Oleh: Dr. Adirozal, M.Si
A. Pendahuluan
Otonomisasi dan desentralisasi merupakan salah satu tema pokok pada era reformasi. Isu-isu otonomisasi dan desentralisasi tidak hanya bidang politik, ekonomi tapi juga menyangkut penataan kembali hubungan pusat (Jakarta) dengan daerah dalam hal pendidikan. Kesadaran pembenahan pendidikan menjadi hal penting dalam era reformasi karena sekian lama semenjak Indonesia merdeka kurang diperhatikan. Berbagai kalangan yang peduli pendidikan angkat bicara baik pakar, pemerintah, politikus maupun LSM. Barulah setelah diberlakukan Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas kewenangan pengelolaan pendidikan semakin jelas dan tampak desentralisasinya.
Membicarakan pendidikan senantiasa menarik, karena pendidikan itu sendiri berkaitan dengan pristiwa yang terjadi disekitar kita. Pendidikan tidak sekedar proses mengoleksi ijazah, melainkan tempat pengembangan potensi peserta didik agar lebih cerdas, lebih terampil, lebih mampu mengendalikan diri, lebih bertanggungjawab, dan berakhlak mulia.
Memperhatikan tugas mulia itu, maka penyelenggaraan pendidikan semestinya tidak sampai melunturkan semangat yang lebih mulia dari sekedar pemberian tanda lulus atau bersifat serimonial, sehingga penyelenggaraan pendidikan terkesan sekedar rutinitas belajar. Diawali dengan perimaan murid baru, proses pembelajaran, evaluasi kenaikan kelas, dan evaluasi akhir (Ujian Nasional), bagi yang lulus diberikan ijazah. Tidak ada aim (tujuan) yang jelas terhadap masing-masing peserta didik karena mereka dilihat sebagai suatu kelas yang berkemampuan sama saat tamat. Nilai mereka harus baik terutama mata pelajaran yang di-UN-kan.
Dengan kondisi seperti itu, pantas akhir-akhir ini gugatan terhadap penyelenggaraan pendidikan menjadi lazim terdengar. Berbagai gugatan itu menunjukan belum puasnya harapan masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan. Di antara gugatan itu terkait pembelajaran yang tidak seimbang antara aspek kognitif dengan afektif dan psikomotor, sekolah hanya mengisi otak kiri dan mengabaikan otak kanan. Pengabaian itu mengakibatkan tamatan sekolah kita bagus dari sisi logika tapi lemah dari sisi etika dan estetika. Sehingga generasi muda kita kurang peka terhadap keadaan sosial, kurang bertanggungjawab, tidak kreatif, dan tercabut dari akar budayanya.
“Kecelakaan” pendidikan ini mestinya tidak harus berlama-lama terjadi jika penyelenggara (Kepala Dinas, Kepala Sekolah, dan Guru) memahami makna dan pentingnya pendidikan terutama keseimbangan antara logika, etika dan estetika. Karena dalam otonomi daerah kewenangan itu telah diberikan cukup baik pada masing-masing daerah untuk bersaing menyiapkan generasi penerusnya. Menurut Fasli Jalal (2001) kebijakan operasional otonomi daerah dalam pengelolaan pendidikan dimaksud agar daerah memiliki peluang untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerah.
B. Pengelolaan dan Kondisi Pendidikan
Pendidikan, sebagai salah satu pilar pengembangan sumber daya manusia bermakna strategis bagi pembangunan nasional, masa depan bangsa sangat bergantung pada kualitas penyelenggaraan pendidikan masa kini. Sejauh mana pendidikan itu diselenggarakan menjadi tolok ukur penyiapan generasi penyambut ’tongkat estapet’ pembangunan. Menurut Ki Hajar Dewantara, “Mendidik anak itulah mendidik rakyat. Keadaan dalam hidup dan penghidupan pada zaman sekarang itulah buahnya pendidikan yang diterima dari orang tua pada waktu masih kanak-kanak. Anak-anak yang pada waktu ini dididik kelak akan menjadi warga negara” (Prayitno, 2005:1). Sejalan dengan itu, Mukhtar Buchori (2001) menyatakan bahwa “Apa yang terjadi dengan bangsa kita di masa depan, sangat tergantung kepada apa yang dilakukan sekarang ini terhadap cara-cara mendidik generasi muda, dari pendidikan tingkat TK sampai ke pendidikan tingkat Perguruan Tinggi”.
Melalui semua jenjang pendidikan, kelangsungan hidup suatu bangsa dapat terjamin sebab pendidikan tidak hanya berfungsi untuk how to know, how to live together, dan how to do, tetapi yang amat penting how to be. Oleh karena itu diperlukan transformasi nilai-nilai pendidikan (Daulay, 2007). Dengan demikian, memaknai pendidikan sebagai proses ‘memanusiakan manusia’ harus digeser pada ‘pemulian harkat dan martabat manusia’. Bukan hanya fokus pada mata pelajaran sebagai target pendidikan, tetapi mata pelajaran sebagai alat “tool atau vehicle” bagi upaya pendidikan mentransformasikan anak manusia menjadi “orang” yang diinginkan (desirable man). Pernyataan ‘memanusiakan manusia’ seakan-akan menyatakan bahwa sebelum memasuki proses pendidikan peserta didik belum menjadi manusia. Pada hal peserta didik adalah manusia, makhluk yang paling sempurna ciptaan Allah SWT yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi sumber daya manusia yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
Negara Indonesia menjamin seluruh rakyatnya secara konstitusi untuk mendapat pendidikan. Jaminan itu tertuang dalam pembukaan UUD 1945 bahwa negara berupaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kesadaran yang tinggi dari founding father menggambarkan bahwa begitu pentingnya arti pendidikan bagi bangsa Indonesia. Arti penting pendidikan dimaksudkan agar rakyat Indonesia dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam era globalisasi yang sarat dengan persaingan. Upaya ini tentu dengan harapan supaya bangsa Indonesia pada suatu saat dapat bersaing dan bersanding dengan bangsa lain dalam artian “duduk sama rendah tegak sama tinggi”.
Dalam pasal 1 ayat 1 UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Dari pengertian ini ada beberapa hal yang perlu dipahami. Pertama pendidikan adalah usaha sadar yang terencana, berarti proses pendidikan bukanlah proses yang dilaksanakan secara asal-asalan, tetapi proses yang bertujuan. Proses pendidikan itu diarahkan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran. Hal ini dimaksudkan bahwa pendidikan harus memperhatikan proses belajar guna mencapai hasil belajar. Dengan demikian, dalam pendidikan antara proses dan hasil belajar harus berjalan secara seimbang. Kedua suasana belajar dan pembelajaran diarahkan dalam upaya mengembangkan potensi murid. Artinya proses pendidikan itu harus berorientasi kepada peserta didik (student active learning). Dengan demikian, murid harus dipandang sebagai organisme yang sedang berkembang dan memiliki potensi. Pendidik berkewajiban mengembangkan potensi yang dimiliki murid, tidak sekedar menjejalkan materi ajar atau memaksa mereka dapat menghafal data dan fakta. Ketiga, pendidikan dinyatakan untuk menjadikan murid memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini berarti proses pendidikan berujung kepada pembentukan sikap, pengembangan kecerdasan intelektual, emosional, serta pengembangan keterampilan dan kreativitas murid. Pengertian ini juga secara inplisit bermaksud agar peserta didik tidak tercabut dari akar budayanya.
Akan tetapi dalam pelaksanaan pendidikan saat ini peserta didik telah dijarakkan dengan budayanya dan sedikit pengembangan potensinya. Banyak potensi peserta didik yang tidak dikembangkan, karena tidak pahamnya hakikat pendidikan. Goals dan aims dari sekolah hanya pengembangan intelektual, pembentukan sikap, kecerdasan emosional, pengembangan keterampilan dan kreatifitas anak terabaikan.
Pada hal jika merujuk pada Undang-undang Sisdiknas dinyatakan bahwa peserta didik mempunyai hak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Semua kita (Kepala Dinas, Kepla Sekolah, dan Guru) menyadari bahwa tidak semua peserta didik kelak berprofesi sebagai insinyur, dokter, tentara, polisi, dan guru. Pilihan menjadi petani, nelayan, olahragawan, pesulap, pelawak, seniman, entertaint juga sebuah profesi.
Bila dilihat kondisi sekolah kita akhir-akhir ini, hampir semuanya berupaya untuk mencapai tingkat kesuksesan dan keberhasilan ujian nasional (UN). Upaya itu dilakukan dengan memfokuskan peserta didik pada kelas akhir untuk tambahan belajar mata pelajaran yang akan diujikan, kemudian dilakukan tryout berkali-kali. Pada semester akhir hampir tidak lagi proses pembelajaran untuk mata pelajaran yang tidak di-UN-kan. Kondisi peserta didik di sekolah tidak ada lagi suasana pendidikan dan pembelajaran yang ada hanya pengulangan-pengulan materi yang akan di-UN-kan.
Psikologi peserta didik semakin tertekan dengan arahan guru dan kepala sekolah (pada saat upacara) tentang menghadapi ujian akhir/ ujian nasional. Guru dan Kepala sekolah tidak lagi menjadi pememimpin yang mengakomodasi kebutuhan peserta didik dalam pengembangan potensi dirinya. Hampir setiap hari menjelang UN peserta didik mengkunsumsi “kabar pertakut“. Inovasi dan kreatifitas mereka menjadi kaku dan mati. Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang rekreatif, menyenangkan, menyejukkan, dan mengayomi berubah menjadi lembaga psicology depresses. Mestinya suasana pendidikan atau pembelajaran itu bersifat kesetaraan melalui komunikasi dialogis yang transparan, toleran, dan tidak arogan (Aunurrahman, 2009).
Kondisi dan pengelolaan pendidikan di sekolah semakin diperparah dengan “tekanan“ dari Kepala Dinas Pendidikan yang mematok dan mentarget kelulusan didaerahnya mencapai 100%. Seakan tingginya tingkat kelulusan dan bagusnya nilai UN ukuran keberhasilan menjadi kepala dinas. Bila sekolah bisa menghasilkan generasi yang jujur, berakhlak, bertanggungjawab, mandiri, dan kreatif seakan tidak menjadi ukuran prestasi. Mungkin saja kepala dinas dapat ’tekanan dan arahan dari boss’ atau belum memahami hakikat pendidikan.
Mestinya pendidikan itu harus mengembangkan tiga aspek cognitive, affective dan psychomotor secara seimbang. Menurut Ki Hajar Dewantara tiga aspek itu dikemas dengan konsep trilogi pendidikan (cipta-rasa-karsa). Malah sekarang ini tidak cukup dengan pengembangan otak, sikap, dan keterampilan saja, para ahli sudah menambah dengan pengembangan daya taqwa, daya karya, dan olah hati. Jika kita hanya mengisi otak saja ada kemungkinan tamatan sekolah kita menghasilkan pribadi-pribadi yang kaku, pribadi yang rapuh, mudah menyerah, tidak kreatif, dan tercabut dari akar budayanya.
Ketercabutan dari akar budaya dikemukakan oleh HAR Tilaar (2000) ... bahwa pendidikan nasional telah tercabut dari akar kebudayaannya. Mestinya hal ini tidak perlu terjadi karena kewenangan pengelolaan pendidikan (dasar dan menengah) telah didesentralisasikan. Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Sekolah lebih bisa berbuat leluasa dengan menentukan dan mendekatkan model pendidikannya dengan budaya masyarakatnya. Pegangan kuat telah ada seperti; UU No 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, Undang-undang No.20 tahun 2003 Sisdiknas; bahwa pendidikan nasional harus dilandasi kebudayaan nasional, PP No 29 tahun 1990 tentang Wawasan Wiyatamandala; bahwa pendidikan haruslah berdasarkan kebudayaan.
Adirozal saat jadi Wawako Padangpanjang
ikut membina kesenian mulai dari murid TK
Kondisi lain penyelenggaraan pendidikan di sekolah adalah masih ada guru yang mengajar bukan pada bidang studi yang dikuasainya. Biasanya hal ini sering ditemui pada bidang studi sosial dan kesenian. Demi mencukupi jam mengajar yang harus dipenuhi dalam mencapai syarat sertifikasi, guru-guru “dipaksa dan terpaksa“ mengajar pada pelajaran yang bukan keahliannya. Akibatnya penyelenggaan pendidikan seperti ini adalah tidak berkembang potensi peserta didik dengan baik.
Kondisi ini bertambah suram karena guru (kebanyakan guru kesenian) tidak pernah atau sedikit sekali mendapat kesempatan untuk mengembangkan kompetensinya; seperti seminar, penataran, melanjutkan pendidikan, dan studi banding. Guru yang diprioritaskan kepala daerah, kepala dinas, dan kepala sekolah untuk melanjutkan pendidikan, seminar, penataran, dan studi banding biasanya kelompok guru bidang studi IPA atau yang akan di-UN-kan saja. Pada hal semua bidang studi itu sama pentingnya sebagaimana yang telah dimuat dalam Kerangka Dasar KTSP, yakni; kelompok mata pelajaran agama dan akhlak, kelompok kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok ilmu pengetahuan dan teknologi, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani.
C. Pentingnya Pendidikan Seni
Rames Gantha seorang guru besar dari Kakitiya University India, mengatakan bahwa: 'bangsa yang menggusur pendidikan seni dari kurikulum sekolah, akan menghasilkan generasi yang berbudaya kekerasan di masa datang’ sebab, mereka akan kehilangan kepekaan untuk membedakan nuansa baik/ buruk, indah/ tidak indah, (Tabrani 2001). Mantan rektor IKIP Jakarta, Conny Samiawan (2001) menyatakan bahwa pengkerdilan pendidikan seni yang cukup lama menghasilkan rendahnya kepekaan sosial masyarakat. Timbulnya berbagai kekerasan yang melanda Indonesia, kemungkinan besar disebabkan minimnya penghargaan terhadap pendidikan seni. Budayawan dan Guru Besar UGM, Kuntowijoyo (1998) menyatakan bahwa agresivitas yang terjadi karena manusia Indonesia kehilangan dimensi ke-dalam-annya…manusia telah kehilangan rasa estetikanya karena masa orde baru manusia Indonesia dibentuk sebagai ‘manusia mesin’.
Memperhatikan berbagai pendapat pakar di atas betapa pentingnya pendidikan seni bagi generasi muda. Pendidikan seni sebagai upaya pendewasaan dan pembudayaan peserta didik. Pendidikan seni memberi ruang bagi peserta didik untuk menghargai diri sendiri, orang lain, dan lingkungannya. Apalagi cabang-cabang seni yang berakar dan tumbuh di tengah masyarakat akan mudah menjadi sarana untuk mengasah rasa solidaritas sosial. Pendidikan seni tidak saja berimplikasi bagi berkembangnya potensi yang ada pada diri peserta didik melainkan berimbas bagi lingkungan masyarakat dan bangsa.
Pendidikan seni mempunyai banyak manfaat bagi pengembangan kepribadian peserta didik. Ramalis (2006) menyatakan bahwa pendidikan seni, selain berfungsi untuk pendewasaan dan pembudayaan peserta didik juga memiliki nilai yang berarti sebagai sarana pembentukan pribadi. Menurut Read (1970) pendidikan seni berfungsi sebagai; (1) koordinasi antara berbagai persepsi dalam kaitannya dengan lingkungan, (2) alat untuk mengekspresikan perasaan yang dinyatakan dalam suatu bentuk, (3) alat untuk mengekspresikan berbagai pengalaman jiwa atau untuk mengungkapkan sebagian atau seluruh bawah sadar, dan (4) alat untuk mengekspresikan ide atau gagasan yang dinyatakan dalam berbagai bentuk. Yahya (2006) menyatakan bahwa pendidikan seni juga bersifat multi dimensi karena bertujuan mengembangkan dimensi personal, dimensi sosial, dan dimensi profesional.
Pada dimensi personal pendidikan seni membantu mengembangkan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan kreatifitas (CQ), kecerdasan spitual dan moral (SQ), serta jiwa kewirausahaan. Artinya bahwa pendidikan seni tidak berdiri sendiri sekedar mengasah estetika peserta didik. Pendidikan seni membantu pengembangan peserta didik dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, agama dan akhlak mulia, kewarganegaran dan kepribadian. Dalam dimensi personal maka pendidikan seni juga membantu menyeimbangkan teknologi yang berorientasi praktis ekonomis dengan kemanusiaan (humanity).
Pada dimensi sosial maka pendidikan seni membantu mengembangkan sikap toleransi agar mudah bergaul dalam masyarakat luas dan menghargai hak azasi manusia. Dalam pendidikan seni diajarkan apresiasi yakni sikap untuk menghargai hasil karya. Apresiasi bertujuan dalam membentuk sikap menikmati, menghargai, dan mensyukuri hidup dalam kebersamaan dan harmoni.
Sedangkan dalam dimensi profesional maka pendidikan seni menekankan pada penguasaan keterampilan, teknis dan materi seni, agar murid dapat mengembangkan jiwa mandiri sebagai bekal hidup di tengah masyarakat. Kemampuan profesional dan keterampilan yang dibentuk dari pendidikan seni berawal dari dikembangnya krearitifitas peserta didik dengan baik. Keterampilan yang profesional akan menjadikan bekal hidup bagi peserta didik, dan inilah hakikat yang dinginkan dalam pasal 1 ayat 1 UU Sisdiknas; … keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Bila hal ini diperhatikan, maka pendidikan seni dapat menjawab sebahagian kritikan yang menyatakan bahwa pendidikan melahirkan pengangguran yang sistematis.
D. Kondisi Pendidikan Kesenian
Keluhan dan pertanyaan yang selama ini menjadi ‘teriakan para pendidik seni’ terjawab dengan diberlakukannya undang-undang No 20 tahun 2003 tetang Sisdiknas, PP No 19 tahun 2005 tentang SNP, Permendiknas No 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, dan Permendiknas No 23 tahun 2006 tentang SKL. Mata pelajaran seni budaya yang selama ini seolah-olah ‘dianaktirikan’ sekarang menjadi wajib untuk diajarkan mulai dari kelas X sampai XII. Selain itu masih ada peluang mata pelajaran keterampilan yang juga diwajibkan.
Alokasi waktu diberikan 2 jam pembelajaran, alokasi waktu ini dirasa sudah cukup efektif jika betul-betul dimanfaatkan dengan baik. Kondisi baik itu semakin berpeluang dengan diberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Di dalam KTSP ada kewenangan bagi pendidik untuk mengembangan kurikulum dan materi ajar dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah. Hal ini merupakan sebuah peluang dan sekaligus tantangan bagi para pendidik seni. Sebagai sebuah peluang maka pendidik seni dapat memperkaya materi ajar dengan berbagai muatan multikultural dan lokal. Budaya dan kesenian daerah tidak menjadi ‘haram’ untuk disajikan dalam pembelajaran malah sangat dibolehkan.
Sedangkan sebagai tantangan adalah apakah para pendidik seni mengikuti berbagai perkembangan seni dan perkembangan teknologi yang merambah seni? Tidakkah masih ada ego pendidik seni yang hanya menonjolkan satu cabang seni saja? Apakah para pendidik seni menguasai dan memahami seni budaya daerah dengan baik? Apakah kekayaan budaya Indonesia sudah diketahui dan dikuasai?
Pendidikan seni dapat bersifat multikultural dan multilingual, kerena dapat menggunakan media, gerak, rupa, dan suara sebagai bahasa eksperisi maupun keilmuan, serta dapat menghagai keanekaragaman budaya. Mary (1990) menyatakan bahwa kepekaan rasa dikembangkan dengan memberi kesempatan memahami nilai budaya melalui permainan. Motivasi dan minat murid terhadap kegiatan seni jangan dimatikan terutama dalam proses pembelajaran. Berikan kesempatan peserta didik dalam mengembangkan potensi untuk mengolah kemampuan kreatifitasnya dengan cara mengeksplorasi terhadap beragam kosa rupa, bunyi dan gerak.
Pembelajaran akan berhasil jika dalam pendidikan memperhatikan berbagai dimensi perilaku seni. Keseluruhan aspek dalam dimensi ini bersifat berjenjang dan perlu dipelajari murid melalui muatan seni yang beragam. Menurut Wilson (dalam Bloom, 1975) perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik diterjemahkan menjadi tujuh dimensi perilaku seni yang meliputi; (1) persepsi, (2) pengetahuan, (3) pemahaman, (4) analisis, (5) evaluasi, (6) apresiasi, dan (7) produksi. Jadi Muatan seni tergantung pada karaktersitik bidang seni yang dikembangkan. Ketujuh aspek dimensi perilaku seni ini perlu dilatihkan pada murid secara terus-menerus. Pengembangannya disesuaikan dengan perkembangan dengan kebutuhan seni, sehingga proporsi bobot dan setiap aspek yang perlu dicapai akan berbeda sesuai dengan tingkatan pendidikan.
Namun sayang sebahagian daerah/sekolah berpandangan bahwa pendidikan seni sebagai hal yang tidak begitu penting dan termarjinalkan. Kondisi ini berakibat bahwa guru kesenian (seni rupa, sendratasik, dan keterampilan) tidak perlu dilengkapi. Mereka pendidik seni tidak perlu diutamakan menambah pengetahuan dengan work shop, seminar, studi banding, dan melanjutkan pendidikan. Sebahagian sekolah juga berpandangan bahwa guru kesenian tidak mesti harus lengkap untuk cabang seni rupa, tari, musik, dan keterampilan. Satu orang guru seni sudah cukup untuk mengampu semua materi pelajaran kesenian.
Memang dalam ketentuannya sekolah dapat memilih salah satu cabang seni, akan tetapi tidak berarti mengabaikan peserta didik yang punya potensi seni lainnya. Tugas sekolah atau pendidik tetap harus mengakomodasi setiap bakat peserta didik, karena hal itu kehendak dari UU Sisdiknas. Ironisnya ada sekolah yang belum memiliki guru kesenian sehingga mata pelajaran kesenian diajarkan oleh guru bidang studi lain yang kekurangan jam mengajar. Jika hal ini terjadi tentulah harapan untuk mengembangkan potensi peserta didik tidak terwujud.
Dengan menganggap pendidikan kesenian tidak begitu penting maka sarana dan prasarana juga tidak perlu dilengkapi. Ruang praktek atau tempat latihan tidak ada, ruang pameran atau tempat pagelaran tidak memadai. Hampir rata-rata sekolah umum tidak memiliki ruang praktek kesenian, seperti untuk praktek seni rupa atau praktek musik, tari, dan drama. Buku-buku pendidikan seni di sekolah juga tidak banyak dan alat peraga guru mata pelajaran kesenian sangat minim.
Selain kurangnya sarana dan prasarana untuk pendidikan seni maka kegiatan yang menunjang jarang dilakukan pemerintah daerah. Belum banyak pemerintah daerah melakukan kegiatan pagelaran atau pertunjukan kesenian sebagai ajang memacu kreatifitas pelajar. Juga amat sedikit pameran karya seni siswa yang diprakarsai pemerintah dalam menumbuhkan apresiasi dan kreatifitas.
E. Penutup
Keinginan pemerintah pusat untuk mendesentralisasikan pendidikan sudah jelas dengan diberlakukannya berbagai peraturan. Daerah diberi kewenangan dalam mengelola dan membenahi pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Akan tetapi banyak daerah dan sekolah belum maksimal dalam pengelolaan pendidikan yang menjiwai semangat otonomi. Bahkan masih banyak yang belum seimbang dalam pengembangan potensi peserta didik.
Pendidikan kesenian sebagai salah satu aspek untuk pengembangan potensi peserta didik sampai saat ini masih termarjinalkan. Pengelola pendidikan di daerah belum menyadari pentingnya pendidikan kesenian dalam membentuk pribadi peserata didik. KTSP sebagai salah satu pintu masuk otonomi pengembangan kurikulum dan pengayaan materi ajar seni daerah belum dimanfaatkan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Adirozal, 2002. Kritik Seni Rupa dan Seni Kriya. Padangpanjang: STSI Padangpanjang.
------. 2004. “Apresiasi Sekolah Dasar Agama Sumatera Barat” dalam Yayah Khisbiyah (ed). Pendidikan Apresiasi Seni, Wacana dan Praktek untuk Toleransi Pluralisme Budaya. Surakarta: PSB-PS Universitas Muhammadiyah Surakarta.
------. 2009. “Kriya Gerabah Andaleh: Antara Pelestarian, Gaya Hidup, dan Ekonomi-Pariwisata” dalam Sri Krisnanto (Ed). Seni Kriya dan Kearifan Lokal dalam Lintas Ruang dan Waktu. Yogyakarta: B.I.D ISI Yogyakarta.
Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Cony Samiawan. 1984. Memupuk Bakat dan Kreatifitas Siswa, Petunjuk Bagi Orang Tua dan Guru. Jakarta: Gramedia.
Depdiknas (2003). UU- RI, Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Diknas.
Fasli Jalal (Ed). 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Jakarta: Adicita Karya Nusa.
Feldman. E.B. 1967. Art as Image and Idea. Englewood Cliffs, New Yersey: Prentice Hall, Inc.
H.A.R Tilaar.1999. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosyadakarya.
Hans. J Daeng. 2000. Manusia Kebudayaan dan Lingkungan. Yogyakarta: Pusta Pelajar.
Lowenfeld V, Brittain L. 1975. Creative and Mental Growth. New York: MacMillan. Co.
Mukhtar Buchori. 2001. Notes on Educational in Indonesia. Jakarta: The Jakrta Post & The Asia Fondation.
Mulyasa, 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosyadakarya.
NWT Teacher Induction, 2004: “Culture-based Education”. www.newteachersnwt. ca/culture.based.education2.html. Diambil 5 Januari 2007.
Prayitno. 2008. Dasar Teori dan Praksis Pendidikan, Padang: FIP- Universitas Negeri Padang
Ramalis Hakim, 2008. “Pendidikan Seni di masa Depan (Melihat Paradigma baru dalam Pendidikan Seni)”. makalah. Padang: Seminar Nasional Jrusan Seni Rpa FBSS UNP.
Read, Herbert. 1974. The meaning of Art. London, Faber & Faber, revised ed, reprinted.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar