi beras berkurang. Sementara pencetakan lahan persawahan baru hampir tidak ada, proyek sejuta lahan gambut yang dijadikan sawah di Kalimantan tidak berhasil sepenuhnya. Kondisi ini menjadi salah satu kemunduran produksi gabah/ padi nasional. Sebagaimana dinyatakan oleh Wakil Presiden Boediono yang dikutip web resmi Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Propinsi Riau dan Situs Riau online 18 Agustus 2010 menyatakan “Kemunduran sektor pertanian jenis tanaman sawah padi ini bukan hanya terjadi di Riau. Secara nasional, sejak tahun 2000-an sektor pertanian cenderung stagnan. Padahal dalam era tahun 70-an sektor pertanian inilah yang menjadi kekuatan pembangunan”.
Pernyataan Wakil Presiden Boediono perlu dicermati, bahwa terjadi kemunduran tanaman padi sawah secara nasional. Pada hal pada era 1980-an Indonesia pernah berswasembada beras dan menjadi contoh sukses (role model) bagi Dunia Ketiga. Memang dengan perubahan yang begitu cepat baik internal maupun eksternal menjadi sebuah pertanyaan tentang perlu atau tidaknya swasembada beras. Akan tetapi demi untuk ketahanan pangan bangsa Indonesia secara umum maka perlu diperhatikan kebijakan menghindarkan diri dari ketergantungan dengan beras impor. Bahkan diharapkan bangsa Indonesia tidak hanya sekedar mampu mewujudkan ketahan pangan melainkan bisa menuju kemandirian pangan oleh karena Indonesia memiliki lahan agribisnis dan maritim yang luas. Kemandirian pangan itu sendiri adalah kemampuan negara memproduksi pangan dalam negeri untuk mewujudkan ketahanan pangan dengan memanfaatkan sebesar-besarnya potensi sumberdaya alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal secara bermartabat (DR. Hermanto, M.S, 2012).
Oleh karena pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang diperlukan manusia sebagaimana teori Maslow yang dikenal dengan teori kebutuhan dasar, yakni; Sandang, pangan, dan papan. Maka tidak berlebihan dunia dan khususnya bangsa Indonesia memperhatikan pentingnya memperhatikan ketahan pangan. Banyak pemimpin bangsa jatuh karena terkait dengan ketidak mampuan mencukupi kebutuhan pangan masyarakatnya. Khusus bagi bangsa Indonesia beras menjadi bahan pokok utama pangan.
C. Revitalisasi Fungsi Lahan Sawah
Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa telah terjadi pengalihan lahan sawah ke nonpertanian dan juga perkebunan. Akibat pengalihan tersebut terjadi penurunan produksi beras/padi. Penurunan produksi padi yang mengakibatkan negara Indonesia mengimpor beras dari Thailand dan Vietnam. Menurut Dodik Setiawan Nur Heriyanto (2012) bahwa alih fungsi lahan pertanian merupakan ancaman terhadap pencapaian ketahanan dan keamanan pangan. Alih fungsi lahan mempunyai implikasi yang serius terhadap produksi pangan, lingkungan fisik, serta kesejahteraan masyarakat pertanian dan perdesaan yang kehidupannya bergantung pada lahannya.
Persyaratan mewujudkan kemandirian pangan adalah dapat memproduksi sendiri bahan pangan. Untuk mencapai ketahan dan keamanan pangan nasional diperlukan beberapa langkah seperti peningkatan produksi pertanian, mengurangi konsumsi beras, membuka lahan sawah baru, peningkatan teknologi pertanian, dan pengendalian alih fungsi lahan pertanian serta revitalisasi lahan.
Revitalisasi itu sendiri menurut Hilman Manan Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air, DEPTAN (2006) yakni menempatkan kembali arti penting sektor pertanianmsecara proporsional dan kontekstual. Artinya sampai saat ini bahwa bangsa Indonesia adalah negara agraris yang sebahagian besar penduduk masih bertani. Bahan pangan utama rakyat berupa beras, jagung, umbi-umbian dan sagu sangat memungkinkan diproduksi oleh Indonesia. Hal ini karena tanah yang masih cukup luas dan subur serta iklim tropis dengan curah hujan yang cukup.
Revitalisasi fungsi lahan sawah sangat diperlukan di mana semua komponen bangsa menempatkan pentingnya memaksimalkan lahan sawah sebagi pengahasil bahan pangan utama. Lahan-lahan sawah yang subur dan produktif tidak boleh dialih fungsikan ke lahan nonpertanian baik untuk tanaman tahunan seperti sawit dan karet, maupun untuk lahan perumahan dan industri. Pemerintah daerah harus membuat Peraturan Daerah dalam RTRW tentang lahan sawah yang abadi. Pengaturan penggunaan air, menyediakan pupuk dan obat-obatan yang mudah dan murah untuk petani sawah. Pemahan pentingnya memaksimalkan lahan sawah dilihat bagi kepentingan bangsa dan negara berlandaskan pilar Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.
Revitaslisasi juga menjadi tanggungjawab petani dengan memanfaatkan semaksimalnya lahan sawah yang ada untuk tanaman pangan. Tidak ada lagi lahan sawah yang terlantar, hasil produksi padi yang berkwalitas rendah, dan musim tanam yang tidak teratur.
D. Ketahan Pangan Nasional Meningkat
Ketahanan pangan sebagai terjemahan dari food security menjadi perhatian internasional semenjak terjadinya kasus kelaparan pada dekade tahun 1970-an. Dari berbagai pertemuan-pertemuan internasional dibahas tentang ketahanan pangan satu negara, menjadi perhatian bahwa ketahanan pangan bukan diindikatorkan mampunya sebuah negara berswasembada beras. Ternyata negara yang telah swasembada beras bisa mengalami krisis pangan oleh karena gagal panen yang disebabkan bencana alam, iklim yang buruk, dan serangan hama. Atau bisa juga distribusi pangan tidak merata dan menjangkau seluruh masyarakat satu negara.
Berdasarkan kondisi itu FAO pada tahun 1991 merumuskan bahwa “ketahan pangan adalah suatu kondisi ketersediaan pangan yang cukup bagi setiap orang pada setiap saat, dan setiap individu memiliki akses untuk memperolehnya baik secara fisik maupun secara ekonomik”, (Bambang Irawan, 2005:5). Ketahan pangan tidak sekedar turcukupinya pangan secara kuantitas setiap saat bagi seluruh masyarakat tetapi juga dapatnya masyarakat mengakses terhadap bahan pangan tersebut.
Berkaitan dengan itu negara Indonesia menjadikan ketahanan pangan menjadi sektor yang penting. Pembangunan ketahanan pangan Indonesia merupakan amanat dari Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 yang bertujuan untuk mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata serta terjangkau oleh setiap individu. Dalam PP Nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan dijelaskan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Menurut Dr. Ir. Hermanto, MS (2012) ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan individu, dengan tersedianya pangan yang cukup jumlah dan mutunya, aman, bergizi, merata, terjangkau, sesuai dengan keyakinan dan untuk hidup sehat, aktif, produktif, berkelanjutan.
Sehubungan dengan pengertian ketahanan pangan di atas dapat diartikan lebih lanjut bahwa ketahanan pangan bukan hanya beras melainkan juga daging ternak, ikan dan sayuran guna memenuhi gizi, protein, lemak dan karbohidrat manusia Indonesia. Juga berarti terjaminnya pangan dari cemaran biologis, kimia yang membahayakan kesehatan serta aman dari kaidah agama. Ketahan pangan berarti pula tersedia pangan secara merata setiap saat di seluruh Indonesia dengan harga yang terjangkau oleh setiap rumah tangga Indonesia.
Pangan itu sendiri adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan dan minuman (UU No. 7/1996 tentang Pangan). Jadi pangan merupakan sumber energi, protein, dan vitamin bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sehat dan cerdas.
Menurut Ahmad Suryana (2003:109) bahwa pembangunan ketahanan pangan adalah ketahanan pangan rumah tangga, yang tentu secara kumulatif akan mendorong ketahan pangan daerah dan nasional. Lebih lanjut dijelaskan beberapa starategi yang dikembangkan dalam pemantapan ketahan pangan di antaranya; pengembangan kapasitas produksi pangan nasional melalui rehabilitasi kemampuan dan optimalisasi pemantapan sumberdaya alam (lahan dan air), peningkatan partisipasi masyarakat dalam keseluruhan sistem ketahan pangan.
Berkaitan dengan itu maka tujuan pembangunan pangan menurut Dr. Ir. Hermanto, MS (2012) dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, Ketahanan Pangan, dan Keamanan Pangan, serta tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat.
Dalam pembangunan Nasional ketahanan pangan mempunyai posisi yang mendasar dan bahagian dari kehidupan manusia. Oleh karena pangan merupakan kebutuhan dasar manusia jadi pemenuhannya merupakan hak asasi bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena pangan bahagian dari hak asasi, maka pemenuhannya merupakan pengamalan dari niali-nilai Pancasila yakni sila ke II dari Pancasila. Pangan adalah budaya, hasil adaptasi antara manusia dan lingkungan. Bangsa Indonesia memeliki berbagai variasi pangan atau makanan, masing-masing daerah memiliki berbagai spesifik makanan. Bahan pangan pokokpun bervariasi ada yang besar (nasi), ada yang jagung, dan ada yang sagu. Keaneka ragaman itu sebagai cerminan kebhinekaan Indonesia yang terhimpun dalam sila ke tiga Pancasila. Pangan juga memiliki posisi sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Pembangunan sumber daya manusia Indonesia ditentukan sejauh mana pangannya mengandung gizi, protein, lemak, karbohidrat, dan vitamin. Kemudian posisi pangan adalah sebagai pilar utama pembangunan nasional, berperan dalam stabilitas ekonomi, sosial dan politik. Hal ini terkait dengan kemampuan pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat dalam menyiapkan cadangan pangan.
Berkaitan dengan itu perumusan kebijakan dalam lahan sawah menjadi hal penting dalam ketahan pangan. Harus ada kebijakan dan aturan yang jelas dalam pengelolaan lahan sawah agar tidak terjadi alih fungsi atau konversi. Jika konversi berlanjut akan menimbulkan dampak negatif yang serius bagi pembangunan ketahanan pangan nasional. Guna tercukupinya bahan pangan nasional diperlukan revitalisasi lahan sawah untuk menanam padi.
III. PENUTUP
Indonesia dengan kekayaan alam yang subur akan dengan mudah mencapai cita-cita nasional yaitu negara yang makmur dan sejahtera. Salah satu indikasi terwujudnya kesejahteraan ialah terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat (pakain, papan, dan pangan). Kekayaan alam sebagai modal mencapai cita-cita tersebut adalah luasnya lahan sawah yang dapat ditanami dengan padi. Pada tahun 1980-an bangsa Indonesia sempat berswasembada beras dan bahkan sempat mengekspor.
Lahan sawah yang cukup luas semakin hari semakin berkurang akibat dari terjadinya pengalihan fungsi lahan ke nonpertanian. Akibat terjadinya alih fungsi lahan sawah produksi beras Indonesia berkurang. Guna mengamankan stok beras dan ketahan pangan, sehingga akhir-akhir ini Indonesia mengambil kebijakan mengimpor beras dari negara lain. Sejauh ini tidak terjadi persoalan yang berarti dalam kebijakan mengimpor beras, namun dikhawatirkan menjadikan ketergantungan dengan beras impor yang pada akhirnya mengganggu kedaulatan pangan Indonesia.
Revitalisas fungsi lahan sawah sangat diperlukan demi menjaga stabilitas stok beras nasional dan ketahan pangan. Revitalisasi fungsi lahan sawah harus pandang dari sudut kesatuan dan persatuan negara kebangsaan. Cara pandang semua komponen bangsa, pemerintah pusat sampai daerah, petani, pengusaha dan pengembang lebih mengedepankan kepentingan negara dibandingkan keuntungan pribadi dan kelompok.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Suryana. 2003. Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM.
Ahmad Thoriq. tt. “Kumpulan Jurnal Ilmiah Tahun 2001-2009: Ketahanan Pangan Dalam Rangka Kemandirian Bangsa”.
Bambang Hendro sunarminto. 2010. Pertanian Terpadu Untuk Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Bambang Irawan. 2005. “Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak Pola Pemanfaatannya dan Faktor Determinan” Bogor: Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 23.
Bustanul Arifin. 2005. Pembangunan Pertanian, Paradigma Kebijakan dan Strategi Revitalisasi. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Hermanto. 2012. “Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional” (power point) disajikan pada Pembekalan PPRA XLVIII Lemhannas. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian.
Hilman Manan. 2006. “Tantangan Terbesar Revitalisasi Pertanian”. (makalah). Makasar: Universitas Hasanuddin.
Hudaini Hasbi. 2011. “Pengelolaan dan Manajemen Sumber Daya Alam” (makalah)
-------. 2011. “Pengelolaan Sumber Daya Alam Sebagai Payung Kesejahteraan” (makalah).
Irawan, A. 1998. Analisis Respon Penawaran Padi Sawah dan Ladang di Jawa dan Luar Jawa. Studi Respon Penawaran. Tesis Magister pada Program Studi Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
-------, 2006. “Multifungsi Lahan dan Revitalisasi Pertanian”. Dimuat pada surat kabar Suara Pembaruan, 23 Juni 2006.
-------. 2012. “Memilih Jalan Pintas, Impor Beras”. Medan: dalam Jurnal Wacana Senin, 05 Mar 2012.
Lemhannas. 2012. Modul 1 dan 2 Bidang Studi Geo Politik. Jakarta: PPRA XLVIII Lemhannas.
------, 2012. Modul 1,2,dan 3 Bidang Studi Wawasan Nusantara. Jakarta : PPRA XLVIII, Lemhannas.
Muhammad Hambali. “Revitalisasi Lahan Pertanian Menuju Ketahanan Pangan Nsional”. Diunduh Rabu, 09 Mei 2012.
Situs Riau. Com. 2010. “Kebun Sawit Ancam Lahan Pertanian Sawah di Riau”. Diunduh, Rabu, 09 Mei 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar